Sabtu, Maret 21, 2009

TAHDZIR TERHADAP MUJAHIDIN


Mereka bilang Mujahidin adalah kumpulan orang-orang yang ‘rusak’ dalam memahami Agama ini / takfiri (Khawarij Gaya Baru), versi segelintir orang yang mengaku bermanhaj ‘salaf’, ada juga yang bilang mereka adalah ‘Fundamentalis / gerombolan’ yang belindung di balik jubah agama versi orang-orang spilis (sekuler, pluralis & liberal) ?, terlebih orang-orang kafirin & musyrikin melabeli mereka adalah ‘teroris, kepala syethan’ yang harus dihancurkan / ditumpas dari muka bumi. Sebenarnya bagaimanakah kita sebagai orang yang mengaku Alloh SWT sebagai Rabb kita yang tiada Ilah yang berhaq untuk diibadahi kecuali Dia, menempatkan penilaian terhadap mereka, yang nota bene telah menjual dirinya untuk Alloh SWT dan kemuliaan Dienul Islam (Tauhid), walaupun orang kafir dan musyrik membencinya?.
Berikut petikan dari tulisan Syaykh ’Abd al-’Aziz bin Nashir al-Julayyil dalam at-Tarbiyyah al-Jihadiyyah fi Dhaw’al-Kittab wa as-Sunnah (Riyadh: Daar Thayyibah, 1424H), hal. 204-205.
Kesalahan yang dilakukan oleh sebagian Mujahidin tidak berarti bahwa jihad adalah sebuah kesalahan, dan menasehati mereka haruslah disertai wala’ (loyalitas, kecintaan) kepada mereka, sehingga tidak terbuka celah bagi “para penolak” untuk mengingkari jihad.
Sesungguhnya mujahidin adalah ‘manusia biasa’ sebagaimana yang lainnya, bisa benar dan juga bisa salah. Selain para nabi, tidak ada seorangpun yang ma’shum (dijamin terbebas dari kesalahan). Oleh karena itu, hal sangat penting yang harus diwaspadai adalah apabila ada keperluan untuk menyebutkan kesalahan tersebut atau dalam rangka menasehati mereka, maka hal ini tidak boleh dipaparkan di mimbar-mimbar umum, karena dapat dipahami sebagai pendiskreditan terhadap jihad dan mujahidin. Bahkan terkadang pemaparan gamlang di mimbar-mimbar umum secara tegas dapat dianggap membantu program musuh (orang-orang kafir / musyrik) yang memerangi jihad, para da’i dan para mujahidin. Tanpa sadar, mereka telah bekerja (baca: dipekerjakan) untuk menjalankan strategi musuh yang lalim, yaitu memberangus da’i yang jujur serta meniadakan syi’ar jihad dan ihtishab (pengawasan ketat). Ketika kita tidak menyadari efek suatu ucapan (yaitu celaan terhadap mujahidin), maka yang muncul adalah bahaya yang sangat besar. Karena bisa jadi “sang pembicara (yang bermulut usil dan lancang)” tersebut telah memposisikan dirinya sebagai nara sumber (informan atau intel) bagi musuh untuk memerangi para da’i dan mujahidin yang tengah membangkitkan umat dari “tidur panjang”nya. Atau boleh jadi hal tersebut pernah terbetik dalam dirinya namun dia tidak menyadari bahwa dirinya berada dalam ‘parit’ musuh, yaitu satu barisan bersama orang-orang kafir dan munafiq.
Apabila dalam diri seorang da’i terbesit keinginan keras untuk memberikan “komentar” terhadap sebagian kesalahan (mujahidin), maka hal ini dapat direalisasikan dengan menggunakan ungkapan (global) yang tidak dipahami oleh media masa yang hobi mendistorsi kabar berita dan orang-orang di balik kemudinya yang senang memanfaatkan “suatu komentar” untuk kepentingan pribadi mereka semata. Caranya; dengan memuji para mujahidin terlebih dahulu, hasil yang mereka capai dalam jihad dan merebut kembali kehormatan, peran mereka dalam membela negeri dan kehormatan kaum muslimin serta peran mereka dalam menggetarkan orang-orang kafir. Karena pada saat itu (ketika mujahidin berjihad), berbagai organisasi (pengkritik mujahidin) yang gencar melakukan dan penilaian negatif tiada lain merupakan kepanjangan tangan dari orang-orang kafir yang menempatkan mereka dalam barisan kaum kafir untuk memerangi para da’i dan mujahidin. Kemudian setelah nya (memuji mujahidin), barulah memberikan komentar terhadap kesalahan tersebut yang dari sebagian “kelompok jihadi”, walaupun boleh jadi kesalahan tersebut terjadi karena suatu alas an tertentu. Dan apabila tidak ada alasan yang melegalkannya, maka nasehat atau kritikan tersebut tetap diberikan sesuai dengan proporsinya dengan menggunakan ungkapan yang menunjukkan kecintaan, simpati, nasehat dan loyalitas kepada mereka.
Apabila nasehat bijak dan berhati-hati ini terlontar, maka saya menduga bahwa mass media yang hobi memerangi “mujahidin” tidak akan begitu saja menerima komentar da’i bijak tersebut, terlebih lagi akan mewawancarainya dan mempopulerkan komentarnya kepada publik. Tidak akan pernah !

Sesungguhnya para mujahidin tidak akan merasa sakit hati terhadap maksud dan komentar da’i bijak tersebut. Dan merekapun tidak akan menuduhnya sebagai seorang “pecundang”, atau orang-orang yang bergembira ria bila bencana menimpa para mujahidin.

4 komentar:

  1. teruskan membela agama ini wahai mujahidin jangan kau lemah & terpengaruh celaan orang2 yang suka mencela...
    Allohu Akbar

    BalasHapus
  2. Fatwa Al-Allamah Syaikh Al-Julayyil Hafidzhahulloh

    Segala Puji serta Syukur hanya milik Alloh Azza wa Jalla Rabb semesta alam, Shalawat serta salam semoga tetap tercurahkan kepada Nabi Muhammad Shalallahu’Alaihi wa Sallam, Shahabat, Keluarganya dan orang-orang yang tetap mengikuti milahnya sampai akhir zaman

    Syaikh Kami yang mulia Al-Allamah Mujahid Da’wah Al-Faqih Abdul Aziz bin Nashir Al-Julayyil Hafidzhahulloh Ta’ala berkata: “ Tidakkah yang merusak agama itu selain para pemimpin & Para Ulama serta ahli agama yang jahat “. Maka waspadalah dengan Ulama Su’ (Jahat) ciri-ciri ulama Su’ adalah:

    1. Tidak mau berjihad di jalan Alloh dengan menegakkan panji Tauhid yang mulia.

    2. Melakukan perbuatan yang dibenci Alloh seperti melaksanakan Syirik, Bid’ah, Khurafat, dan Tahayul.

    3. Mengajak Ummat kepada bentuk Kemaksiatan dan Kemungkaran yang dilakukannya.

    4. mengajak ummat dalam bersikap virus 3 T yakni Taklid (Fanatisme Buta), Ta’ashub (Fanatik Golongan/Partai), dan Taffaruq (Memecah belah Ummat).

    5. Tidak mengikuti sumber pijakkan Al-Qur’an dan As-Sunnah sesuai manhaj Salafush Shalih yang hakiki.

    6. Suka Memvonis dan mengkafirkan malah membid’ahkan seseorang ataupun tandzim (organisasi)/Harakah Islamiyyah sebelum mereka ta’bayun (klarifikasi) terhadap yang divonis dan dikafirkan serta dibid’ahkan.

    7. Menihilkan Jihad fisabilillah melawan kaum Kafir dan Munafiq di bumi Alloh.

    8. Bekerjasama dalam berbagai hal-hal yang dibenci Alloh dengan para kaum Kafir dan Munafiq serta orang dzholim terhadap agama.

    9. Meremehkan serta menihilkan masalah Tandzim (Organisasi) dan Harakah padahal Tandzim dan Harakah adalah Sunnah bukan Bid’ah! Lihat Buku Harakah Jihad Ibnu Taymiyyah Oleh: Syaikh Al-Allamah Abdurrahman Abdul Khaliq Hafidzhahulloh Ta’ala, Terbitan: Islamika.

    10. Selalu mengedepankan masalah Politik dan Demokrasi tapi masalah Ummat tidak dipikirkannya jadi oleh itu pilih Islam yang mulia atau Politik dan Demokrasi!, Untuk lebih jelas lihat Kitab Ad-Dimuqratiyyah Dinun Oleh: Syaikh Al-Allamah Mujahid Al-Faqih Abu Muhammad ‘Ashim Al-Burqawi Al-Maqdisi Hafidzhahulloh Ta’ala yang sudah diterjemahkan dengan edisi Indonesia “ Negara Demokrasi “ Terbitan: Kafayeh Cipta Media.

    Semoga tausyiah ini bermanfaat dan dapat dipahami oleh kita khususnya kaum muslimin. Amien Ya Mujibas Sa’ilin….

    Syaikh Kami yang mulia Al-Allamah Mujahid Da’wah Al-Faqih Abdul Aziz bin Nashir Al-Julayyil Hafidzhahulloh Ta’ala adalah Ulama besar di Kerajaan Saudi Arabia (KSA) serta penulis produktif yang berdomisili di Riyadh-Kerajaan Saudi Arabia. Diantara karyanya:

    · Kitab Waqafat Tarbawiyyah fi Dlaul Qur’anil Karim.

    · Kitab At-Tarbiyyah al-Jihadiyyah fi Dlaul al-Kitab wa As-Sunnah.

    · Kitab Maanaraat fii’ ath-Thariiq (berisi 24 Risalah singkat).

    · Kitab Ayna Nahhnu min Akhlaq as-Salaf (bekerjasama dengan Al-Allamah Al-Faqih Syaikh Baha’uddin bin Fatih ‘Aqil Hafidzhahulloh Ta’ala).

    Beliau Syaikh Hafidzhahulloh adalah murid dari para Ulama besar di Saudi Arabia seperti:

    · Al-Allamah Al-Faqih Syaikh DR. Abdullah bin Abdurrahman al-Jibrin Hafidzhahulloh Ta’ala (Penulis Kitab Mukhalafat Taqa’u Fiha an-Nisa’).

    · Al-Allamah Al-Faqih Syaikh DR. Muhammad bin Abdurrahman Al-‘Arifi Hafidzhahulloh Ta’ala (Penulis Kitab Fii Bathnil Huut).

    · Al-Allamah Al-Faqih Muhadist Syaikh Abu ‘Abdullah Hamuud bin ‘Abdillah bin ‘Uqla bin Muhammad bin Ali bin ‘Uqla Asy Syu’aibi Al-Khalidi Rahimahulloh Ta’ala.

    · Al-Allamah Al-Faqih Muhadist Syaikh Abdullah bin Mubarak al-‘Amiri Rahimahulloh Ta’ala.

    · Al-Allamah Al-Faqih Syaikh Muhadist ‘Abdul Latif bin Ibrahim Allu’-Syaikh Rahimahulloh Ta’ala.

    · Al-Allamah Al-Faqih Syaikh Ali bin Khudhair al-Khudhair Hafidzhahulloh Ta’ala.

    · Al-Allamah Al-Faqih Syaikh DR. Muhammad bin Ismail Al-Muqaddam Hafidzhahulloh Ta’ala (Penulis Kitab Audatul Hijab)

    · Al-Allamah Al-Faqih Syaikh Prof. DR. Shalih bin Fauzan bin Abdullah Al-Fauzan Hafidzhahulloh Ta’ala (Anggota Lajnah Da’imah, KSA & Anggota senior Ha’iah Kibarul Ulama, KSA serta Penulis Kitab al-Mulakhkhash Al-Fiqhiy).

    · Al-Allamah Al-Faqih Syaikh DR. Bakar bin Abdillah Abu Zayd Hafidzhahulloh Ta’ala (Anggota Lajnah Da’imah, KSA & Anggota senior Ha’iah Kibarul Ulama, KSA serta Penulis Kitab At-Tamtsiil), serta masih banyak lagi guru beliau

    Tapi khususnya yang beliau anggap paling di –Mulaazamah-i (berguru lama) adalah Al-Allamah Al-Faqih Syaikh Muhadist ‘ Abdur Rahman bin Nashir al-Barrak Yahfadzhuhulloh Ta’ala

    Di Indonesia, beliau dikenal sebagai penulis buku “ Sudah Salafikah Akhlaq Anda? “ atau buku “ Dimana Posisi Kita Pada kalangan Salaf “.

    Sekian, Barakallohu’ Fiik,. Wa’akhiru Dakwathuna. Subhanakallohumma’ Wabihamdikaa’ Ashadu’alaa ‘illaa Anta Astaqfiruka Wa’athubuhu ‘Ilaika. Nun Wal Qolami Wamaa’ Yasthurun. Wallohu’ Ta’ala A’lam bish Showab.

    Dan segala puji bagi Alloh Robb semesta alam dan shalawat dan salam atas nabi kita Muhammad Ibnu Abdillah Shallallahu’ Alaihi wa Sallam dan keluarganya dan para shahabatnya serta orang-orang yang mengikuti mereka dengan baik sampai hari kiamat.

    By. Abu Hanifah Muhammad Faishal Al-Bantani Al-Jawy http://jihaddandakwah.blogspot.com

    BalasHapus
  3. RISALAH JIHAD

    Bismillahirrahmanirrahim

    Segala puji bagi Alloh, Rabb semesta alam. Semoga shalawat tercurahkan kepada Nabi Muhammad, penghulu para mujahidin dan imannya orang-orang yang bertaqwa, beserta keluarga, sahabat, dan semua orang yang membela syariatnya sampai akhir kemudian.

    KEWAJIBAN JIHAD BAGI SETIAP MUSLIM

    Alloh telah mewajibkan jihad secara tegas kepada setiap muslim. Tidak ada alasan bagi orang Islam untuk meninggalkan kewajiban ini. Islam mendorong umatnya untuk berjihad dan melipatgandakan pahala orang-orang yang berpartisipasi di dalamnya, apalagi yang mati syahid. Tidak ada yang menandingi dalam besarnya pahala, kecuali orang-orang yang mengikuti jejak mereka di medan jihad. Alloh mengaruniakan mereka berbagai kelebihan ruhiyah dan amaliyah, baik di dunia maupun di akhirat, yang tidak diberikan kepada selain mereka . Alloh menjadikan darah mereka yang suci sebagai harga bagi kemenangan dunia serta lambang kemulian bagi keuntungan dan kejayaan di hari akhirat.

    Alloh mengancam orang-orang yang tidak turut dalam jihad dengan ancaman siksa yang sangat pedih. Alloh menghinakan mereka dengan berbagai gelar dan sebutan yang buruk, menganggap mereka pengecut, pemalas, lemah, dan tertinggal di belakang. Alloh menjanjikan untuk mereka kehinaan di dunia. Kehinaan yang tidak dapat di hapuskan kecuali dengan berangkat ke medan jihad. Sedangkan di akhirat, Alloh menyiapkan untuk mereka siksa yang pedih. Mereka tidak dapat melepaskan diri dari siksa itu meskipun menebusnnya dengan emas sebesar gunung Uhud. Islam menganggap duduk-duduk, tidak mengikuti jihad, dan lari meninggalkan medan perang sebagai salah satu dosa besar, bahkan termasuk salah satu di antara tujuh hal yang membinaskan amal.

    Anda tidak akan menemukan satu pun sistem nilai-baik yang kuno maupun yang baru, bersumber dari agama maupun pikiran manusia-yang lebih baik dari pada sistem Islam dalam membahas masalah jihad, militer, pengerahan massa, dimana mengumpulkannya dalam satu shaf (barisan) untuk mempertahankan kebenaran dengan segala kekuatannya.

    Sangat banyak ayat Al-Qur'an dan sunah Rasul saw. yang membicarakan seputar urusan yang mulia ini. Dalil-dalil itu menyeru setiap muslim dengan metode dan tutur kata yang fasih kepada jihad, perang, militerisme, memperkuat sarana pertahanan, pertempuran dengan semua jenisnya: darat, laut, dan lain-lain, dalam semua situasi dan kondisi.

    Kepada anda saya akan sebutkan beberapa cuplikan seperti diatas semata-mata sebagai contoh, bukan untuk dijadikan batasan. Saya tidak akan memberikan penjelasan maupun komentar terhadap hadits tersebut secara panjang lebar. Meskipun kata-katanya singkat, namun mempunyai pengertian yang padat dan jelas, syarat dengan potensi ruhiyah. Semua ini akan sangat berguna bagi anda, insya Alloh.

    BEBERAPA AYAT AL-QUR'AN TENTANG JIHAD

    1. "Telah diwajibkan atas kamu berperang, padahal berperang itu adalah sesuatu yang kamu benci. Dan bisa jadi kamu membenci sesuatu, padahal sesuatu itu baik bagimu. Dan bisa jadi (pula) kamu menyukai sesuatu, padahal sesuatu itu buruk bagimu. Alloh mengetahui sedang kamu tidak mengetahui." (Al-Baqarah: 216)

    "kutiba" artinya "furidha" (diwajibkan), sebagaimana tersebut dalam firman Alloh pada saat yang sama dan menggunakan susunan kalimat yang sama pula.

    2. "Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu seperti orang-orang kafir (orang-orang munafik) itu, yang mengatakan kepada saudara-saudara mereka apabila mereka mengadakan perjalanan dimuka bumi atau mereka berperang, 'kalau mereka tetap bersama kita, tentu mereka tidak akan mati dan tidak akan dibunuh.' Akibat (dari perkataan dan keyajinan mereka) yang demikian itu, Alloh menimbulkan rasa penyesalan yang sangat dalam hati mereka. Alloh menghidupkan dan mematikan. Dan Alloh melihat apa yang kamu kerjakan. Dan sungguh kalau kamu gugur dijalan Alloh atau meninggal, tentulah ampunan Alloh dan rahmat-Nya lebih baik bagimu dari harta rampasan yang mereka kumpulkan. Dan sungguh jika kamu meninggal atau gugur, tentulah kepada Alloh kamu semua dikumpulkan." (Ali Imran: 156-157)

    "Dharabu fil ardhi" artinya: keluar untuk berjihad. "Ghuzzan" artinya: bertempur.

    Perhatikan keterkaitan antara ampunan dan rahmat Alloh terhadap kematian di jalan Alloh pada ayat 157. Ampunan dan rahmat itu tidak terdapat pada ayat berikutnya, sebab bukan berkaitan dengan gugur dan mati di jalan Alloh.

    Pada ayat tersebut juga terkandung maksud bahwa kepengecutan adalah sifat orang kafir, bukan sifat orang beriman.

    3. "Janganlah kamu mengira bahwa orang-orang yang gugur di jalan Alloh itu mati, bahkan mereka itu hidup di sisi Tuhannya dengan mendapatkan rezeki. Mereka dalam keadaan gembira disebabkan karunia Alloh yang diberikan kepada mereka dan mereka bergembira hati terhadap orang-orang yang masih tinggal di belakang mereka yang belum menyusul, bahwa tidak ada kekhawatiran terhadap mereka dan tidak pula mereka bersedih hati ." (Ali Imran: 169-170)

    Selanjutnya bacalah pula sampai ayat 175.

    4. "Karena itu, hendaklah orang-orang yang menukar kehidupan dunia dengan akhirat berperang di jalan Alloh. Barangsiapa yang berperang dijalan Alloh, lalu gugur dan memperolah kemenangan, maka kelak akan kami berikan kepadanya pahala yang besar." (An-Nisa: 78)

    Selengkapnya anda dapat membaca surat ini mulai ayat 71 sampai ayat 78.

    Bacalah ayat-ayat tersebut agar anda tahu betapa Alloh memerintahkan kepada orang-orang mukmin untuk selalu waspada, berperang bersama tentara Alloh, berkelompok atau sendiri-sendiri, sesuai dengan tuntutan situasi. Alloh mencela orang-orang yang duduk-duduk dan tidak mau berperang, pengecut, terlambat, atau orang-orang yang hanya memanfaatkan situasi demi mengeruk keuntungan untuk dirinya sendiri. Alloh mengetuk hati nurani orang-orang yang beriman untuk melindungi orang-orang yang lemah dan menolong orang-orang yang tertindas. Alloh merangkai antara pedang dengan shalat dan shiyam, serta menerangkan bahwa perang tidak berbeda dengan keduanya dalam rukun Islam. Alloh meyakinkan orang-orang yang masih ragu dan mendorong mereka untuk terjun ke dalam kancah peperangan dan arena maut dengan lapang dada dan keberanian yang menggelora dalam hati. Alloh menjelaskan kepada mereka bahwa kematian akan terus mengintai mereka. Alloh jelaskan kepada mereka bahwa jika mereka mati dalam keadaan berjihad di jalan-Nya, maka mereka akan mendapatkan kehidupan yang lebih baik dan Alloh tidak akan menyia-nyiakan infaq dan pengorbanan mereka.

    5. Surat Al-Anfal secara keseluruhannya merupakan amjuran untuk berperang dan perintah untuk tabah menghadapinya. Demikian pula terhadap penjelasan tentang berbagai hukum yang berkaitan dengan peperangan. Oleh karena itu, orang-orang mukmin generasi awal menjadikan surat Al-Anfal menjadi senandung yang selalu dilantunkan di tengah berkecambuknya peperangan. Cukuplah bagi anda firman Alloh,

    "Dan siapkanlah untuk menghadapi mereka kekuatan apa saja yang kamu sanggupi dan dari kuda-kuda yang ditambat untuk berperang. Dengan begitu, kamu menggetarkan musuh Alloh dan musuh kamu." (Al-Anfal: 60)

    Sampai pada firman-Nya,

    “Hai nabi, kobarkanlah semangat orang-orang mukmin itu untuk berperang. Jika ada dua puluh orang yang sabar diantara kamu, niscaya mereka dapat mengalahkan dua ratus orang musuh. Dan jika ada seratus orang yang sabar diantara kamu, mereka dapat mengalahkan seribu dari orang kafir, sebab orang-prang kafir itu tidak mengerti." (A;-Anfal: 65)

    6. Surat At-Taubah secara keseluruhanya merupakan anjuran perang dan penjelasan mengenai hukum-hukumnya. Cukuplah bagi anda dengan firman yang menjelaskan tentang perang terhadap orang-orang musyrik yang berkhianat. "Perangilah mereka, niscaya Alloh menyiksa mereka dengan tangan-tanganmu dan Alloh akan menghinakan mereka dan menolong kamu terhadap mereka, serta melegakkan hati orang-orang yang beriman. Dan menghilangkan panas hati orang-orang mukmin. Dan Alloh menerima taubat orang yang dikehendaki-Nya Alloh Maha Mengetahui lagi Maha bijaksana." (At-Taubah: 14-15)

    Firman Alloh tentang perang terhadap orang-orang ahli kitab,

    "Perangilah orang-orang yang tidak beriman kepada Alloh dan hari kemudian serta tidak mengharamkan apa yang telah diharamkan Alloh dan Rasul-Nya dan tidak beragama dengan agama yang benar, yaitu orang yang telah diberi Al-kitab, sampai mereka mau membayar jizyah dengan patuh sedang mereka dalam keadaan tunduk." (At-Taubah: 29)

    Selanjutnya Alloh menyerukan serangan umum pada ayat ayat berikutnya,

    "Berangkatlah kamu baik dalam keadaan merasa ringan atau merasa berat, dan berjihadlah dengan harta dan dirimu di jalan Alloh. Yang demikian itu adalah lebih baik bagimu jika kamu mengetahui." (At-Taubah: 41)

    Kemudian Alloh menjelaskan buruknya sikap orang –orang pengecut yang tidak berjihad di jalan Alloh serta tidak mendapatkan kemuliaan berjihad di jalannya untuk selama-lamanya.

    "Orang-orang yang ditinggalkan (tidak ikut berperang) merasa gembira dengan tinggalnya mereka di belakang Rasululloh, dan mereka tidak suka berjihad dengan harta dan jiwa mereka di jalan Alloh dan berkata, 'Janganlah kamu berangkat berperang dalam panas terik ini'. Katakanlah, 'Api neraka jahanam lebih panas'. kalau saja mereka mengetahui. Maka hendakah mereka sendiri tertawa dan banyak menangis, sebagai balasan dari apa yang selalu mereka kerjakan. Maka jika Alloh mengembalikanmu pada satu golongan dari mereka, kemudian mereka minta ijin kepadamu untuk pergi berperang, maka katakanlah, 'kamu tidak boleh keluar bersamaku selamanya dan tidak boleh memerangi musuh bersamaku. Sesungguhnya kamu telah rela tidak berperang pada kala yang pertama karena itu, duduklah bersama orang-orang yang tidak ikut berperang.' (At-Taubah: 81-83)

    Kemudian Alloh menjelaskan sikap para mujahid di bawah kepemimpinan Rasululloh saw. Dan penjelasan bahwa ini semua adalah tugas suci dan jalan para sahabatnya, melalui firman-Nya,

    "Akan tetapi, Rasululloh saw dan orang-orang mukmin yang berjihad bersama beliau dengan harta dan jiwa mereka kebaikan dan merekalah orang-orang yang beruntung. Alloh menyediakan untuk mereka surga yang dibawahnya terdapat sungai-sungai yang mengalir, mereka kekal didalamnya. Itulah kemenangan yang besar." (At-Taubah: 88-89)

    Kemudian "jual beli" secara tuntas, yang tidak mentolerir lagi alasan dari orang-orang yang suka memberi alasan,

    "Sesungguhnya Alloh telah membeli dari orang-orang mukmin, diri dan harta mereka dengan memberikan surga untuk mereka. Mereka berperang pada jalan Alloh, lalu mereka membunuh atau terbunuh. (itu telah menjadi) janji yang benar dari Alloh di dalam Taurat, Injil, dan Al-Qur'an. Dan siapakah yang lebih menepati janjinya selain dari pada Alloh? Maka bergembiralah dengan jual beli yang telah kamu lakukan itu, dan itulah kemenangan yang besar." (At-Taubah: 111)

    7. Surat qital (peperangan), dan bayangkan bagaimana sebuah surat di dalam Al-Qur'an-seluruhnya-dinamakan surat qital. Sebagaimana mereka berkata bahwa pondasi jiwa ketentaraan adalah dua hal: peraturan dan ketaatan. Alloh swt telah menghimpun pondasi ini dalam dua ayat, tentang "ketaatan" tertuang dalam ayat berikut,

    "Dan orang-orang yang beriman berkata, 'Mengapa tidak diturunkan suatu surat?' Maka jika diturunkan surat-surat yang jelas maksudnya dan disebutkan di dalamnya (perintah) perang, kamu lihat orang-orang yang ada penyakit didalam hatinya memandang kepadamu seperti pandangan orang orang yang pingsan karena takut mati, dan kecelakaanlah bagi mereka. Taat dan mengucapkan perkataan yang baik (adalah lebih baik bagi mereka). Apabila telah tetap perintah perang (mereka tidak menyukai). Tetapi jika saja mereka benar (imannya) kepada Alloh, niscaya yang demikian itu lebih baik bagi mereka." (Muhammad: 20-21)

    Adapun tentang "peraturan", Alloh swt. Berfirman dalam surat Ash-Shaf,

    "Sesungguhnya Alloh menyukai orang-orang yang berperang di jalan-Nya dalam barisan yang teratur seakan-akan mereka seperti suatu bangunan yang tersusun kokoh." (Ash-Shaf: 4)

    8. surat Al-Fath (kemenangan), yang terdapat padanya kisah peperangan Rasululloh saw. Ayat ini juga menunjukkan salah satu sikap tegar dalam jihad di bawah pohon yang diberkati, pohon di mana bai'at maut (ikrar kematian) diberikan oleh para sahabat. Dengan itulah lahir ketenangan sekaligus kemenangan. Yang demikian itu tersebut dalam ayat berikut,

    "Sesungguhnya Alloh telah ridha terhadap orang-orang mukmin ketika mereka berjanji setia kepadamu di bawah pohon, maka Alloh mengetahui apa yang ada di dalam hati mereka lalu menurunkan ketenangan atas mereka dan memberi balasan kepada mereka dengan kemenangan yang dekat (waktunya), serta harta rampasan yang banyak yang dapat mereka ambil. Dan adalah Alloh Maha perkasa lagi Mahabijaksana." (Al-Fath: 18-19)

    Inilah wahai saudaraku, beberapa hal yang bisa dituturkan dalam kaitan dengan jihad; penjelasan tentang keutamaannya, ajakan kepadanya, dan kabar gembira bagi pelakunya dengan semacam itu, maka renungkanlah, niscaya engkau akan tercengang betapa orang-orang muslim saat ini begitu mengabaikan pahala agung yang dijanjikan Alloh ini.

    Berikut nukilan beberapa hadits tentang hal ini:

    BEBERAPA HADITS NABI TENTANG JIHAD

    1. Dari Abu Hurairah ra, berkata saya mendengar Rasululloh saw bersabda,

    "Demi zat yang diriku ada ditangan-Nya. Kalau bukan karena beberapa orang dari kalangan mukmin, yang jelek mentalnya dan tidak ikut berjihad bersamaku lalu aku tidak mendapati cara untuk mendorongnya, niscaya aku tidak ketinggalan dari satu pun peperangan di jalan Alloh. Demi zat yang diriku ada ditangaNya, saya sungguh ingin terbunuh di jalan Alloh kemudian hidup lagi, kemudian terbunuh dan hidup lagi, kemudian terbunuh dan hidup lagi, kemudian terbunuh." (HR. Bukhari dan Muslim)

    2. Dari Abu Hurairah ra., sesungguhnya Rasululloh saw. Bersabda,

    "Demi dzat yang diriku ada ditanga-Nya, tidaklah seseorang terluka di jalan Alloh-Alloh Mahatahu siapa yang pantas terluka di jalan Alloh-kecuali ia datang pada hari kiamat; warna (luka)nya warna merah darah, tetapi baunya aroma misik."

    3. Dari Anas ra. Berkata, "Pamanku Anas bin Nadhar tidak hadir di perang Badar, lalu berkata, 'Wahai Rasululloh, saya absent di pertempuran pertama yang memerangi orang-orang musyrik. Sungguh jika Alloh berkenan menyahidkanku tatkala memerangi orang-orang musyrik, niscaya Alloh menyaksikan apa yang aku perbuat." Tatkala perang Uhud terjadi dan kaum muslimin dihantui kekalahan, ia berkata, "Ya Alloh, kamu minta maaf tidak bisa berbuat sebagaimana mereka (sahabat-sahabat yang lain) dan saya lepas diri dari apa yang mereka perbuat (kalangan musyrikin)." Seketika itu majulah ia lalu ditemui oleh Sa'ad bin Mu'adz. Anas berkata, 'Wahai Sa'ad, aku ingin surga dan Tuhannya Nadzar. Aku sungguh mencium baunya di balik gunung Uhud." Sa'ad berkata ( kepada Rasululloh), 'Wahai Rasululloh, saya tidak bisa berbuat sebagaimana yang ia lakukan' Berkata Anas bin Malik, 'Kami dapatkan pada tubuhnya (Anas bin Nadhar) delapan puluh sekian luka bekas pukulan pedang, atau lemparan tombak, atau tusukan anak panah. Kami dapatkan ia terbunuh dan di cincang oleh orang-orang musyrik. Tidak satu pun orang yang mengenalinya kecuali saudara perempuannya melalui ujung jarinya.' Berkata Anas, 'Kami melihat, atau mengira, bahwa ayat ini turun berkaitan dengannya, atau orang-orang yang semisalnya (yakni ayat),

    "Sebagian dari orang-orang mukmin ada orang-orang yang membuktikan apa-apa yang mereka janjikan kepada Alloh…" (HR. Bukhari)

    4. Dari Ummu Haritsah binti Suraqah, ia datang kepada Nabi saw. Dan berkata, "Wahai Nabi Alloh, tidakkah engkau bercerita kepadaku tentang Haritsah (anaknya yang meninggal karena terkena anak panah nyasar sebelum perang Badar)? Jika ia di surga, saya bersabar. Namun jika tidak demikian, saya akan meratapinya dengan tangisanku." Nabi saw. Menjawab, "Wahai Ummu Haritsah, ada banyak taman di surga. Anakmu memperoleh taman Firdaus yang tertinggi." (HR. Bukhari)

    Lihatlah saudaraku, bagaimana surga telah membuat seseorang lupa akan rasa sedih dan lara, serta menggantikannya dengan kesabaran.

    5. Dari Abdullah bin Abu Aufa ra., sesungguhnya Rasululloh saw. Bersabda,

    "Ketahuilah bahwa surga itu berada di bawah kilatan pedang." (HR. Bukhari-Muslim dan Abu Dawud)

    6. Dari Zaid bin Khalid Al-Jahniy ra., sesungguhnya Rasululloh saw . bersabda,

    "Barangsiapa menyiapkan kendaraan perang di jalan Alloh berarti ia telah ikut berperang, dan barangsiapa meninggalkan perang tetapi menggantinya dengan kebaikan berarti ia pun telah ikut berperang.: (HR. Bukhari, Muslim, Abu Dawud, dan Tirmidzi)

    kata-kata "ikut berperang" maksudnya: mendapatkan pahala perang.

    7. Dari Abu Hurairah ra. Berkata, bersabda Rasululloh saw,

    "Barangsiapa mengkarantina kuda perang untuk jihad di jalan Alloh, maka kenyang dan kotorannya (maksudnya segala upaya untuk mengenyangkannya dan tenaga untuk membersihkan kotorannya, pent) akan diimbangi oleh Alloh pada hari kiamat." (HR. Bukhari)

    8. Dari Abu Hurairah ra., ditanyakan, Wahai Rasululloh, amal apa yang menyamai pahala jihad di jalan Alloh?" Beliau menjawab, "Kalian tidak mampu melakukannya." Maka diulangilah pertanyaan itu dua kali atau tiga kali. Setiap pertanyaan itu dijawabnya, "Kalian tidak mampu melakukannya." Kemudian berkata,

    "Mujahid di jalan Alloh itu seumpama orang yang berpuasa, yang mengerjakan shalat, dan yang membaca Qur'an, dimana ia tidak berhenti dari puasa dan shalatnya, sehingga sang mujahid pulang dari medan pertempuran." (HR. Bukhari, Muslim, Nasa'I, Ibnu Majjah, dan Tirmidzi)

    9. Dari Abu Sa'id Al-Khudri ra, bersabda Rasululloh saw.,

    "Tidak maukah kalian aku beritahu sebaik-baik dan sejelek-jelek orang? Sesungguhnya, sebaik-baik orang adalah seorang yang bekerja di jalan Alloh dengan naik kuda, unta, atau berjalan kaki hingga maut menjemputnya. Adapun sejelek-jelek orang adalah orang-orang yang membaca Kitabullah tanpa mencerapnya sedikitpun." (HR. Nasa'i)

    10. Dari Ibnu Abbas ra. Berkata, Saya mendengar Rasululloh saw. Bersabda,

    "Dua mata tidak disentuh api neraka; mata yang menangis karena takut kepada Alloh dan mata yang terjaga di jalan Alloh." (HR. Tirmidzi)

    11. Dari Abu Umairah ra. Berkata, bersabda Rasululloh saw.,

    "Terbunuh di jalan Alloh itu lebih aku sukai daripada aku memiliki (kerabat) orang-orang kota dan orang-orang desa." (HR. Nasa'i)

    12. Dari Rasyid bin Sa'ad ra. Dari salah seorang sahabat bahwa seseorang berkata, "Wahai Rasululloh, kenapa orang-orang mukmin mendapat ujian di kuburnya kecuali orang yang mati syahid?" Rasululloh saw. Bersabda,

    "Cukuplah kilatan pedang yang melintas di atas kepalanya sebagai ujian." (HR. Nasa'i)

    13. Dari Abu Hurairah ra., sesungguhnya Rasululloh saw. Bersabda,

    "Seseorang yang syahid itu tidak menyentuh kematian kecuali seperti salah seorang dari kalian terkena gigitan (binatang kecil, pent)." (HR. Tirmidzi, Nasa'I, dan Darami. Tirmidzi berkata bahwa itu hadits hasan gharib)

    ini keistimewaan lain dari seorang yang mati syahid.

    14. Dari Ibnu Mas'ud ra. Berkata, bersabda Rasululloh saw.,

    "Tuhan kita takjub kepada seseorang yang berperang di jalan Alloh lalu pasukannya kalah. Ia pun memahami apa yang telah menimpanya, maka kembalilah ia ke medan perang sehungga darahnya menetes. Alloh swt. Berfirman kepada malaikat, 'Lihatlah hamba-Ku. Ia kembali ke medan karena menginginkan apa (pahala) yang ada pada-Ku dan takut atas apa (murka) yang ada pada-Ku, sampai meneteslah darahnya. Aku bersumpah dihadapan kalian bahwa Aku telah mengampuninya." (HR. Abu Dawud)

    15. Dari Abdul Khair bin Tsabit bin Qais bin Syammas, dari ayahnya, dari kakeknya, ia berkata, "Seorang wanita bernama Ummu Khallad, dalam keadaan bercadar, datang kepada Rasululloh saw. Dan bertanya tentang anaknya yang terbunuh di jalan Alloh. Berkatalah para sahabat kepadanya, 'Engkau datang untuk bertanya tentang anakmu, tetapi engkau menutup mukamu.' Ia menyahut, 'Kalaupun anakku hilang, rasa maluku tidaklah hilang.' Rasululloh saw. Bersabda kepadanya, 'Sungguh, anakmu mendapatkan pahala dua orang yang mati syahid.' Ia bertanya, 'Mengapa?' Rasululloh menjawab, 'karena ia terbunuh oleh Ahli kitab.' (HR. Abu Daud)

    Hadits ini menunjukkan keharusan memerangi Ahli Kitab. Dan Alloh swt. Melipatgandakan pahala orang yang berperang melawan mereka. Jihad disyariatkan bukan untuk memerangi orang musyrik saja, tetapi juga setiap orang yang tidak memeluk Islam.

    16. Dari Sahl bin Hunaif ra., Rasululloh saw. Bersabda,

    "Barangsiapa meminta kepada Alloh syahadah (mati syahid) dengan hati yang tulus, maka Alloh akan menyampaikannya di kedudukan para syuhada', meskipun ia mati di tempat tidurnya." (HR. Abi Dawud, Tirmidzi, Nasa'I, dan Ibnu Majah)

    17. Dari Khuraim bin Fatik berkata, Rasululloh saw. Bersabda,

    "Barangsiapa membelanjakan infaqnya di jalan Alloh maka akan dicatat baginya tujuh ratus kali lipat." (HR. At-Tarmidzi dan ia menghasankannya, hadits yang sama juga diriwayatkan oleh An-Nasa'i)

    18. Dari Abu Hurairah ra. Berkata, "Salah seorang sahabat Rasul Alloh melewati suatu lembah, yang di dalamnya terdapat oase kecil yang bening sekali airnya. Oase itu sempat menjadikan dia kagum, kemudian berkata, 'Oh, seandainya aku memisahkan diri dari manusia dan bertempat tinggal di tempat ini." Orang tadi memberitahukan hal tersebut kepada Rasululloh saw., beliau pun bersabda,

    "Jangan lakukan itu, sesungguhnya maqam salah seorang kamu fisabilillah (berjihad, pent.) itu lebih utama daripada shalat di rumahnya tujuh puluh tahun. Tidakkkah kalian ingin agar Alloh mengampuni kalian dan memasukan kalian kedalam surga? Berperanglah fi sabilillah. Barangsiapa berperang fi sabilillah di atas untanya, wajib baginya surga." (HR. Tirmidzi)

    19. Dari Miqdam bin Ma'dikarib berkata, Rasululloh saw. Bersabda,

    "Seorang syahid di sisi Alloh mendapatkan enam keistimewaan Alloh mengampuni dosanya sejak awal perjalanan jihadnya, diperlihatkan tempat tinggalnya di surga, dipelihara dari siksa neraka, diberi rasa aman dari goncangan terbesar (hari kiamat), ditaruh diatas kepalanya sebiah mahkota mutu manikam, disana ia lebih baik daripada dunia seisinya, dinikahkan dengan tujuh puluh dua bidadari surga, dan bisa memberi syafaat kepada tujuh puluh anggota keluarganya." (HR. Tirmidzi dan Ibnu Majah)

    20. Dari Abu Hurairah ra. Berkata, Rasululloh saw. Bersabda,

    "Barangsiapa bertemu Alloh (di hari kiamat nanti) tanpa ada bekas sedikitpun dari jihad maka ia bertemu Alloh sementara dalam dirinya ada keretakan." (HR. Tirmidzi dan Ibnu Majah)

    21. Dari Anas ra. Berkata, Rasululloh saw. Bersabda,

    "Barangsiapa memohon syahadah dengan jujur, maka akan dianugerahkan (syahadah itu)." (HR. Muslim)

    22. Dari Utsman bin Affan, Nabi saw. Bersabda,

    "Barangsiapa melakukan ribath fu sabilillah (berjaga di medan jihad) satu malam, maka (nilainya) seperti seribu malam dari puasa dan shalatnya." (HR. Ibnu Majah)

    23. Dari Abi Darda' ra. Bahwasannya Rasululloh saw. Bersabda,

    "Satu kali peperangan di laut itu seperti sepuluh kali peperangan di darat. Dan orang yang bergumul di laut (dalam rangka jihad) adalah seperti orang yang berlumuran darahnya fi sabilillah." (HR. Ibnu Majah)

    yang dimaksud bergumul di laut pada hadits ini ialah orang yang diguncang dan diombang-ambingkan kapal (dalam rangka jihad). Ini merupakan isyarat tentang keutamaan perang di laut dan mengkonsentrasikan umat akan wajibnya menjaga batas-batas territorial dan memperkuat angkatan laut. Hal itu bisa juga dianalogikan dengan udara maka Alloh akan melipatgandakan pahala bagi para pejuang di udara.

    24. Dari Jabir bin 'Abdillah berkata, "Ketika Abdullah bin Amru bin Hizam terbunuh dalam perang Uhud, Rasululloh bersabda, 'Wahai Jabir, maukah kamu saya beri tahu tentang apa yang difirmankan Alloh kepada ayahmu?' saya (Jabir) menjawab, 'ya.' Rasululloh saw. Bersabda, 'Tidaklah Alloh itu berfirman kepada seseorang kecuali dari balik hijab, sementara Dia berfirman kepada ayah anda dalam keadaan (ayah anda) berjihad. Maka Alloh berfirman, 'Wahai hamba-Ku berharaplah kepadaKu, niscaya akan Aku beri.' Ia (hamba tadi) berkata, 'Wahai Rabb-ku, hidupkanlah aku, kemudian aku terbunuh dijalan-Mu untuk kedua kalinya." Dia berfirman, 'Sesungguhnya telah terlanjur bahwa mereka tidak akan dapat dikembalikan (ke dunia lagi).' Ia (hamba tadi) berkata, 'Wahai Rabbku, beritahukanlah kepada orang-orang setelahku.' Maka Alloh menurunkan ayat berikut, 'Janganlah kamu mengira bahwa orang-orang yang gugur di jalan Alloh itu mati, bahwa mereka itu hidup disisi Tuhannya dengan mendapatkan rezeki (Ali Imran: 169)." (HR. Ibnu Majah)

    25. Dari Anas, dari ayahnya ra., dari Nabi Muhammad Saw. Bahwa beliau bersabda,

    "Aku mengantarkan seorang mujahid fi sabilillah, maka aku persiapkan kuda tunggangannya diwaktu pagi maupun sore, itu lebih baik bagiku daripada dunia seisinya." (HR. Ibnu Majah)

    mempersiapkan disini adalah membantu menyiapkan.

    26. Dari Abi Hurairah ra. Berkata, Rasululloh bersabda,

    "Duta Alloh itu tiga. Pejuang, haji, dan orang yang berumrah." (HR. Muslim)

    27. Dari Abu Darda berkata, Rasululloh bersabda,

    "Seorang syahid itu bisa memberi syafa'at kepada tujuh puluh anggota keluarganya."

    28. Dari Abdullah bin Umar ra. Berkata, Rasululloh saw. Bersabda,

    "Jika kalian berjual beli dengan nasi'ah (riba nasi'ah, pent), mengikuti ekor sapi (diperbudak harta benda), sibuk dengan bercocok tanam, dan meninggalkan jihad, maka Alloh akan menimpakan kehinaan atas kalian, yang kehinaan itu tidak akan tercabut dari diri kalian kecuali jika kalian kembali kepada agama kalian." (HR. Ahmad dan Abu Dawud, dan dinisbahkan Al-Hakim)

    29. Dari Abu Hurairrah ra. Berkata, "Rasululloh bersama para sahabatnya bertolak ke Badar, sehingga mendahului orang-orang musyrik. Setelah itu datanglah orang-orang musyrik. Maka Rasululloh bersabda (kepada tentara kaum muslim), 'Bangkutlah kalian menuju surga yang luasnya seluas langit dan bumi.' Umair bin al-Hammam berkata, 'Apa yang menyebabkan kamu berkata 'bukh… bukh…'?' Umair menjawab, 'Bukan ya Rasululloh, aku hanya ingin menjadi orang yang termasuk di dalamnya.' Rasululloh bersabda, 'kau termasuk didalamnya.' Perawi (Abu Hurairah) berkata, 'Kemudian dia mengeluarkan korma dari tangkainya seraya memakannya, kemudian berkata, 'Seandainya saya hidup dengan memakan korma ini, maka itu adlah kehidupan yang panjang.' Maka ia lemparkan kurma yang ada di sisinya, kemudian berperang, sampai akhirnya terbunuh." (HR. Muslim)

    30. Dari Abu Imran berkata, "Kami berada di kota Romawi. Kaum muslimin pun keluar menghadapi mereka dengan jumlah yang sebanding, bahkan lebih banyak. Penduduk Mesir dikomandani oleh Uqbah bin Amir, sementara jamaah (dari Anshar) dipimpin oleh Fudhalah bin Ubaid. Tiba-tiba salah seorang dari tentara kaum muslimin masuk menerobos barisan tentara Romawi, sampai berada ditengah-tengah mereka. Kaum muslimin yang lain berteriak seraya mengatakan, 'Ia telah menjatuhkan dirinya ke dalam binasaan.' Saat itulah Abu Ayyub Al-Anshari bangkit seraya berkata, 'Wahai sekalian manusia, demikianlah kalian menta'wilkan ayat tadi. Sesungguhnya ayat itu turun kepada kami orang-orang Anshar di saat Alloh memenangkan Al-Islam dan memperbanyak pengikutnya.' Saat itu sebagian dari kami berbisik kepada sebagian yang lain tanpa sepengetahuan Rasul Alloh, 'Sesungguhnya harta-harta kita telah musnah dan Alloh telah memenangkan Islam ini serta memperbanyak pengikutnya. Alangkah seandainya kita urus lagi harta-harta kita dan mengembalikan yang telah musnah.' Maka Alloh menurunkan ayat kepada Nabi-Nya untuk membantah uneg-uneg kami tersebut, 'Dan janganlah kamu menjatuhkan dirimu sendiri kedalam kebinasaan…' (Al-Baqarah: 195) Maka yang dimaksud kebinasaan adalah mengurus dan memperbaiki kondisi ekonomi, sementara meninggalkan jihad." Demikianlah Abu Ayyub terus-menerus berjihad sampai akhirnya wafat dan dimakamkan di negeri Romawi." (HR. Tirmidzi)

    Lihatlah wahai saudaraku, ketika Abu Ayyub mengucapkan hal ini, beliau telah memasuki usia senja, telah melewati masa muda. Namun kendati demikian, ruh, dan keimanannya pantas dijadikan teladan bagi sebuah masa muda yang kuat dengan dukungan Alloh dan kemuliaan Al-Islam.

    31. Dari Abu Hurairah ra., dari Rasululloh saw. Bahwa beliau besabda,

    "Barangsiapa mati (dalam keadaan) belum pernah berperang dan tidak terbesit dalam benaknya keinginan berperang, maka ia mati dalam keadaan munafik." (HR. Muslim dan Abu Dawud. Hadits-hadits yang semakna dengan hadits ini banyak jumlahnya)

    Hadits-hadits tentang hal itu dan yang sejenisnya, dan juga hadits tentang keutamaan perang di laut daripada di darat, perang terhadap Ahli Kitab, demikian pula hadits-hadits tentang rincian hukum perang, sungguh jauh lebih banyak daripada hanya sekedar dituliskan dalam berjilid-jilid buku. Kami tunjukkan kepada anda sebuah kitab, yakni Al 'Ibrah fi ma Warada 'anillahi wa Rasulihi fi Ghazwi wa; Jihad wal Hijrah, oleh As-Sayyid Hasan Shadiq Khan, sebuah buku yang memang khusus membahas masalah ini; juga kitab Masyari' Al-Asywaq ilaa Mashari' Al-Isyaq wa Mutsirul Gharam ila Darisallam. Dan juga di semua kitab hadits pada bab "Al-Jihad", kita bisa melihat lebih banyak lagi.

    HUKUM JIHAD MENURUT PARA AHLI FIQIH

    Telah kami sebutkan beberapa ayat dan hadits tentang keutamaan jihad. Kini saya ingin nukilkan untuk sebagian dari apa yang dikatakan oleh para ahli fiqih dari ulama mazhab hingga ulama kontemporer, tentang hukum jihad dan kewajiban mempersiapkannya. Semua ini dimaksudkan agar engkau tahu sejauhmana umat Islam telah menyia-nyiakan hukum agamanya tentang jihad yang telah disepakati oleh seluruh kaum muslimin di setiap masa. Simaklah yang berikut ini.

    1. Penulis buku Majm'ul Anhar fi Syarhi Multaqal Abrar menetepkan hukum-hukum jihad dalam Mazhab Hanafi seraya berkata, "Jihad-dalam pengertian secara bahasa- adalah pengerahan segenap potensi dengan ucapan dan tindakan. Sedangkan menurut syariat, ia berarti memerangi orang kafir dan sebangsanya, dengan memukulnya, merampas hartanya, menghancurkan tempat ibadahnya, dan memusnahkan berhala-berhalanya. Itu dikehendaki sebagai usaha untuk mengokohkan agama dengan memerangi ahlil harb dan ahluzh zhimmah jika mereka membatalkan janji, dan memerangi kaum murtad yang merupakan sekotor-kotor orang kafir, untuk memutuskan setelah menetapkan. disamping itu, juga memerangi orang-orang yang durjana. "Memulai dari kita" adalah fardhu kifayah. Artinya, wajib bagi kita untuk memulai dalam memerangi mereka setelah sampainya dakwah meskipun dalam memerangi mereka setelah sampainya dakwah meskipun mereka tidak memerangi kita. Imam wajib mengirimkan pasukan ke darul harb setiap tahun sekali (atau dua kali) dan masyarakat wajib membantunya. Jika sebagian dari mereka telah menunaikannya, maka sebagian yang lain gugur kewajibannya. Jika dengan sebagian tersebut ternyata belum mencukupi, maka wajib bagi sebagian yang terdekat dan terdekat berikutnya. Jika tidak mungkin mencukupi kecuali dengan seluruh masyarakat, maka ketika itu ia menjadi fardhu 'ain sebagaimana shalat. Adapun tentang hukum fardhunya, Alloh swt. berfirman,. "Maka perangilah orang-orang musyrik." Juga sabda Rasululloh saw., "Jihad itu hukumnya tetap hingga hari kiamat." Karenanya, jika semua meninggalkannya, semua berdosa. Hingga sabdanya, "Maka apabila musuh dapat menaklukkan salah satu negeri Islam, atau sebagian dari wilayahnya, jadilah ia fardu'ain, kecuali untuk wanita dan budak tanpa izin suami dan majikan. Juga perkecualian untuk anak sampai ia diizinkan oleh orang tuanya dan orang berhutang sampai mendapatkan izin dari penghutangnya."

    Dalam buku Al-Bahr disebutkan, "Seorang wanita muslimah yang tertawan di timur wajib bagi masyarakatnya yang di barat untuk melepaskannya, selama ia tidak berada di benteng musuh."

    2. Berkata pengarang buku Bulghatus Salik Liaqrabil Masalik fi Mazhabil Imam Malik, "Jihad di jalan Alloh demi meninggikan kalimah-Nya setiap tahun adalah fardhu kifayah; jika sebagian sudah menunaikan, maka sebagian yang lain gugur kewajibannya. Ia menjadi fardu 'ain (sebagaiman wajibnya shalat dan puasa) dengan penetapan dari Imam dan serangan musuh di tengah kaum. Ia ditetapkan (wajibnya) untuk kaum tersebut dan kemudian kepada masyarakat yang terdekat jika tidak mampu menghadapi. Pada kondisi ini ditetapkan pula untuk wanita dan budak meskipun tidak diizinkan oleh suami dan majikan, juga ditetapkan atas pemilik hutang meski dihalang oleh penghutangnya. Ia ditetapkan juga karena naszar. Orang tua hanya boleh menghalangi anaknya dalam fardhu kifayah. Pembebasan tawanan muslim dari tangan ahlul harb, jika ia tidak memiliki harta sebagai tebusannya, adalah fardhu kifayah, meskipun-sebagai penebusnya-harus menghabiskan harta seluruh kaum muslimin."

    3. Dalam matan Al-Manhaj oleh imam Nawawi Asy-syafi'I disebutkan, "Jihad pada masa Rasululloh saw. Adalah fardu kifayah, dikatakan juga fardhu 'ain. Adapun masa setelahnya, untuk orang-orang kafir, ada dua keadaan:

    Pertama, jika mereka berada di negerinya sendiri, jihad hukumnya fardhu kifayah, jika sudah ada dari kaum muslimin yang menunaikan dan mencukupinya, gugurlah kewajiban ini dari yang lain.

    Kedua, jika mereka masuk ke negeri kira, maka kewajiban bagi warga Negaranya yang mampu untuk mempertahankannya. Jika kondisi mengharuskan adanya peperangan, wajib bagi yang mampu untuk melakukannya, meskipun mereka kaum fakir miskin, anak, dan penghutang, tanpa meminta izin kepada siapapun.

    4. Dalam buku Al-Mughniy karangan Ibnu Qudamah Al-Hambali disebutkan, "Jihad adalah fardhu kifayah; jika sebagaian telah melakukannya maka gugurlah kewajiban bagi yang lain. Dan ditetapkan keputusan selanjutnya dalam tiga keadaan:

    Pertama, jika kedua pasukan telah berhadap-hadapan maka garam bagi orang yang hadir ditempat itu untuk lari. Wajib baginya berperang.

    Kedua, jika orang-orang kafir masuk dalam suatu negeri, maka diwajibkan kepada warganya untuk mempertahankan dan memeranginya.

    Ketiga, jika imam meminta masyarakat untuk maju berperang, maka wajib bagi mereka untuk memenuhi panggilan ini bersamanya. Jihad dilakukan minimal setahun sekali.

    Abu Abdullah, yakni Imam Ahmad bin Hanbal berkata, "Saya tidak mengetahui suatu amal yang lebih utama-setelah ibadah-ibadah wajib-kecuali jihad, dan perang di laut itu lebih utama daripada perang di darat."

    Berkata Anas bin Malik ra., "Suatu saat Rasululloh saw. Tertidur lalu bangun dan tertawa. Berkata Ummu Haram, 'Apa yang membuat engkau tertawa wahai Rasululloh?' Rasululloh saw. Menjawab, 'Sekelompok umatku memperlihatkan kepadaku tatkala jihad di jalan Alloh. Mereka menaiki kapal laut sebagaimana raja-raja diatas singgasana.'" (Muttafaq 'alaihi) Di penghujung hadits ini Ummu Haram meminta kepada Nabi saw. Agar mendoakan kepada Alloh supaya dirinya termasuk dalam rombongan itu. Rasululloh saw. Pun mendoakannya. Pada saat pembebasan kota Cyprus, Ummu Haram ikut di armada laut kaum muslimin. Beliau meninggal dan dimakamkan disana. Disana kini ada sebuah mesjid dan makam yang dinisbatkan kepadanya (Ummu Haram ra.).

    5. Berkata Ibnu Hazm Asz-Dzahiri dalam Al-Muhalla-nya, "Jihad adalah fardhu bagi kaum muslimin. Jika sudah ada sekelompok orang yang memerangi orang dinegerinya dan melindungi pertahanan kaum muslimin darinya maka gugurlah kewajiban bagi sebagian yang lain. Jika tidak fardhu tentu Alloh saw. Tidak berfirman, "Pergilah berperang, baik dalam keadaan ringan maupun berat dan berperanglah dengan harta dan jiwa kalian." Atau kecuali musuh telah merusak dalam wilayah kaum muslimin maka saat itu setiap orang yang mampu wajib membantu perjuangan, baik diizinkan oleh orang tua maupun tidak. Tentu saja ada perkecualian, jika dengan kepergiannya itu kedua orang tua atau salah satunya menjadi terlantar. Ia tidak boleh meninggalkan orang tuanya dalam keadaan terlantar.

    6. Berkata Syaukani dalam buku Sailul Jarar, "Dalil-dalil tentang wajibnya jihad dalam Kitabullah dan Sunnah Rasul sangatlah banyak jika dituliskan disini. Namun ia tidaklah fardhu kecuali kifayah; jika sudah ada sebagian yang menunaikan maka yang lain telah gugur kewajibannya. Adapun sebelum ada yang menunaikan, ia fardhu 'ain bagi setiap mukallaf. Demikian juga wajib hukumnya bagi orang yang diminta berangkat jihad oleh imam, ia berangkat, dan ia mendapatkan ketetapan hukum wajib dengannya.

    Demikianlah, engkau kini mengerti bagaimana bahwa seluruh ahlul 'ilmi; bagi para mujahid maupun muqallid-nya, baik ulama salaf maupun khalafnya, sepakat bahwa jihad adalah fardhu kifayah bagi umat Islam untuk menyebarkan dakwah, dan fardhu 'ain untuk mempertahankan serangan kaum kufar. Umat Islam kini, sebagaimana kita tahu, dalam keadaan terhina di hadapan kaum kufar dan menjadi objek hukum mereka. Tanah air mereka telah diinjak-injak, kehormatan mereka telah dinodai, urusan mereka diatur oleh undang-undang musuh, dan syiar-syiar agama mereka pun terlantar dinegeri mereka sendiri. Keadaan serupa ini masih ditambah dengan lemahnya kemampuan mereka menyebarkan dakwahnya. Dengan adanya kenyataan ini, maka wajiblah bagi setiap muslim (dengan wajib 'ain) untuk mempersiapkan diri dan mengkokohkan niat dalam rangka menghadapi jihad sampai datangnya kesempatan untuk itu, kemudian Alloh akan menentukan keputusan-Nya untuk kita.

    Sebagai pelengkap bagi pembahasan ini barangkali tidak ada buruknya saya sampaikan bahwa kaum muslimin di setiap masa-sebelum masa sekarang, yang penuh kegelapan dan telah padam bara jihad umatnya-tidak pernah meninggalkan jihad; dari para ulama, ahli tasawuf, hingga para pekerjanya. Mereka semua dalam kesiapan penuh untuk berjihad.

    Lihatlah Abdullah bin Mubarak, seorang faqih yang zuhud, dia telah mempersembahkan sebagian besar waktunya untuk jihad. Demikian halnya dengan Abdullah Wahid bin Zaid, yang ahli tasawuf dan zuhud. Ada lagi Syaqiq Al-Balkha. Guru besar tasawuf itu berangkat bersama-sama muridnya untuk berjihad. Simak pula sejarah hidup Al Buadrul 'Aini, pensyarah Shahih Bukhari yang faqih dan ahli hadits; isa jihad setahun, belajar setahun, dan berhaji setahun. Demikian juga dengan Al-Qadhi Asad bin Furat Al-Maliki, ia adalah panglima armada angkatan laut pada masanya. Juga Imam Syafii, sangat dikenal dengan kemampuannya "melempar" sepuluh kali tanpa melesat sekalipun".

    Demikianlah orang-orang salaf kita, lalu di manakah posisi kita di hadapan sejarah yang agung ini?

    UNTUK APA MUSLIMIN BERPERANG?

    Pernah datang suatu masa di mana manusia mencela Islam karena wajibnya jihad dan pembenarannya atas perang, sampai terwujudnya apa yang termaktub dalam Al-Qur'an,

    "Kami akan memperlihatkan kepada mereka tanda-tanda (kekuasaan) kami di segenap ufuk dan pada diri mereka sendiri, sehingga jelaslah bagi mereka bahwa Al-Qir'an itu adlah benar. (Fuslihat: 53)

    Maka kini mereka mengakui bahwa "mempersiapkan diri untuk perang adalah yang paling menjamin bagi terwujudnya perdamaian". Alloh swt. mewajibkan kepada kaum muslimin bukan sebagai alat pemusnah orang kafir atau sarana bagi kepentingan pribadi, tetapi sebagai perlindungan bagi dakwah dan jaminan bagi perdamaian, selain sebagai media untuk menunaikan misi (risalah) agung yang dipikulkan di pundak kaum muslimin; misi hidayah bagi manusia untuk menegakkan kebenaran dan keadilam. Islam, sebagaimana ia mewajibkan perang, ia juga sangat concern kepada perdamaian. Alloh swt. berfirman,

    "Dan jika mereka condong kepada perdamaian, maka condonglah kepadanya dan bertawakAlloh kepada Alloh.: (Al-Anfal: 61)

    Seorang muslim, tatkala ia keluar untuk berjihad, di benaknya ada satu pikiran; berjihad agar kalimat Alloh menjadi yang tertinggi. Agamanya pula melarang ia mencampuri niat yang suci ini dengan maksud-maksud lain; demi pangkat, demi ketenaran, demi harta, demi meraup ghanimah, atau demi memenangkan peperangan tanpa peduli kebenaran. Semua itu haram baginya. Yang halal hanyalah satu urusan; mempersembahkan darah dan nyawanya sebagai tebusan bagi aqidahnya dan demi menegakkan hidayah bagi seluruh umat manusia.

    Dari Al Harits bin Muslim bin Al-Harits dari ayahnya berkata, "Rasululloh mengutus kami dalam sebuah pasukan, ketika sampai ditempat penyerbuan, saya pacu kuda tunggangan, sehingga saya bisa mendahului teman-teman saya yang lain. Tiba-tiba saya bertemu dengan penduduk kampung dalam keadaan menangis memelas, saya katakan kepada mereka, 'ucapkan la ilaha ilAlloh, niscaya kalian akan dilindungi.' Kemudian mereka mengucapkannya. Teman-teman banyak yang menyesalkan apa yang telah saya lakukan seraya berkata, 'kau telah menghalangi kami untuk mendapat ghanimah.' Ketika kami datang kepada Rasululloh saw, mereka menceritakan kepada beliau apa yang telah saya perbuat. Rasululloh kemudian memanggil saya dan menganggap baik apa yang telah saya lakukan, kemudian beliau bersabda, 'Ingatlah, sesungguhnya Alloh telah mencatat bagimu pahala setiap orang sekian…dan sekian.' Beliau juga bersabda, 'Sedangkan aku, maka akan kutulis untukmu wasiat setelahku.' Maka beliau lakukan dan beliau tanda tangani serta menyerahkan wasiat itu kepadaku." (HR. Abu Dawud)

    Dari Syadad bin Al-Hadi ra. bahwasannya ada seorang laki-laki dari suku Badui dan datang beriman kepada Nabi saw. Kemudian dia berkata, "Aku akan hijrah bersamamu" Rasululloh kemudian memberitahukan hal ini kepada sebagian sahabatnya. Dan adalah suatu ketika, selesai perang kaum muslimin mendapat ghanimah, disana terdapat Rasululloh saw. Maka ia pun (orang tadi) mendapat bagian (dari ghanimah itu). Ia bertanya, "Apa ini?" Rasululloh menjawab, "ini bagianmu" ia berkata, bukan karena ini aku mengikutimu, aku mengikutimu gar aku terkena anak panah ke sini (ia mengisyaratkan ke arah lehernya), maka aku mati dan masuk syurga." Rasululloh bersabda, "Jika kamu jujur kepada Alloh (dalam hal ini) maka Alloh akan mengabulkannya." Mereka istirahat sejenak, kemudian menuju sebuah peperangan menghadapi musuh. Maka orang tadi dibawa kehadapan Rasululloh saw. Dalam keadaan terkena anak panah persis dibagian leher seperti yang ia isyaratkan sebelumnya. Rasululloh bertanya, "Apakah ini orang tadi?" Mereka (para sahabat) menjawab, "Ya" Rasululloh bersama, "ia telah jujur kepada Alloh, maka Alloh mengabulkannya." Kemudian ia dikafani dengan jubah Rasululloh saw. kemudian Rasululah, kemudian Rasululloh menshalatinya. Dan diantara do'a yang ada dalam shalat beliau. "Ya Alloh ini adalah hamba-Mu, keluar dalam rangka berhijrah di jalan-Mu, maka dia terbunuh dalam keadaan syahid dan aku adalah saksi atas hal itu." (HR. An-Nasa'i)

    Dari Abu Hurairah bahwa seseorang bertanya, "Wahai Rasul Alloh ada orang yang menginginkan jihad fi sabilillah, sementara dia menghendaki perhiasan di dunia?" Rasululloh menjawab, "Ia tidak mendapatkan pahala apa-apa." Pertanyaan itu diulang sampai tiga kali dan setiap kali selalu dijawab oleh Rasululloh, "Ia tidak mendapatkan pahala apa-apa." (HR. Abu Dawud)

    Dari Abu Musa berkata, Rasululloh ditanya tentang orang yang berperang karena ingin disebut pemberi, orang yang berperang dalam rangka membela fanatisme dan orang yang berperang karena 'riya', manakah di antara mereka itu yang fi sabilillah? Rasululloh menjawab, "Barangsiapa berperang agar kalimat Alloh itu tinggi, maka dia fii sabilillah. (HR. Imam yang lima)

    Jika anda membaca sejarah dan perilaku para sahabat di berbagai negeri sampai merkea bisa menaklukannya, niscaya anda akan tahu puncak kesucian mereka dari berbagai macam ambisi, hawa nafsu, dan poros pergerakan mereka yang hanya bertumpu pada satu tujuan asas, yakni membimbing makhluk kepada Al-Haq, sampai kalimat Alloh tegak. Anda pun akan bisa tahu betapa salahnya tuduhan-tuduhan yang diarahkan kepada mereka, bahwa mereka berjihad tidak lain hanyalah menginginkan dominasi atas bangsa-bangsa, menebarkan feodalisme dan ambisi untuk memperoleh keuntungan financial.

    KASIH SAYANG DALAM JIHAD ISLAM

    Jika jihad dalam Islam memiliki semulia-mulia tujuan, maka sarananya pun adalah seutama-utama sarana.

    Alloh swt. mengharamkan permusuhan. Alloh swt. berfirman, "Dan janganlah kamu melampaui batas. Sesungguhnya Alloh tidak menyukai orang-orang yang melampaui batas." (Al-Maidah: 87)

    Alloh swt. memerintahkan bersikap adil, meskipun kepada musuh. Firman-Nya,

    "Dan janganlah sekali-kali kebencianmu kepada suatu kaum mendorong kamu untuk berlaku tidak adil. Berlaku adillah karena adil itu dekat kepada taqwa." (Al-Maidah: 8)

    Dan Alloh membimbing kaum muslimin menuju kasih sayang yang paripurna. Mereka, ketika berperang tidak melampaui batas, tidak bertindak aniaya, tidak menyiksa tubuh musuh, tidak mencuri, tidak merampok harta, tidak melukai kehormatan, dan tidak membuat derita. Di kala perang, mereka adalah sebaik-baik pasukan perang, dan di kala damai, mereka adalah sebaik-baik pelaku perdamaian.

    Dari Buraidah ra. Berkata, "Rasululloh saw. Jika memerintahkan panglima pasukan perang, ia berwasiat kepadanya secara khusus tentang taqwa kepada Alloh, dan kepada orang-orang yang bersamanya tentang kebaikan, kemudian berkata, 'Berperanglah dengan nama Alloh dijalan Alloh, perangilah orang yang kafir kepada Alloh, perangilah jangan melampaui batas, jangan berkhianat, jangan menyiksa, dan jangan membunuh anak-anak.'" (HR.Muslim)

    Dari Abu Hurairah ra. Berkata, bersabda Rasululloh saw.,

    "Jika salah seorang dari kalian berperang jauhilah wajah. (HR. Bukhari-Muslim)

    Dari Ibnu Mas'ud ra. Berkata, bersabda Rasululloh saw., "Pembunuhan yang paling ringan adalah yang dilakukan oleh ahlul iman." (HR Abu Daud)

    Dari Abdullah bin Yazid Al-Anshari ra. Berkata, "Rasululloh saw. melarang umatnya merampas dan menyiksa." (HR. Bukhari)

    Demikian juga Rasululloh saw. melarang pembunuhan-dalam perang-terhadap wanita, anak-anak, orang-orang tua, menyiksa orang-orang yang terluka, serta menfitnah para rahib dan orang-orang yang mengasingkan diri dari medan peperangan.

    Bagaimana mungkin kita bandingkan jiwa kasih sayang Islam ini dengan jiwa kejam para aggressor yang jahat, yang senantiasa menebarkan ketakutan? Dimana kedudukan undang-undang mereka jika dihadapkan dengan undang-undang ilahi yang integral ini?

    Ya Alloh. Pandaikan kaum muslimin akan agamanya dan selamatkan dunia dari kegelapan ini untuk menuju cahaya Islam.

    YANG TERMASUK JIHAD

    Telah sering kita dengar dari kalangan muslimin bahwa memerangi musuh adalah 'jihad kecil'. Adapun 'jihad besar' adalah memerangi hawa bafsu. Banyak yang berdalil dengan sebuah riwayat, 'kita pulang dari jihad kecil menuju jihad besar." Para sahabat bertanya, "Apakah jihad besar itu?" Rasululloh saw. menjawab, 'Jihad terhadap hati atau jihad melawan hawa nafsu."

    Dengan hadits ini, sebagian orang bermaksud memalingkan orang lain dari memahami pentingnya jihad, persiapan untuknya tekad untuk menegakkannya, dan menyiapkan berbagai sarannya. Adapun riwayat hadits diatas sebenarnya bukanlah hadits shahih. Berkata Amirul Mukminin dari hadits Al-Hafidz ibnu Hajar dalam Tasdidul Qaus, "Hadits itu memang sangat masyhur, Namun sebenarnya ia adalah ucapan Ibrahim bin 'Ablah."

    Berkata Al-Iraqi dalam takhrij hadits-hadits Ihya'Ulumuddin, "Diriwayatkan oleh Baihaqi dengan sanad dha'if dari Jabir. Dan diriwayatkan oleh Khatib dalam tarikhnya dari Jabir, 'Jika saja hadits ini shahih, maka sama sekali tidak benar jika dipahami sebagai memalingkan orang dari jihad dan persiapan bagi penyelamatan negeri kaum muslimin. Namun artinya adalah kewajiban bagi seseorang untuk memerangi dirinya sehingga bersihlah seluruh amalnya hanya karena Alloh. Maka yang demikian itu, ketahuilah.'"

    Ada beberapa hal yang termasuk jihad, yakin amar ma'ruf nahi munkar. Telah disebutkan dalam sebuah hadits, "Seagung-agung jihad adalah kata-kata hak yang diucapkan di hadapan penguasa yang jahat."
    Namun semua itu tidak akan menjadikan pelakunya memperoleh syahid kubra (syahid besar) dan mendapat pahala mujahidin, sebagaimana jika ia berperang atau diperangi di jalan Alloh. http://jihaddandakwah.blogspot.com

    BalasHapus
  4. “ PENERANG
    BAGI ORANG-ORANG YANG BERAKAL
    TERHADAP PENGKABURAN JAHMIYYAH DAN MURJI’AH (Irja’) “
    Bantahan terhadap Kitab
    At Tahdzir Min Fitnatittakfir
    Karya: Ali Hasan Al Halabi Al-Kahdzab
    (Abul Harits Ali bin Hasan bin Abdul Hamid al-Halabi Al-Atsary)


    Penulis
    Al-Allamah Al-Mujahid Syaikh Abu Muhammad ‘Ashim Al Maqdisiy Hafidzhahulloh


    Alih Bahasa
    Al-Ustadz Abu Sulaiman Aman Abdurrahman, Lc Hafidzhahulloh
    Editor
    Ustadz Abu Hanifah Muhammad Faishal alBantani alJawy


    Mimbar Tauhid dan Jihad

    Dari Anas radliallaahu’anhu berkata: Rasululloh shalallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Dua golongan dari umatku tidak akan (bisa) mendatangiku di dekat haudl (telaga): Qadariyyah dan Murji-ah.” (Diriwayatkan oleh Ath Thabaraniy dalam Al Ausath dan dituturkan Al Albaniy…!!! Dalam As Silsilah Ash Shahihah Juz 6 dan berkata: “Isnadnya kuat”)
    Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah Rahimahulloh berkata: “Bila terjadi istifshal (permintaan akan rincian) dan istifshar (permintaan akan penjelasan), maka terbongkarlah semua rahasia, nyatalah malam dan siang dan terseleksilah ahlul iman wal yaqin dari ahlun nifaq al mudallisin (kaum munafiqin yang hobi melakukan kamuflase)”. Selesai dari Ar Risalah At Tis’iiniyyah hal: 26.
    Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah Rahimahulloh berkata pula: [“Dikatakan kepada Al Imam Ahmad Ibnu Hanbal: Orang shalat, shaum dan i’tikaf, apa lebih engkau cintai atau ia berbicara tentang ahlul bid’ah? Maka beliau menjawab: “Bila dia shalat, shaum dan i’tikaf, maka itu hanyalah bagi dirinya sendiri, dan bila ia berbicara tentang ahlul bid’ah itu buat kaum muslimin, ini adalah lebih utama.”
    Beliau (Al Imam Ahmad,ed.) menjelaskan bahwa manfaat hal ini adalah umum bagi kaum muslimin dalam dien mereka, tergolong jenis jihad fi sabilillah, karena membersihkan jalan Alloh, dien-Nya, minhaj-Nya dan ajaran-Nya, serta menghadang sikap aniaya mereka dan permusuhannya atas hal itu adalah wajib kifayah dengan kesepakatan kaum muslimin. Dan andaikata tidak ada orang yang Alloh tegakkan untuk menangkal bahaya mereka itu tentulah dien ini rusak, sedangkan kerusakannya adalah lebih dahsyat dari kerusakan (akibat) penguasaan musuh dari ahlul harbiy (kafir harbiy).]1 Selesai.

    MUQADDIMAH
    Segala puji hanya milik Alloh, kami memuji-Nya, meminta pertolongan-Nya dan meminta ampunan-Nya. Kami berlindung kepada Alloh dari kejahatan jiwa kami dan dari keburukan amalan-amalan kami. Siapa yang Alloh berikan dia petunjuk, maka tidak ada yang bisa menyesatkannya dan siapa yang Dia sesatkan, maka tidak ada yang memberinya petunjuk.
    Saya bersaksi bahwa tidak ada ilah yang berhak diibadati, kecuali Alloh saja, tidak ada sekutu bagi-Nya, dan saya bersaksi bahwa Muhammad adalah hamba dan utusan-Nya.
         •   •    
    “Hai orang-orang yang beriman, bertaqwalah kepada Alloh sebenar-benar taqwa kepada-Nya; dan janganlah sekali-kali kamu mati melainkan dalam keadaan beragama Islam” (Ali ‘Imran: 102).
                          •  
    “Hai orang-orang yang beriman, bertaqwalah kamu kepada Alloh dan katakanlah perkataan yang benar, niscaya Alloh memperbaiki bagimu amalan-amalanmu dan mengampuni bagimu dosa-dosamu. Dan barang siapa mentaati Alloh dan Rasul-Nya, maka sesungguhnya ia telah mendapat kemenangan yang besar”. (Al-Ahzab: 70-71)
     ••                 •       •     
    ”Hai sekalian manusia, bertaqwalah kepada Tuhan-mu yang telah menciptakan kamu dari diri yang satu, dan daripadanya Alloh menciptakan istrinya; dan dari keduanya Alloh memperkembangbiakkan laki-laki dan perempuan yang banyak. Dan bertakwalah kepada Alloh yang dengan (mempergunakan) nama-Nya kamu saling meminta satu sama lain, dan (peliharalah) hubungan silaturahmi. Sesungguhnya Alloh selalu menjaga dan mengawasi kamu.” (An Nisaa’: 1).
    Amma Ba’du... Sesungguhnya sebenar-benar ucapan adalah Kitabullah ta’aalaa dan sebaik-baik tuntunan adalah tuntunan Muhammad shalallaahu ‘alaihi wa sallam serta seburuk-buruk urusan adalah yang diada-adakan, sedangkan setiap yang diada-adakan adalah bid’ah, dan setiap bid’ah adalah sesat serta setiap kesesatan adalah di neraka.
    Kemudian Amma Ba’du:
    Saat saya berada di penjara Sawwaqah pada pertengahan tahun 1417 H telah sampai kepada saya dua exemplar dan dua cetakan yang berlainan dari Fatwa Al Albaniy dan pujian terhadap fatwa ini dari Ibnu Baz seputar apa yang mereka namakan Fitnatuttakfier, dan saya prediksikan akan terus bertambah, karena bidla’ah (barang pajangan yang akan dijual) ini adalah bidla’ah yang sangat laris di kalangan para thaghut hukum (penguasa), oleh karena itu engkau melihat buku-buku itu dicetak dengan cetakan yang paling lux, dan biasanya diberi label dengan ungkapan “Dibagikan dengan cuma-cuma dan tidak diperjualbelikan”.
    Semoga Alloh merahmati Akhi Abu ‘Ashim2, di mana ia telah menceritakan kepada saya tentang sebagian ikhwan tauhid di jazirah bahwa ayahnya termasuk anggota Badan Intelejen Negara (Saudi), dia (si ayah) itu membawakan untuknya jumlah yang sangat besar buku-buku semacam ini di samping kaset-kaset yang berisi materi-materi serupa, yang semua isinya adalah membela-bela para thaghut kafir. Buku-buku serta kaset-kaset itu menggambarkan bahwa para thaghut itu adalah pemimpin (wulatul umur) yang wajib ditaati dan wajib tunduk terhadap mereka serta tidak boleh memberontak terhadap mereka atau membatalkan bai’atnya. Buku-buku dan kaset-kaset itu mengagung-agungkan boneka para thaghut dari kalangan ulama suu’ dan kaki tangan mereka, ia menyindir dan mencela serta menyerang setiap muwahhid yang menjelaskan kebatilan mereka dan menghati-hatikan masyarakat dari mereka. Semua itu (yang menjadikan) Badan Intelejen Saudi memberikan peran besar dan berlomba-lomba dalam mencetaknya dengan cetakan yang paling lux dan membagi-bagikannya secara cuma-cuma.
    Dan al akh ini –semoga Alloh merahmatinya– meriwayatkan ini kepada saya dengan secarik kain, dan ia merasa pedih dengan kesesatan ini yang terpedaya dengannya para pemuda yang bodoh.
    Kemudian saat itu saya katakan kepadanya:
    “Janganlah engkau bersedih, karena Alloh tidak akan menciutkan tauhid dan ahlinya, dan janganlah engkau merana, karena sesungguhnya tulisan-tulisan yang dicetak oleh para thaghut dan kaki tangan mereka dari harta-harta yang mereka kuasai ini lenyap keberkahannya, (di mana) Alloh telah memadamkan cahayanya dan membuat para pemuda benci dengannya. Padahal (di sisi lain) kita melihat buku-buku kaum muwahhidin yang meng-counter para thaghut serta membongkar kepalsuan-kepalsuan syirik dan tandid, laris di kalangan para pemuda padahal cetakan-cetakannya sangat sederhana yang dibiayai oleh kaum muwahhidin dari darah-darah mereka, buku-buku itu dicopy dan dicetak beribu-ribu dengan karunia Alloh ta’aalaa saja”.
    Dan saat itu saya ingatkan ia dengan firman Alloh ta’aalaa:
                    •           •   • •    •   ••         
    “Alloh telah menurunkan air (hujan) dari langit, maka mengalirlah air di lembah-lembah menurut ukurannya, maka arus itu membawa buih yang mengembang. Dan dari apa (logam) yang mereka lebur dalam api untuk membuat perhiasan atau alat-alat, ada (pula) buihnya seperti buih arus itu. Demikianlah Alloh membuat perumpamaan (bagi) yang benar dan yang batil. Adapun buih itu, akan hilang sebagai sesuatu yang tak ada harganya; adapun yang memberi manfaat kepada manusia, maka ia tetap di bumi. Demikianlah Alloh membuat perumpamaan-perumpamaan”. (Ar Ra’du: 17).
    Wahai Abu ‘Ashim... Sesungguhnya kita menulis untuk membela tauhid, sedangkan mereka menulis untuk mengkaburkan tauhid dengan syirik dan tandid.
    Wahai Abu ‘Ashim... Sesungguhnya kita menulis untuk mengembalikan manusia kepada ikatan iman yang paling kokoh, sedangkan mereka menulis untuk memalingkan orang darinya, serta untuk menambal (kerusakan) wali-wali syaithan dan penguasa... Dan selama masalahnya seperti itu maka mereka tidak akan beruntung selamanya...
    Sungguh Alloh ta’aalaa telah berfirman: “Sesungguhnya orang-orang yang membenci kamu dialah yang terputus”. (Al Kautsar: 3), dan tidak seorang pun yang membenci tauhid ini dan memusuhi dakwah ini serta berbuat tipu daya terhadap ahlinya melainkan ia memiliki bagian dari ayat ini.
    Al haq itu adalah pilar yang tidak kuasa menghancurkannya
    Seorangpun walau dikumpulkan jin dan manusia untuknya
    Wahai Abu ‘Ashim… Cukuplah bagi kita bahwa yang kita tulis ini mendatangkan ridla Alloh serta membuat senang kaum muwahhidin dan auliyauddien, dan bahwa tulisan-tulisan mereka mendatangkan ridla musuh-musuh millah ini, mengkaburkan al haq dengan kesesatan, menambali kebatilan, melegalkan syirik, menganggap enteng kekafiran serta menyenangkan kaum musyrikin dan musuh-musuh dien ini...
    Setelah ini tidaklah aneh bila tulisan-tulisan kita mengundang kemurkaan para thaghut, kaki tangan mereka dan penjara-penjaranya... dalam waktu yang mana tulisan-tulisan mereka mengundang keridlaan para thaghut, penghargaan mereka serta dukungan mereka dan auliyanya dengan penuh kedermawanan. Setiap orang yang memiliki dua mata bisa melihat, serta tidak aneh dan tidak asing bila mereka mencetaknya dengan cetakan yang paling lux3 selama buku-buku ini telah diperuntukkan oleh para penulisnya untuk membentengi para thaghut, melegalkan kebatilannya, meringankan kebejatannya dan menegakkan syubhat-syubhat yang batil untuk menganggap mereka itu sebagai kaum muslimin bahkan para pemimpin kaum muslimin dan para penguasa mereka yang syar’iy (sah) ~sebagaimana yang diklaim oleh orang yang Alloh butakan bashirah(mata hati)nya~, terus dia berikan kepada mereka ketaatan dan kesetiaannya, di mana dia dan yang sejalan dengannya menjadi tentara-tentara yang setia dan anshar yang tulus bagi mereka. Maka bagaimana mereka itu tidak menyebarkan buku-buku semacam ini, sedangkan buku-buku itu mempersembahkan bagi mereka penjagaan, dan perlindungan bagi tahta mereka melebihi dari apa yang dipersembahkan kepada mereka oleh angkatan bersenjata dan badan intelejen mereka. Bila angkatan bersenjata memukul dengan pedang penguasa, maka sesungguhnya para ulama boneka itu –walau dalam pandangan kaum awam dan para pengekor– memukul dengan pedang Alloh, dan inilah biang kerok talbis (pengkaburan) dan idllal (penyesatan).
    Manusia… bila mereka itu tunduk kepada penguasa, karena mereka takut pedangnya, maka ketundukan mereka kepada ulama boneka itu adalah lebih besar, karena mereka memandang para ulama itu menandatangan atas nama Alloh dan berbicara dengan dienullah, mereka menyerang dan membabat dengan dalil-dalil syar’iy.
    Enyahlah dan enyahlah bagi orang yang cenderung kepada dunia dan menurutkan hawa nafsunya yang rendah, serta menundukkan diennya untuk pijakan bagi setiap thaghut.
    Tidak ada suatupun yang lebih rugi perniagaannya dari orang ‘alim...
    Yang dipermainkan oleh dunia bersama orang-orang yang bodoh...
    Di mana ia membelah-belah agamanya...
    Dan melenyapkan karena rakus ingin mengumpulkan harta...
    Siapa yang tidak merasa diawasi Tuhannya dan tidak takut terhadap-Nya...
    Maka binasalah dia serta dia tak memiliki satupun penolong...
    Fatwa yang dia susun lagi dia beri muqaddimah dan dia keluarkan berbentuk kitab, dia berikan pujian dengan ucapan ulama Pemerintah Saudi serta dia beri nama “At Tahdzir Min Fitnatittakfir”, dan sebaiknya huruf ha’ diganti kha’ serta dzal diganti dal “At Takhdir” (pembiusan), dan ia sebenarnya adalah fatwa lama, yang telah didengung-dengungkan oleh jahmiyyah zaman kita seputar hal itu dan mereka telah mencetaknya sebelum ini serta dibagikan dengan cuma-cuma dengan judul “Fitnatuttakfir wal Hakimiyyah” yang di-taqdim dan ditambah pengkaburan dan pengawurannya oleh Muhammad Ibnu Abdillah Al Husen.
    Ia berkata pada muqaddimahnya hal 5 tentang orang-orang yang mengobarkan semangat para pemuda untuk (menjihadi) para thaghut: “Adalah yang wajib keberadaan sentimen itu adalah atas dasar dien bukan kejahiliyyahan”, kemudian dia menggugurkan permintaan dia ini dimana dia berkata setelah beberapa alinea: “Sesungguhnya saya mengatakannya kepada semua, sesungguhnya kalian di negeri ini menjadi sasaran –dia maksudkan negara Saudinya sebagaimana yang akan datang–, buang jauh-jauh setiap pemikiran yang masuk kepada kalian, dan janganlah kalian menjadi terompet yang mana orang-orang yang memiliki tujuan (buruk) meniup dari arah kalian, serta menjadi pijakan yang dimanfaatkan oleh orang-orang yang dengki terhadap negeri ini, penduduknya dan ‘aqidahnya. Arahkanlah panah-panah kalian terhadap para pemeluk agama-agama yang sesat dan ‘aqidah-‘aqidah yang rusak yang senantiasa berupaya mencoreng ‘aqidah kalian dengan cara mencela ulama kalian dan menghina para pemimpin kalian.... ”Sampai ia mengatakan hal 6: “Sesungguhnya mereka itu sangat dengki terhadap Ahlis Sunnah, serta demi Alloh mereka itu membuat persekongkolan terhadap keamanan kalian dan negeri kalian...”, hingga mengatakan hal 8: “Dan hendaklah kita mengambil pelajaran dari apa yang terjadi di sekitar kita, dan hendaklah kita membaca sejarah Islam agar kita mengetahui hasil-hasil perseteruan bersama pemerintah, pelecehan terhadap para ulama dan sikap lancang terhadap para pemimpin serta apa yang terjadi berupa perang dan kekacauan dengan rancangan musuh dan sikap ngawur sebagian firqah dan jama’ah-jama’ah, apa yang kamu inginkan? Apa kita tidak terpesona dengan kedamaian ini yang kita nikmati dan yang diangan-angankan setiap orang, serta kekayaan yang kita makmur dengannya dan yang terhadapnya orang dekat dan jauh iri kepada kita. Bisa saja hal ini adalah hal biasa saja bagi sebagian orang, karena mereka tidak pernah membayangkan kondisi negeri ini sebelum pensuciannya...!!! dan penyatuannya dengan tangan sang perintisnya Raja Abdul Aziz.....”
    Dan ia berkata hal 14 : “Adapun ulama rabbaniyyun yang menghabiskan umur mereka dalam penelitian/pengkajian isi-isi kitab-kitab...” sampai ia berkata: “...dan merekalah yang paling banyak keterkaitannya dengan wulatul umur (pemerintah)...!!! (mereka adalah) ahlul halli wal ‘aqdi...” sampai ucapannya hal 15: “Mereka dalam pandangan sebagian orang –semoga Alloh memberikan mereka hidayah– tidaklah mengetahui sedikitpun dari apa yang terjadi, padahal setiap orang yang berakal lagi obyektif mengetahui benar bahwa sikap mereka yang kuat dan berani pada peristiwa perang teluk adalah dalil terbesar terhadap pengetahuan mereka akan realita masalah dan kejadian-kejadian yang sedang berlangsung...!!!”
    Dan ia berkata hal 17: “Bagaimana jadinya bagi orang-orang yang menyuarakan perbaikan kondisi (bila) majelis-majelis mereka tidak terasa indah kecuali dengan meng-ghibah wulatul umur dari kalangan ulama dan umara.”4 Apakah ini manhaj salaf ?5 Apa inikah sunnah yang diwasiatkan dan sunnah Al Khulafa Ar Rasyidin Al Mahdiyyin setelahku6, gigitlah dengan geraham (pegang eratlah) dan hindarilah hal-hal yang diada-adakan.” Selesai.
    Cukup bagi pencari al haq yang jeli dalam membantah buku-buku ini dan membongkar kepalsuannya sekedar dia membaca ungkapan-ungkapan semacam ini, karena yang tertulis sebagaimana yang dikatakan orang-orang umum (bisa diketahui dari judulnya), atau sebagaimana yang dikatakan penyair:
    Dan hal terindah pada diri Khalid adalah wajahnya
    Maka qiyaskanlah terhadap yang tersembunyi dengan yang nampak
    Kemudian setelah orang itu menuturkan fatwa tersebut dan catatan Ibnu Baz terhadapnya, ia menyebutkan sejumlah dari orang-orang terkenal masa kini yang ia nilai tergolong ahlul bid’ah. Dan ini adalah hal yang tidak penting bagi saya, karena perseteruan antara saya dengan dia dan orang-orang yang sejalan dengan dia bukanlah seputar sosok-sosok7 dan bukan pula seputar sosok pribadi saya bila ia menyinggung saya dengan celaan dan umpatan atau orang selain dia.
    Namun perseteruan saya dengan mereka adalah tentang tauhid dan al ‘urwah al wutsqa yang mana mereka membantu atas penghancurannya dan pengkaburannya dengan al bathil, karena mereka rela untuk berada di pihak thaghut seraya membentenginya dan menegakkan syubhat yang bathil untuk melegalkan dan menganggap ringan kekafiran dan kemusyrikannya, sedangkan kami rela berada dalam pihak tauhid dan golongannya. Kami memohon kepada Alloh untuk menghidupkan dan mematikan kami di atas pembelaan terhadap-Nya dan di jalan-Nya.
    Kemudian si penulis mengakhiri kitabnya dengan nasehat umum yang dia dahului dengan ucapannya: (Ini adalah nasehat dari imamul muslimin perintis negeri ini Raja Abdul Aziz Ibnu Abdirrahman Alu Su’ud semoga Alloh merahmatinya dan menempatkannya di kelapangan surga-Nya serta mengampuninya...!!)
    Ia mengakhiri nasihat ini dengan memuji raja itu seraya mengutarakan ucapan seorang penyair:
    Kemudian engkau datang dengan pedang dan Al-Qur’an seraya tegas
    Melaksanakan dengan pedangmu apa yang diinstruksikan Qur’an
    Sehingga lenyap kezhaliman dan kegelapan, serta membumbung
    Di muka bumi ajaran-ajaran dien ini dan pilar-pilarnya
    Dan senantiasa wa lillahil hamdu anak-anaknya setelah beliau berjalan di atas manhajnya dan menerapkan Al Kitab dan As Sunnah...)8 Selesai.
    Akhil Muwahhid, bisa jadi semuanya ini menampakkan di hadapanmu dengan nyata; tujuan utama dari pencetakan dan penerbitan fatwa-fatwa dan tulisan-tulisan semacam ini... dan memperkenalkan kepadamu siapa yang ia layani dan apa yang ia bela?! Serta siapa yang berdiri di belakangnya?!
    Adapun cetakan lain yang di-taqdim oleh Ali Al Halabiy -semoga Alloh memberinya hidayah– maka ia telah sampai kepada saya di penjara; karena ia tergolong buku-buku yang mendapat izin untuk masuk penjara; dan yang tidak mungkin mendapatkan larangan tentunya... !!! Bahkan saya telah menyaksikan para perwira penjara dan pihak keamanannya menawarkannya di antara para napi yang mereka lihat telah mulai terpengaruh dengan dakwah tauhid dengan dugaan dari mereka bahwa mereka bisa berhasil dengan hal itu dalam membela-bela kekafiran-kekafiran mereka dan kekafiran-kekafiran para thaghut mereka serta dalam menetapkan keIslaman mereka yang bohong, atau (minimal) mereka berhasil dengannya dalam menghalang-halangi dakwah ini yang mengkafirkan mereka dan mengkafirkan wali-wali mereka !! Inilah peranan kitab-kitab ini dan inilah buah hasilnya.
    Saya membacanya dan ternyata saya mendapatkannya ia telah menyerang terhadap saya dan terhadap sebagian ikhwan yang baik dengan umpatan dan celaan.
    Inilah yang menjadikan saya pada awal mulanya bimbang dalam membantahnya karena khawatir alat ini bercampur dan pekerjaannyapun ngawur, karena bukan termasuk kebisaaan saya menyibukkan diri dengan sikap membela diri padahal sungguh banyak orang-orang yang menghina, mencerca dan menyelisihi (saya), yang mana mereka tidak takut kepada Alloh dalam dusta dan berbohong atas nama kami serta mengada-ada terhadap dakwah kami, akan tetapi saya terbiasa menyerahkan urusan mereka kepada Alloh :
    “Sesungguhnya Alloh membela orang-orang yang telah beriman. Sesungguhnya Alloh tidak menyukai tiap-tiap orang yang berkhianat lagi mengingkari nikmat.” (Al Hajj: 38).
    Ini bila penyerangan dan pengada-adaan ini dialamatkan kepada pribadi saya sebagaimana yang dilakukan Al Halabiy dalam muqaddimahnya dimana dia mencap saya sebagai “orang yang binasa” padahal vonis ini hanya dikembalikan kepada Alloh... Saya memohon kepada Alloh agar menjadikan saya tergolong orang-orang yang selamat bukan yang binasa, di hari yang mana harta dan anak tidak bermanfaat, kecuali orang yang datang kepada Alloh dengan hati yang bersih.
    Adapun bila hantaman dan serangan itu terhadap dienul muslimin, tauhid rabbul ‘aalamin dan dakwah al anbiya wal mursalin, serta pencapan para pengikutnya dengan label takfieriy dan bahwa mereka itu di atas ajaran Khawarij, dalam rangka menghalang-halangi manusia, pengkaburan dan kamuflase, maka masalahnya bagi kami adalah berbeda.
    Sebagian teman di penjara berkata kepada saya saat membantah kitab ini karena alasan yang lalu :
    “Sesungguhnya mereka menggembor-gemborkan kepada manusia bahwa diam itu adalah ketidakmampuan untuk membantah dan bahwa berpaling itu adalah lari diskusi. Bila engkau mau, jangan singgung celaan dan umpatannya terhadapmu, serta murnikanlah untuk membela dakwah dan tauhid.”
    Maka ungkapan ini membuat saya tertarik, sehingga saya memohon kepada Alloh ta’aalaa untuk hal itu seraya meminta kepada-Nya subhaanahu agar menjadikannya tulus untuk Wajah-Nya Yang Mulia serta memberikan manfaat dengannya kepada si pembaca dan si penulis. Sesungguhnya Dia adalah sebaik-baik Pelindung dan sebaik-baik Penolong.
    Abu Muhammad ‘Ashim Al Maqdisiy.
    Jumadal Ula 1417 H.
    Yordania – Penjara Sawwaqah
    (ربنا أخرجنا من هذه القرية الظالم أهلها واجعل لنا من لدنك وليا واجعل لنا من لدنك نصيرا)

    Peringatan Terhadap Sikap Ngawur Dan Pengkaburan
    Yang Terdapat Pada Muqaddimah Al Halabiy

    Kecaman Dan Penipuan Seputar Hukum Dan Iqamah Serta Mushthalah Al Hakimiyyah
    (1) Al Halabiy berkata dalam muqaddimahnya hal 3:
    (Ini adalah risalah singkat lagi ringkasan dalam masalah hukum) kemudian dia berkata dalam catatan kaki: ((Dan sebagian menyebutnya dengan nama “Al Hakimiyyah”, sedang ia adalah istilah baru yang di dalamnya ada pembahasan dan pengkajian, kemudian dia menjadikan hal itu ushuluddien yang paling penting!! Dan isi-isi millah ini yang paling agung, sehingga bila ‘aqidah disebutkan (di sisinya) maka ia membawanya kepada (Al Hakimiyyah)… ~hingga ucapannya~: Dan ini menurut sejumlah dari ulama!!! Adalah penyerupaan terhadap ‘aqa-id syi’ah yang sangat busuk yang menjadikan imamah sebagai ushuluddien yang paling agung!! Sedangkan ia adalah pendapat yang batil dan pemikiran yang gugur yang telah dibantah secara kuat oleh Syaikhul Islam Rahimahulloh Al Imam Ibnu Taimiyyah dalam Minhajus Sunnah 1/20-29, maka silahkan lihat)). Selesai.
    Ucapannya (Al Halabiy.ed) tentang Al Hakimiyyah : “Istilah baru yang di dalamnya ada pembahasan dan pengkajian” dan ucapannya setelah itu halaman 4 catatan kaki (bagi,ed.) catatan kakinya!! “bahkan yang lebih mengherankan dari itu bahwa sebagian yang lain mengada-ada apa yang dia samakan dengan (tauhidul hakimiyyah) kemudian dia tidak merasa cukup dengan hal itu sampai ia menjadikannya sebagai bagian ke empat dari bagian-bagian tauhid yang terkenal!!! Dan dalam hal itu ia tidak memiliki seorang salaf pun yang mendahuluinya...???!!! Namun ia hanyalah bersumber dari pendapat dan hal-hal yang diada-adakan manusia” Selesai.
    Saya katakan: Di antara penamaan-penamaan itu ada yang tauqifiy (sesuai nash) yang tidak boleh dirubah atau diganti seperti nama-nama Alloh dan sifat-sifat-Nya, nama-nama Iman dan Islam, ketentuan-ketentuan hudud, nishab-nishab, faraidl dan hal-hal lainnya yang telah Alloh gariskan dan Dia tetapkan, atau telah Dia subhaanahu namakan dengan nama-nama tertentu, atau Dia jadikan baginya bentuk-bentuk, ukuran-ukuran dan tata cara tertentu.
    Di antaranya ada yang bersifat ishthilah, yaitu kelompok tertentu bersepakat terhadap suatu yang dikenal di antara mereka, yang di dalamnya tidak ada penyelisihan terhadap suatu perintah dari perintah-perintah Alloh, sehingga kapan ia dilontarkan maka ia menjurus kepadanya.
    Para ulama kita telah menegaskan bahwa (tidak ada penyudutan dalam hal istilah) namun yang penting adalah tidak (boleh) bersepakat atas hal bid’ah atau kesesatan atau tasyri’ (aturan) atau undang-undang yang menyelisihi dienullah.
    Ishthilah itu bisa saja untuk ta’lim (mengajarkan) atau untuk mempermudah pencernaan ilmu, penghapalan matan dan penguasaan definisi-definisi bagi para siswa, maka tidak ada penyudutan (penyelisihan) dalam hal seperti ini dan tidak apa-apa. Dan para ulama masih senantiasa melakukan hal itu tanpa saling mengingkari, karena dalam hal itu yang diperhatikan adalah makna bukan lafazh.
    Dan bisa saja untuk melegalkan bid’ah atau kesesatan seperti ishthilah Khawarij dan Mu’tazilah atas pengekalan pelaku dosa besar di neraka dan ishthilah (kesepakatan) mereka atas penyebutan selain Quraisyiy dari kalangan umara sebagai Amirul Mu’minin dan imamul muslimin9 atau seperti orang-orang yang menyebut bid’ah mereka dengan lafazh tauhid atau Ashluddien dan Al Fiqhul Akbar serta hal lain yang serupa, seperti Jahmiyyah, Mu’tazilah dan yang lainnya dari kalangan Ahlul Kalam10 atau ishthilah (kesepakatan) terhadap dien atau syari’at (ajaran) atau had (sanksi hukum) yang dibuat-buat yang tidak Alloh turunkan dalil tentangnya. Di antara jenis ini adalah ishthilah (kesepakatan) kaum Yahudi terhadap tahmim (pencorengan wajah) dan dera sebagaimana pengganti rajam, dan kesepakatan budak undang-undang pada zaman kita ini terhadap aturan-aturan dan sanksi-sanksi kufur, serta kesepakatan (ishthilah) mereka terhadap penamaan arbab (tuhan-tuhan) mereka yang beraneka ragam sebagai “musyarri/legislatif” dan terhadap penyebutan undang-undang kafir mereka sebagai “keadilan”, atau seperti penggunaan sebagian orang akan lafazh “tauhid” dalam ungkapan mereka tentang persatuan nasional yang jahiliyyah yang mereka gembor-gemborkan dan yang mempersaudarakan antara berbagai agama serta berbenturan dengan tauhid para rasul11, maka macam ishthilah ini adalah yang tercela lagi bid’ah dan tertolak. Sedangkan Nabi shalallaahu ‘alaihi wa sallam telah bersabda: “Siapa yang mengada-ada dalam urusan kami ini suatu yang bukan bagian darinya maka ia tertolak.”
    Walaupun saya tidak mempergunakan lafazh ini ~“Al Hakimiyyah”~ atau “Tauhid Al Hakimiyyah”, akan tetapi saya tidak melihat di dalamnya suatu yang menentang syari’at, selama madlul (apa yang diindikasikan) nya menjadikan Alloh ridla, terutama sesungguhnya setiap orang yang memiliki sedikit dari ilmu, dia mengetahui bahwa pembagian tauhid yang tiga yang sudah diishthilahkan terhadapnya, yaitu: Tauhidur Rububiyyah, Tauhidul Uluhiyyah dan Tauhidul Asma Washshifat bukanlah nama-nama yang taufiqiy dari Alloh seperti mushthalah (penamaan) sholat, zakat, iman, Islam dan ihsan umpamanya ~namun ia adalah penamaan-penamaan yang tidak terbagi seperti bagian-bagian ini pada zaman sahabat dan orang-orang yang mengikuti mereka dengan baik~, sehingga bisa dikatakan bahwa orang yang membuat suatu ishthilah selain ini maka dia telah berbuat bid’ah dan berpaling dari tuntunan salaf atau ia telah mengikuti pendapat-pendapat dan pemikiran baru kaum Khalaf atau hal selain itu yang dikecam Al Halabiy.
    Tauhidul Uluhiyyah umpamanya dinamakan oleh ulama kita di antaranya Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah dan muridnya Ibnul Qayyim terkadang dengan tauhidul iradah wal qashd, dan terkadang dengan tauhiduththalab, dan terkadang dengan tauhidul ‘amaliy, dan terkadang dengan tauhidusy syar’i serta terkadang dengan tauhidullah bi af’aalil ‘ibaad, sebagaimana mereka menamakan tauhidul ‘asma wash shifat dan tauhidur Rububiyyah dengan tauhid ‘ilmiy atau khabariy atau tauhidul ma’rifah wal itsbat atau tauhidullah bi af’alihi wa asma’ihi wa shifatihi.
    Semua ini tidak apa-apa (ada) di dalamnya dan tidak ada penyudutan, kami tidak mengingkarinya atau mengecam terhadap orang-orang yang menyelisihi kami dalam ishthilah di dalamnya selagi ia haq, karena ia tidak lebih dari sekedar ikhtilaf tanawwu (perbedaan yang bersifat macam-macam yang intinya sama) selama makna yang dimaksud dari ishthilah itu adalah haq. Ibnu Abil ‘Izzi Al Hanafiy berkata dalam Syarh Al ‘Aqidah Ath Thahawiyyah saat berbicara tentang ikhtilaf tanawwu’ hal 514, beliau berkata: (Dan di antaranya ada suatu yang mana masing-masing dari dua pendapat itu semakna dengan makna pendapat yang lainnya, namun dua ungkapan itu berbeda sebagaimana kadang banyak dari manusia berselisih tentang lafazh-lafazh hudud dan bentuk-bentuk dalil, serta pengungkapan dari penamaan-penamaan dan yang lainnya, kemudian kejahilan atau kezaliman membawa (orang) untuk memuji salah satu dari dua pendapat itu dan mencela yang lainnya serta aniaya terhadap orang yang mengatakannya!...) Selesai.
    Mushthalah (istilah) Tauhidul Hakimiyyah ~yang digembar-gemborkan seputarnya oleh Al Halabiy serta kejahilan dan kezhalimannya membawa dia untuk mencelanya dan aniaya kepada orang yang mengatakannya...!!!~ biasanya dipakai oleh orang yang menggunakannya kepada tauhidullah ta’aalaa dalam tasyri’ (penyandaran wewenang pembuatan hukum) sedangkan ia termasuk tauhidullah dalam ibadah.
    Asy Syinqithiy berkata dalam Kitabnya Adlwaul Bayan: “Penyekutuan Alloh dalam hukum-Nya adalah seperti penyekutuan-Nya dalam ibadah-Nya.” Selesai.
    Karena di antara makna ibadah yang wajib dimurnikan seluruhnya kepada Alloh ta’aalaa saja adalah (taat dalam tasyri’ dan hukum, Alloh ta’ala berfirman:
               •           
    “Dan sesungguhnya syaithan mewahyukan kepada wali-walinya supaya mereka membantah kamu, dan bila kamu menuruti mereka maka sesungguhnya kamu adalah orang-orang musyrik.” (Al An‘aam: 121).
    Al Hakim meriwayatkan dengan isnad yang shahih dari Ibnu ‘Abbas Habrul Qur’an tentang sebab turun ayat ini: “Sesungguhnya segolongan orang dari kaum musyrikin dahulu membantah kaum muslimin dalam masalah sembelihan dan pengharaman bangkai, di mana mereka berkata: Kalian makan dari apa yang kalian bunuh dan tidak makan dari apa yang Alloh bunuh? Maka Alloh ta’aalaa berfirman: “...dan bila kamu menuruti mereka, maka sesungguhnya kamu adalah orang-orang musyrik.”
    Alloh ta’aalaa berfirman: “Dan Dia tidak mempersekutukan seorangpun dalam hukum-Nya,” dan dalam qira’ah Ibnu ‘Amir: “Dan janganlah kamu mempersekutukan seorangpun dalam hukum-Nya.” Asy Syinqithiy berkata dalam Adlwaul Bayan: “Dipahami dari ayat-ayat ini seperti firman-Nya ta’aalaa: “Dan Dia tidak mempersekutukan seorangpun dalam hukum-Nya,” bahwa orang-orang yang mengikuti ahkam (aturan-aturan) al musyarri’in (para pembuat hukum) selain apa yang telah Alloh syari’atkan sesungguhnya mereka itu adalah musyrikun billah”.
    Dan beliau menuturkan ayat-ayat yang menjelaskan hal itu, kemudian berkata: “Dan dengan nushush samawiyyah yang telah kami sebutkan, nampaklah dengan sejelas-jelasnya bahwa orang-orang yang mengikuti qawanin wadl’iyyah (undang-undang buatan,ed) yang disyari’atkan syaithan lewat lisan wali-walinya, seraya menyelisihi apa yang disyari’atkan Alloh jalla wa ‘alaa lewat lisan rasul-rasul-Nya, adalah sesungguhnya tidak ada yang meragukan kekafiran mereka dan kemusyrikannya, kecuali orang yang telah Alloh hapus bashirah (mata hati)nya dan Dia butakan dari cahaya wahyu seperti mereka”. Selesai (Adlwaul Bayan 4/83).
    Perhatikanlah hal ini dan hati-hatilah… kamu tergolong orang yang Alloh butakan dari cahaya wahyu...!!!
    Dan Dia ta’aalaa berfirman:
           ...
    “Mereka telah menjadikan alim ulama dan para rahib mereka sebagai tuhan-tuhan selain Alloh...” (At Taubah: 31).
    Sedangkan sudah ma’lum bahwa penafsirannya dalam al ma-tsur: (bahwa ibadah kepada mereka itu adalah menuruti mereka dan mengikuti mereka dalam tahlil, tahrim dan tasyri’). Dan di dalam Kitab Tauhid Syaikh Muhammad Ibnu Abdil Wahhab: (Bab siapa yang menuruti ulama dan umara dalam tahrim (pengharaman) apa yang telah Alloh halalkan atau tahli (penghalalan) apa yang telah Alloh haramkan maka ia telah menjadikan mereka arbab selain Alloh). Kemudian dalam bab itu beliau menuturkan ayat Surat At Taubah tadi, dan hadits ‘Addiy Ibnu Hatim dalam tafsirannya.
    Baik hal ini dinamakan oleh orang yang menamakannya sebagai Tauhidul Ibadah atau Tauhidul Uluhiyyah atau Tauhidsysyar’i atau Tasyri’ atau Tauhiduth tha’ah atau Tauhidul Hakimiyyah atau yang lainnya, maka tidak ada saling menyudutkan dalam ishthilah.
    Dari ini engkau mengetahui bahwa yang perlu diingkari adalah (pengingkaran Al Halabiy kepada (sikap) menjadikan hal itu sebagai ushuluddien yang paling penting dan Abwabul Millah yang paling urgent...!!!)
    Karena bagaimana tidak seperti itu, sedangkan ia adalah bagian terpenting dari Abwabuttauhid yang mana ia adalah hak Alloh atas hamba-hamba-Nya, bukankah Alloh tabaaraka wa ta’aalaa telah berfirman: “Sesungguhnya Kami telah mengutus pada setiap umat itu seorang Rasul, (agar mereka menyerukan): “Beribadahlah kalian kepada Alloh dan jauhilah thaghut.” Jadi ini adalah inti millah para Nabi serta poros roda dakwah mereka seluruhnya. Dan karenanya Alloh ciptakan makhluk, Dia berfirman: “Dan Aku tidak ciptakan jin dan manusia, kecuali supaya mereka beribadah kepada-Ku” yaitu mereka mentauhidkanKu dalam ibadah, atau beribadah kepadaKu saja sebagaimana yang dituturkan Ahli Tafsir.
    Dan ia tergolong al ‘urwatul wutsqa yang barang siapa berpegang teguh dengannya, maka dia selamat dan siapa yang berpaling darinya maka dia rugi, binasa dan sesat dengan kesesatan yang nyata, Alloh ta’aalaa berfirman:
          ••                     
    “...sesungguhnya telah jelas jalan yang benar daripada jalan yang sesat. Karena itu barangsiapa yang ingkar kepada thaghut dan beriman kepada Alloh, maka sesungguhnya ia telah berpegang kepada buhul tali yang amat kuat yang tidak akan putus. Dan Alloh Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui.” (Al Baqarah: 256)
    Atas dasar ini maka tidak ada keraguan bahwa ia adalah Abwabuddien yang paling agung, intinya dan rukun-rukun ‘aqidah yang paling urgent.
    Al Halabiy sendiri telah menukil hal seperti ini hal 5 dalam Muqaddimahnya dari Syaikh Abdullathif Ibnu Abdurrahman Ibnu Hasan Alu Asy Syaikh ucapannya: “Dan hukum-hukum-Nya yang intinya adalah mentauhidkan-Nya dan ibadah kepada-Nya saja tidak ada sekutu bagi-Nya” Selesai.
    Dan kakek beliau Syaikh Muhammad Ibnu Abdil Wahhab berkata “Inti dienul Islam dan pondasinya ada dua:
    Pertama:
    - Perintah untuk beribadah kepada Alloh saja tidak ada sekutu bagi-Nya.
    - Memberikan semangat atas hal itu.
    - Berloyalitas di dalamnya.
    - Dan mengkafirkan orang yang meninggalkannya.
    Ke dua :
    - Memberikan peringatan dari syirik dalam ibadah kepada Alloh.
    - Menyikapi dengan keras terhadap hal itu.
    - Melakukan permusuhan di dalamnya.
    - Dan mengkafirkan orang yang melakukannya”
    (Majmu’atut Tauhid: 33).
    Kenapa saya pergi jauh dalam memberi contoh... Ini dia guru kamu sendiri (yakni) Al Albaniy menetapkan hal ini dan menggunakan mushthalah ini yang kamu kecam dan kamu kecam orang-orang yang memakainya...12, di mana dia berkata dalam jilid ke enam dari As Silsilah Ash Shahihah pada hadits no: 2507 hal 30: “Bahwa di antara Ushul dakwah salafiyyah adalah bahwa al hakimiyyah itu milik Alloh saja”. Selesai.
    Bisa jadi kamu tidak mengetahui apa yang ditulis guru kamu13 dan tidak mengetahui ushul dakwah salafiyyah yang kamu klaim...!! atau kamu mengetahui hal ini darinya dan kamu pura-pura tidak melihat, karena boleh bagi sang guru menurutmu apa yang tidak boleh bagi orang lain...!!! Bukankah demikian wahai murid...???
    Jadi Al haq (adalah,ed.) bahwa bab Tauhid Al Uluhiyyah dan segala yang berkaitan dengannya, baik itu dinamakan dengan Al Hakimiyyah atau yang lainnya –tidak ragu ia tergolong Ushuluddien yang paling penting– dan oleh karena itu Al Qur’an dari awal hingga akhir hanyalah diturunkan untuknya.
    Al ‘Allamah Ibnul Qayyim Rahimahulloh berkata: “Sesungguhnya setiap ayat dalam Al Qur’an mengandung tauhid, menjadi saksi baginya lagi mengajak kepadanya, karena Al Qur’an itu:
    - Bisa berbentuk ajakan kepada ibadatullah saja tidak ada sekutu bagi-Nya, serta melepas segala yang diibadati selain-Nya. Ia adalah tauhid iradiy thalabiy.
    - Bisa berbentuk perintah dan larangan dalam haq-haq tauhid dan hal-hal yang merupakan kesmepurnaannya.
    - Bisa berbentuk berita tentang pemberian Alloh untuk Ahluttauhid dan apa yang Dia perlakukan terhadap mereka di dunia serta apa yang Dia berikan kepada mereka di akhirat. Ia adalah balasan tauhid.
    - Bisa berbentuk berita tentang Ahlusysyirki dan apa yang Dia perlakukan terhadap mereka di dunia berupa siksa dan apa yang menimpa mereka kelak berupa ‘adzab. Ia adalah berita tentang orang yang keluar dari hukum tauhid.
    - Dan bisa berbentuk berita tentang Alloh, Nama-Nama-Nya, Shifat-Shifat-Nya dan perbuatan-perbuatan-Nya. Ia adalah tauhid ‘Ilmiy Khabariy.
    Jadi Al Qur’an seluruhnya tentang Tauhid, haq-haqnya dan balasannya serta tentang lawannya yaitu syirik, para pelakunya dan balasan mereka”. Selesai secara ikhtishar.
    Ini adalah hal yang tidak dibantah, kecuali oleh orang yang hobi membantah, bahkan ia adalah lebih penting dan lebih urgent dari tauhidul Asma wash Shifat yang dijadikan oleh ad’iyaussalafiyyah (para pengaku salafiy) hari ini sebagai Ushuluddien yang paling penting, di mana bila disebut nama “’aqidah” di sisinya, maka ia membawanya kepada Al Asma wash Shifat, dan bila “ia” menyebut ‘aqidah, maka sesungguhnya ia baginya hanya satu (yaitu) Tauhidul Asma Wash Shifat...!!!14
    Oleh sebab itu sesungguhnya engkau mendapatkan banyak dari mereka mensifati sebagian yang lain dengan ucapannya: “Fulan!! Alangkah bagusnya dia dan alangkah pandainya dia!! Sesungguhnya dia itu salafiyyul ‘aqidah!!” Seraya mereka memaksudkan bab ini dari bab-bab i’tiqad, dan beserta hal itu tidaklah berbahaya bagi mereka bila si fulan tersebut tergolong anshar thaghut atau penasehatnya...!!! Atau pengagumnya atau pendukungnya yang mendoakan baginya agar tetap jaya dan panjang umur kekuasaannya...!!! Atau sampai walaupun dia itu termasuk dewan legislatif yang musyrik di majelis-majelis syiriknya (parlemen).15
    Inilah sungguh Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah Rahimahulloh telah berkata: “Maka yang wajib adalah kita menetapkan apa yang telah ditetapkan Al Kitab dan As Sunnah dan kita menafikan apa yang dinafikan Al Kitab dan As Sunnah. Sedangkan lafazh yang mujmal (global) yang tidak ada dalam Al Kitab dan As Sunnah, maka tidak dinyatakan padanya penafian dan penetapan sehingga jelas maksud darinya”. Selesai Majmu Al Fatawa 7/663.
    Dan berkata lagi 12/114: “Dan adapun lafazh-lafazh yang tidak ada dalam Al Kitab dan As Sunnah serta tidak disepakati salaf atas penafian atau penetapannya, maka ini tidak ada kewajiban atas seorangpun untuk menyetujui orang yang menafikannya atau yang menetapkannya sehingga ia meminta penjelasan tentang maksudnya, kemudian bila dia memaksudkan dengannya makna yang selaras dengan khabar Rasululloh shalallaahu ‘alaihi wa sallam maka ia mengakuinya, dan bila ia memaksudkan dengannya makna yang menyelisihi khabar Rasululloh shalallaahu ‘alaihi wa sallam maka ia mengingkarinya”. Selesai.
    Bila engkau faham ini dan mengetahui yang dimaksud dari tauhidul ibadah yang diistilahkan terhadapnya atau terhadap sebagiannya oleh sekelompok dari kalangan muta’akhkhirin dengan (istilah) Hakimiyyah atau tauhidul hakimiyyah, maka nyatalah di hadapanmu bahwa tidak halal menolak atau mengingkari istilah ini, dan jelas pula di hadapanmu setelahnya talbis yang dilakukan Al Halabiy saat berkata tentang bab ini: “Dan ini menurut sejumlah dari ulama!! Adalah penyerupaan terhadap ‘Aqa-id Syi’ah yang sangat busuk yang menjadikan imamah sebagai Ushuluddien yang paling agung...!!! Sedangkan ini adalah pendapat yang batil dan pemikiran yang gugur yang telah dibantah secara kuat oleh Syaikhul Islam...” Selesai.
    Sungguh sangat jauh antara tauhid yang agung ini yang kami dengung-dengungkan seputarnya dan yang mana ia adalah poros roda dakwah para nabi dan rasul dan Ashluddien ~walau orang yang keras kepala mencak-mencak~, dengan ‘Aqidah Imamah menurut Rafidlah, yang mana ia berisi iman kepada 12 imam ma’shum!! Dan bahwa Khilafah itu adalah hak yang dirampas dari sebagian mereka serta bahwa imam terakhir mereka adalah Al Mahdi Al Muntadhar versi mereka yang raib di gorong-gorong, yang mereka nanti-nanti masa keluarnya untuk melakukan ini dan itu... dan hal lainnya dari khurafat-khurafat mereka yang mereka jadikan sebagai syarat bagi iman dan rukun yang ke enam dari Arkanul Islam yang mana orang yang tidak meyakininya dikafirkan.
    Demi Alloh keduanya tidak akan bertemu dan tidak akan serupa
    Sampai leher gagak beruban.
    Kebatilan yang akhir ini adalah termasuk Khurafat Rafidlah, ia adalah yang dibantah oleh Syaikhul Islam dalam Minhajussunnah, yang pada dasarnya beliau susun sebagai bantahan terhadap salah seorang ulama Rafidlah; sehingga sebagian ulama menamakannya Ar Raddu ‘Alar Rafidliy, dan di antaranya tempat yang diisyaratkan kepadanya oleh Al Halabiy dalam rangka talbis, agar membuat image di hadapan para pengekor bahwa Syaikhul Islam dalam Minhajus Sunnah membantah kepada orang-orang yang mengatakan pentingnya penerapan syari’at Alloh, perealisasian tauhidullah subhaanahu dalam tha’ah, pemurnian tasyri’ dan hukum bagi-Nya saja, serta mengeluarkan manusia dari penghambaan terhadap makhluk kepada ‘ibadatullah saja!! Hal ini tidak seorangpun menyelisihinya baik Syaikhul Islam maupun para ulama dan imam lainnya. Tidak ada yang membaurkan antara ini dengan ‘aqidah imamah manurut Rafidlah, kecuali orang-orang yang bodoh lagi sesat atau orang-orang yang membuat pengkaburan yang mengetahui perbedaan dan sengaja melakukan tadlis dan talbis... Oh kerinduanku atas dienul Islam (yang bersih) dari orang-orang yang mengkhianati amanah ilmu, dan mengkaburkan al haq dengan al bathil serta menyembunyikan al haq sedang mereka mengetahui.
    Bagaimanapun juga sesungguhnya talbis ini bukan dari pengada-adaan Al Halabiy, namun ia telah taqlid dan mengikuti gurunya Rabi’ Ibnu Hadi Al Madkhaliy dan tidak lain dialah yang dimaksud di sini dengan ucapannya: “Dan ini menurut sejumlah dari ulama...!!! adalah penyerupaan terhadap ‘aqa-id Syi’ah...” Sungguh Al Halabiy telah didahului oleh Al Madkhaliy dengan talbis ini saat ia menuturkan dan menukil ucapan Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah –yang diisyaratkan oleh Al Halabiy kepadanya– dari Minhajus Sunnah dalam bantahannya terhadap ‘Aqidah Imamah menurut Rafidlah, dia (Al Madkhali) tuturkan semuanya –termasuk bantahannya atas klaim mereka bahwa Imamah adalah salah satu rukun iman dengan satu syarat dari syarat-syarat Islam yang mana iman tidak sah kecuali dengannya– seraya tidak malu menempatkan itu semuanya pada konteks bantahannya terhadap orang yang memperbesar status penegakkan Imamah dan Khilafah Rasyidah di muka bumi seraya mengingkari pensifatannya terhadapnya bahwa ia adalah tujuan dien, karena hal itu menurut klaimnya adalah menyelisihi apa yang sudah ma’lum bahwa tujuan dien sebenarnya yang karenanya jin dan manusia diciptakan dan dengannya semua rasul diutus adalah hanya pemurnian ibadah kepada Alloh saja, dan dia lalai atau pura-pura tidak tahu bahwa fungsi terbesar Imamah Rasyidah –bukan Imamah Fahd pemimpin dia– adalah mengeluarkan manusia dari peribadatan terhadap makhluk kepada ‘ibadatullah saja dengan cara mentauhidkan-Nya Subhaanahu Wa Ta’aalaa dengan seluruh macam ibadah, dan di antaranya adalah memurnikan penyandaran tahlil, tahrim dan tasyri’ kepada-Nya saja. Dan itu dalam Kitabnya (Manhajul Anbiya Fiddakwah IlAlloh Fiihil Hikmah Wal ‘Aqlu)16 lihat hal 108 dst, dan dalam cetakan baru hal 144 dst.
    Kontradiksi dan pertentangan yang kusut ini hanyalah terjadi karena dia (Al Madkhaliy) dan yang sepemahaman dengan dia membatasi syirik yang menggugurkan pemurnian ibadah kepada Alloh ta’aalaa hanya pada Syirik Kubah, tempat-tempat yang dikeramatkan dan kuburan, adapun Syirik Qushur (istana/parlemen) yaitu pembuatan qawanin dan dustur, maka itu tidak membahayakan tauhid atau pemurnian ibadatullah menurut mereka, karena ia adalah kufrun duna kufrin...!!!
    Sedangkan Al Halabiy mengadopsi sikap ngawur itu, mengisyaratkan kepadanya, bahagia dengannya dan mengikutinya tanpa menisbatkannya kepada pemiliknya, bahkan ia justru membuat dugaan bahwa ini adalah pendapat sejumlah dari ulama...!!!
    Kenapa dia tidak menunjukkan kepada kita mereka (ulama) itu...???!!! Atau menyebutkan kepada kita nama selain temannya Al Madkhali ini...!!!
    Maka silahkan cantumkan ini pada daftar tahwilat17 dan tadlisatnya...!!!

    Sikap Murji-ah Membatasi Kekafiran Pada Juhud Qalbiy Serta Sebagian Contoh Pemotongan Al Halabiy Terhadap Ucapan Ulama Dalam Rangka Membela Madzhab Dia Yang Rusak

    (2) Kemudian Al Halabiy menulis sebagaimana kebisaaan kaum Murji-ah menggembor-gemborkan kufur juhud (pengingkaran) hal 4 dst.
    Saya tidak mengetahui seorangpun dari Ahlis Sunnah yang menyelisihi bahwa kufur juhud adalah salah satu dari macam-macam kekafiran yang mengeluarkan dari millah terutama di antaranya juhud qalbiy (pengingkaran hati) yang dimaksud satu-satunya oleh kaum Jahmiyyah dan Murji-ah. Ini adalah hal yang disepakati, sehingga penuturan dia terhadap ungkapan-ungkapan para ulama seputar ini hakikatnya adalah penuturan yang banyak dalam hal yang tidak ada faidah di belakangnya, memperpanjang dan memperbesar yang tidak ada guna atasnya serta keluar dari medan perseteruan, di samping sesungguhnya semua nukilan-nukilan dia dalam penghati-hatian dari takfier telah dia kutip dan dia penggal dari ucapan ulama dalam masaail ‘ilmiyyah (Al Asma wash Shifat) yang mana mereka tidak mengkafirkan dengannya kecuali setelah penegakkan hujjah, karena dalam bab ini ada hal-hal yang tidak bisa diketahui kecuali lewat jalan hujjah risaliyyah, jadi perselisihan itu bukan dalam keberadaan bahwa kufur juhud itu termasuk kufur akbar, akan tetapi perselisihan itu tentang keberadaan bahwa orang-orang itu mengembalikan semua macam kekafiran kepada juhud qalbiy sebagaimana ia thariqah (jalan/manhaj) Murji-atul Jahmiyyah.18
    Jadi asal acuan mereka dalam hal ini adalah asal yang buruk yaitu ucapan jahmiyyah bahwa iman adalah tashdiq (pembenaran) dengan hati saja. Dan dikarenakan jahmiyyah dan Ghulatul Murji’ah telah mendefinisikan al iman dengan hal itu dan membatasinya pada pengetahuan hati dan pembenarannya, maka sesungguhnya mereka membatasi kekafiran dengan kebalikannya, sehingga dari itu al iman menurut mereka tidak batal kecuali dengan I’tiqad (pendustaan) atau juhud qalbiy atau istihlal.
    Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah telah menyebutkan dalam Kitabul Iman bahwa Ghulatur Murji-ah tidak memandang kecuali kufur juhud dan takdzib.
    Murji-ah zaman kita dari kalangan yang berbaju salafiy walau mereka menyelisihi Murji-ah terdahulu dalam penamaan al iman dan definisinya sebagai definisi saja, akan tetapi sesungguhnya mereka menyelarasi Murji-ah terdahulu pada banyak lawazim (konsekuensi) definisi itu, terus mereka menjajakan syubuhat mereka dan menegaskan bahwa takfier itu tidak terjadi kecuali dengan i’tiqad dan juhud qalbiy. Mereka walaupun mendefinisikan al iman dengan definisi yang shahih dan memasukkan di dalamnya ucapan dan perbuatan di samping i’tiqad, namun mereka pada hakikat masalahnya tidak mengkafirkan kecuali dengan i’tiqad saja.
    Sebagai contoh saja silahkan perhatikan ucapan Al Halabiy dalam Muqaddimahnya hal 19: “Jadi masalah ini semuanya dalam lingkungan kekafiran dibangun di atas pengguguran al iman dan tidak adanya i’tiqad”. Selesai.
    Dan ucapannya sebelum itu hal 9 pada catatan kaki: “Orang yang tetap baginya hukum Islam dengan al iman yang pasti, hanyalah keluar darinya dengan juhud atau takdzib”. Selesai.
    Dan ucapannya hal 27: “Maka atas dasar itu seyogyanya menghukumi terhadap matrukat (hal-hal yang ditinggalkan) itu sesuai kaidah meninggalkan yang bersifat i’tiqad...!!! yang dibangun di atas juhud dan inkar atau takdzib atau istihlal bukan atas sekedar meninggalkan”. Selesai.
    Ini semuanya, baik mereka mau atau tidak, adalah bagian dari hasil-hasil dan lawazim pendapat bahwa iman itu adalah pembenaran hati (tashdiq qalbiy) saja, meskipun mereka tidak mendefinisikannya seperti itu, namun mereka menganut lawazim-nya, dan oleh sebab itu mereka telah menelantarkan rukun ‘amal yang mereka sebutkan tabarruk-an (mencari berkah) dalam definisi al iman, terus mereka menjadikan peninggalan amalan dan lenyapnya seluruhnya sebagai pengurangan terhadap al iman itu saja, sebagaimana –menurut mereka– tidak ada suatu amalanpun yang bisa membatalkan iman tanpa disertai juhud qalbiy, selamanya…
    Dan atas dasar ini, maka bagaimana mereka mengatakan bahwa ‘amal adalah satu rukun dari arkanul iman...?!
    Sedangkan al haq adalah apa yang ditetapkan para imam kita, yaitu bahwa di antara ‘amal itu:
    • Ada yang mengurangi al iman, yang mana pelakunya tidak dikafirkan, akan tetapi imannya berkurang.
    • Di antaranya ada yang membatalkan al iman, yang menggugurkan ashlul iman dan membatalkannya.
    Macam pertama ialah yang diberi syarat saat takfier dengan juhud, i’tiqad dan istihlal.
    Adapun yang ke dua maka tidak disyaratkan hal seperti ini di dalamnya dan ia tidak disebutkan kecuali dalam rangka penambahan dalam kekafiran.19
    Kufur kepada thaghut sebagai contoh adalah amal yang mesti ada untuk keabsahan al iman, bahkan ia adalah tergolong cabang-cabang al iman tertinggi, karena ia adalah separuh tauhid dan syaratnya, di mana ia adalah penafian yang ada dalam syahadat “Laa ilaaha illallaah” oleh sebab itu sesungguhnya lenyapnya hal itu membatalkan ashlul iman tanpa khilaf (perselisihan).
    Berbeda dengan rasa malu dan menyingkirkan kotoran dari jalan, maka ia adalah amalan yang lenyapnya tidak menggugurkan al iman, namun hanya menguranginya dan melemahkannya bila ia tergolong tingkatan al iman al wajib. Al ‘Allamah Ibnul Qayyim Rahimahulloh berkata dalam kitabnya “Ash Shalat Wa Hukmu Tarikiha hal” 53 yang dinukil darinya oleh Al Halabiy hal 9 dari muqaddimahnya sesuka dia, dan dia melipat apa yang akan kami utarakan kepada anda ini, kemudian dia menuduh orang yang menyelisihinya hal 6: “...bahwa mereka itu bisaanya melipat nukilan-nukilan ini dan menyembunyikannya dari para pengikut mereka...”
    Ibnul Qayyim berkata: “Dan cabang-cabang al iman itu ada dua macam: qauliyyah (yang bersifat ucapan) dan fi’liyyah (yang bersifat perbuatan), dan begitu juga cabang-cabang al kufru ada dua macam: qauliyyah dan fi’liyyah. Dan di antara cabang-cabang al iman yang bersifat ucapan ada cabang yang lenyapnya (ia) mengharuskan lenyapnya al iman, dan begitu juga dari cabang-cabangnya yang bersifat perbuatan ada cabang yang lenyapnya (ia) mengaharuskan lenyapnya iman.
    Begitu juga cabang-cabang kekafiran yang bersifat ucapan dan perbuatan, sebagaimana (orang menjadi) kafir dengan sebab mendatangkan ucapan kekafiran secara ikhtiyar (tidak dipaksa) sedang ia adalah cabang dari cabang-cabang kekafiran, maka begitu juga (menjadi) kafir dengan sebab melakukan satu cabang dari cabang-cabangnya, seperti sujud kepada berhala dan melecehkan mushhaf”. Selesai.
    Sedangkan Jahmiyyah sekarang dan Murji-ah masa kini kembali kepada Ushul para pendahulu mereka dari kalangan Murji-ah terdahulu saat mereka didesak (disudutkan) dengan cabang-cabang kekafiran yang bersifat ucapan atau perbuatan, seperti sujud kepada berhala, melempar mushhaf ke comberan, membunuh Nabi atau mencela Alloh, mencela Rasul, dan membela orang-orang kafir atas kaum muwahhidin.
    Semua itu adalah amalan-amalan yang mengkafirkan yang tidak seorangpun dari Ahlus Sunnah mensyaratkan di dalamnya juhud atau istihlal, akan tetapi Kaum Murji-ah mengatakan: Sesungguhnya amalan-amalan ini tidak muncul, kecuali dari keyakinan yang rusak, juhud, keraguan dan istihlal, dan inilah kekafiran itu menurut mereka bukan amalan-amalan tersebut.
    Ucapan yang busuk ini adalah ucapan Bisyr Al Mirrisiy dan orang yang berjalan di atas jalannya dari kalangan Murji-ah Jahmiyyah, dan di antara ucapan-ucapan keji yang disandarkan kepada dia adalah ucapannya: Sesungguhnya sujud kepada matahari dan bulan bukanlah kekafiran, tapi ia adalah tanda terhadap i’tiqad al kufr...!!! Perhatikan ini kemudian lihat pada ucapan-ucapan mereka...
           
    “Apakah mereka saling berpesan tentang apa yang dikatakan itu? Sebenarnya mereka adalah kaum yang melampaui batas.” (Adz Dzaariyaat: 53).
    Adapun Ahlus Sunnah Wal Jama’ah, maka dengarkanlah apa yang dikatakan para imam mereka:
    Abu Ya’qub Ishaq Ibnu Rahuwaih berkata: “Dan di antara yang diijmakan atas pengkafirannya dan mereka vonis kafir terhadapnya sebagaimana mereka vonis (kafir) terhadap yang mengingkari, adalah orang mu’min yang beriman kepada Alloh ta’aalaa dan kepada apa yang datang dari sisi-Nya kemudian dia membunuh Nabi atau membantu terhadap pembunuhannya dan dia berkata membunuh para Nabi itu diharamkan maka dia kafir”.20 Selesai.
    Syaikhul Islam telah menukil pernyataan ijma atas hal ini dari Ishaq dalam Ash Sharimul Maslul juga hal 453, dan beliau berkata dalam Ash Sharimul Maslul: “Sesungguhnya orang yang mencela Alloh atau mencela Rasul-Nya adalah telah kafir lahir dan batin, baik orang yang mencela itu meyakini bahwa itu diharamkan atau dia menganggapnya halal atau dia lalai dari keyakinannya. Ini adalah madzhab para fuqaha dan seluruh Ahlus Sunnah yang mengatakan bahwa al iman itu ucapan dan perbuatan...” sampai beliau berkata: “Dan begitu juga para sahabat kami dan yang lainnya berkata: Siapa yang mencela Alloh maka dia telah kafir baik dia itu bercanda atau serius” beliau 20 Dari berkata: “Dan inilah yang benar lagi dipastikan”. 20

    Beliau juga menukil dari Al Qadli Abu Ya’la dalam Al Mu’tamad: “Siapa yang mencela Alloh atau mencela Rasul-Nya, maka sesungguhnya dia kafir baik dia menghalalkan celaan itu atau tidak menganggapnya halal, kemudian bila ia berkata: saya tidak menghalalkan itu maka (itu) tidak diterima darinya...” Selesai.
    Syaikhul Islam berkata dalam Kitab yang sama hal 515: “Dan wajib diketahui bahwa pendapat yang mengatakan bahwa kekafiran orang yang mencela (Alloh atau Rasul-Nya) padahal yang sebenarnya hanyalah karena ia menganggap halal celaan itu, adalah ketergelinciran yang munkar dan kesalahan yang fatal”. Berkata: “Dan sebab terjatuhnya orang yang terjatuh di dalamnya hanyalah dengan sebab apa yang mereka cerna dari ucapan sekelompok dari orang-orang terkini mutakallimin, yaitu jahmiyyah inats yang berpendapat dengan pendapat jahmiyyah terdahulu yaitu bahwa iman itu sekedar tashdiq (pembenaran) yang ada di hati...” selesai... maka perhatikanlah dari siapa orang-orang itu mengambil rujukan...!!!
    Dan berkata di halaman 518: “Sesungguhnya meyakini kehalalan mencela (Alloh dan Rasul-Nya) adalah kekafiran baik ia disertai adanya celaan itu atau tidak” Selesai.
    Ucapan beliau yang akhir ini sangat serupa dengan ucapan muridnya Ibnul Qayyim dalam Madarijus Salikin saat menuturkan ucapan-ucapan tentang takwil firman-Nya ta’aalaa: “Dan siapa yang tidak memutuskan dengan apa yang telah Alloh turunkan maka mereka itu adalah orang-orang kafir,” (Al Maa-idah: 44) dan beliau menyebutkan di antara hal itu: “Orang yang mentakwil ayat ini terhadap meninggalkan al hukmu bima anzalAlloh seraya mengingkarinya, dan ia adalah ucapan Ikrimah”.
    Kemudian berkata: “...dan ia adalah takwil yang marjuh (lemah), karena juhudnya itu sendiri adalah kekafiran baik ia memutuskan ataupun tidak”.21 Selesai. (Madarijus Salikin 1/336).
    Syaikhul Islam berkata juga dalam tafsir firman-Nya ta’aalaa: “Barangsiapa yang kafir kepada Alloh sesudah dia beriman (dia mendapat kemurkaan Alloh), kecuali orang yang dipaksa kafir padahal hatinya tetap tenang dalam beriman (dia tidak berdosa) akan tetapi orang yang melapangkan dadanya untuk kekafiran,” (An Nahl: 106), berkata: “Seandainya orang yang mengucapkan kekafiran tidak menjadi kafir kecuali bila melapangkan dadanya untuknya22 tentulah tidak dikecualikan orang yang dipaksa, namun tatkala dikecualikan orang yang dipaksa maka diketahuilah bahwa setiap orang yang mengucapkan kekafiran selain yang dipaksa maka dia itu telah melapangkan dadanya untuk kekafiran, jadi ia adalah hukum dan bukan syarat/qayyid bagi hukum itu”. Selesai.
    Pahamilah baik-baik ucapan beliau yang akhir: “...ia adalah hukum dan bukan syarat/qayyid bagi hukum itu”.
    Jadi orang yang menyatakan kalimat kekafiran atau orang yang melakukan perbuatan kekafiran tanpa udzur syar’iy adalah kafir, kita hukumi dia kafir lahir dan batin, karena pernyataan dia akan kalimat kekafiran tanpa udzur adalah dalil yang menunjukkan dia meyakini kekafiran, dan bukan sebaliknya sebagaimana yang disyaratkan jahmiyyah, di mana mereka tidak mengkafirkan, kecuali dengan syarat i’tiqad atau istihlal atau juhud qalbiy, dan karena itu engkau melihat afrakh jahmiyyah sebagaimana yang lalu berlindung pada ungkapan-ungkapan para pendahulunya saat mereka disudutkan (ilzam) dengan sebagian mukaffirat ‘amaliyyah yang diijmakan oleh Ahlul Islam, di mana mereka mengatakan: Kami kafirkan pelakunya, karena perbuatan-perbuatan semacam ini tidak muncul kecuali dari keyakinan kufur yang rusak. Jadi perbuatan-perbuatan kufur yang tegas itu menurut mereka bukanlah kekafiran, namun yang kufur atau syaratnya menurut mereka adalah dorongan hati terhadap perbuatan-perbuatan itu.
    Padahal yang benar adalah bahwa ini adalah hukum dan bukan syarat juga bukan qaid (batasan) sebagaimana yang dijelaskan Syaikhul Islam.
    Ibnu Hazm23 berkata dalam Kitab Ad Durrah Fima Yajibu I’tiqaduhu hal 339: “Maka sahlah dengan nash Al Qur’an bahwa orang yang mengucapkan kalimat kekafiran tanpa taqiyyah maka ia telah kafir setelah dia Islam, sehingga sahlah bahwa orang yang meyakini al iman dan ia mengucapkan kekafiran maka ia di sisi Alloh ta’aalaa adalah kafir dengan nash Al Qur’an” selesai.
    Dan ini adalah isyarat darinya kepada ayat Surat An-Nahl tentang ikrah.
    Beliau berkata dalam bantahannya terhadap Ahlul Irja: “Seandainya seseorang berkata: Sesungguhnya Muhammad ‘alaihish shalatu was salam adalah kafir dan setiap orang yang mengikutinya adalah kafir,” dan dia diam, sedang dia memaksudkan (bahwa mereka itu) kafir terhadap thaghut sebagaimana firman Alloh ta’aalaa: “Siapa yang kafir terhadap thaghut dan beriman kepada Alloh, maka ia telah berpegang pada al ‘urwah al wutsqa” tentulah tidak seorangpun dari ahlul Islam akan berselisih bahwa orang yang mengatakan hal ini divonis kafir.
    Dan begitu juga seandainya ia berkata “Bahwa Iblis, Fir’aun dan Abu Jahal adalah mu’minun” tentu tidak seorangpun dari Ahlul Islam berselisih bahwa orang yang mengatakan hal ini divonis kafir, padahal ia bermaksud bahwa mereka itu beriman terhadap dienul kufri”24 Selesai.
    Saya berkata: Maka sahlah bahwa kami mengkafirkannya dengan sekedar ucapan dan perbuatannya yang kafir, dan kita tidak ada urusan dengan keyakinan batinnya, dan begitulah setiap orang yang menampakkan ucapan atau perbuatan yang telah Alloh namakan kekafiran yang mengeluarkan dari millah, maka kami mengkafirkannya dengan sekedar ucapan atau perbuatan itu karena keyakinan batinnya tidak diketahui kecuali oleh Alloh ‘azza wa jalla.
    Sedangkan Rasululloh shalallaahu ‘alaihi wa sallam berkata: “Sesungguhnya aku tidak diutus untuk merobek hati manusia.”25
    Maka orang yang mengklaim selain ini adalah orang yang mengklaim mengetahui yang ghaib, sedangkan orang yang mengklaim ‘ilmu ghaib tidak ragu adalah dusta.
    Selagi kita bersama Ibnu Hazm maka ada baiknya bagi saya wahai saudaraku pembaca sebelum meninggalkan tempat ini memperkenalkanmu terhadap contoh-contoh dari (‘amanah’)...???!!! Al Halabiy –dan akan datang hal serupa yang banyak– supaya engkau mengetahui bagaimana berinteraksi dengan kitab-kitab dan nukilan-nukilannya, sungguh dia telah menukil di catatan kaki hal 4 di muqaddimahnya dari Ibnu Hazm ucapannya tentang definisi kufur: (“Kufur adalah sifat orang yang mengingkari suatu dari apa yang telah Alloh ta’aalaa fardlukan iman kepadanya setelah tegak hujjah terhadapnya dengan sampainya al haq kepadanya”).
    Dan perhatikan bagaimana dia (Al Halabiy) menutup kurung di sini dan meletakkan titik dengan penuh berani, padahal ucapan itu memiliki lanjutan yang penting yang menggugurkan talbis-talbis Al Halabiy, kejahmiyyahan dia serta Irja-nya, yaitu ucapan Ibnu Hazm setelah itu langsung : “...dengan hatinya tanpa disertai lisannya atau dengan lisannya tanpa disertai hatinya atau dengan keduanya secara bersamaan atau melakukan amalan yang telah datang nash bahwa ia mengeluarkannya dengan hal itu dari nama al iman).26
    Yang dipenggal Al Halabiy dan ia nukil sepotong dari ucapan Ibnu Hazm di sini adalah tajahhum (faham jahmiyyah) murni!! Terutama sesungguhnya dia (Al Halabiy) tidak memandang juhud kecuali juhudul qalbi (pengingkaran hati). Jadi atas dasar ini ia tergolong barang dagangan (bidla’ah) Ahlut Tajahhum Wal Irja yang tidak laku lagi tidak berharga di kalangan Ahlus Sunnah, yang laris lagi menguntungkan di kalangan para thaghut dan kaki tangan mereka dari jajaran Ahlul bid’ah...!!!
    Akan tetapi dengan tambahan ini yang dilipat oleh Al Halabiy dengan amanah ilmiyyahnya...!!! Dan dia potong dengan kelihaiannya dan kecekatan tangan copetnya...!!! Adalah Ahlus Sunnah Wal Jama’ah yang merasa sesak darinya dada Ahluttajahhum wal Irja, dan oleh karenanya mereka itu seperti yang dikatakan Al Halabiy hal 6: “melipat nukilan-nukilan ini!! Dan menyembunyikannya dari para pengikut mereka...!!!”
    Dan seperti apa yang dia katakan hal 16: “...mereka membuang dari nukilan suatu yang menjelaskannya dan menjabarkannya...!!! Maka apa yang kita katakan...???”
    Dan berkata hal 35: “Sesungguhnya orang-orang yang menyimpang itu (dan Dhilal mereka) yang bertebaran (di sini) dan (di sana) mereka itu tidak lain adalah (Asybah/bayangan bohong) dalam ilmu dan (para peniru) dalam pengetahuan, bila mereka menulis maka mereka mentahrif!!! Dan bila mereka berdalil maka mereka merubah dan memalingkan!!!” Selesai.
    Saya berkata: Siapa sebenarnya mereka itu...???!!!
    Sesungguhnya ucapan Ibnu Hazm bersama bagian yang dipenggal dan dilipat Al Halabiy adalah sangat jelas menerangkan bahwa kekafiran itu bisa berbentuk:
    1. Juhud dengan hati tanpa disertai lisan.
    2. Juhud dengan lisan tanpa disertai hati.
    3. Atau dengan keduanya secara bersamaan.
    4. Atau melakukan amalan yang telah datang nash bahwa ia mengeluarkannya dengan hal itu dari nama al iman.
    Perhatikanlah macam ke dua dan ke empat, karena perseteruan adalah dalam dua hal itu, oleh sebab itu Al Halabiy menyembunyikan tambahan itu. Semoga Alloh merahmati Al Waki’ Ibnul Jarrah di mana beliau berkata: “Ahlul ilmi menulis apa yang mendukung mereka dan apa yang menyudutkan mereka, sedangkan Ahlul Ahwa tidak menulis, kecuali apa yang menguntungkan mereka”27 (HR. Ad Daruquthniy)
    Peringatan: Dan sebelum meninggalkan tempat ini saya mengingatkan pembaca bahwa Al Halabiy telah berhujjah juga untuk madzhabnya ini dalam membatasi kekafiran terhadap takdzib dan juhud hal 8; dengan apa yang dia nukil dari Abu Ja’far Ath Thahawiy Rahimahulloh berkata: “...orang tidak menjadi kafir dari28 keberadaannya dia muslim! Dan keIslamannya itu terjadi dengan pengakuan akan Islam, maka begitu juga riddahnya tidak terjadi kecuali dengan Juhudil Islam (mengingkari Islam)”29 Selesai.
    Dan ucapan ini dipenggal...!!! oleh Al Halabiy dari penutup ucapan Ath Thahawiy tentang penjelasan musykil (kesulitan) apa yang diriwayatkan dari sabdanya “Siapa yang tidak menjaga shalat yang lima waktu, maka di hari kiamat ia bersama Fir’aun”30 sedangkan telah jelas di hadapan anda dalam uraian yang lalu bahwa membatasi kekafiran dan riddah terhadap juhud saja tidak lain adalah satu hasil dari hasil-hasil paham Irja!!! Dasar itu dan sebabnya adalah ucapan Murji-ah bahwa Al Iman itu adalah tashdiq saja, dan dari sana mereka membatasi kufur dan riddah terhadap lawannya yaitu juhud qalbiy dan takdzib dan telah kami jelaskan kebatilan taqdid ini dengan penjelasan yang tidak perlu saya ulang lagi. Akan tetapi tidak selayaknya bagi pencari kebenaran terpedaya atau terheran-heran dari kemunculan ungkapan semacam ini dari Abu Ja’far Ath Thahawiy, karena para penuntut ilmu yang masih yunior mengetahui bahwa risalah ‘aqidahnya yang masyhur dengan nama Al ‘Aqidah Ath Thahawiyyah telah mendapat penerimaan seluruh isinya oleh Ahlus Sunnah kecuali beberapa ungkapan, di antaranya keselarasan beliau dengan sekelompok dari kalangan Murji-ah terhadap definisi Al Iman, yaitu (tashdiq dengan hati dan pengakuan dengan lisan) tanpa menyebutkan amal, padahal sudah ma’lum bahwa ini termasuk yang dikritik oleh ulama dan muhaqqiqun terhadap kalangan Ahnaf (madzhab Hanafi) secara umum dan di antaranya penulis Al ‘Aqidah Ath Thahawiyyah, dan para ulama menamakan mereka sebagai (Murji-ah Fuqaha), dan dari sana tidak anehlah bila Ath Thahawiy membatasi kufur dengan juhud serta tidak asing bila muncul darinya ungkapan seperti ini, karena ia adalah di antara buah-buah definisi itu, namun yang aneh adalah orang yang mengaku salafi...!!! Dan menganut definisi salaf terhadap iman malah mengikuti hal itu seperti Al Halabiy ini...!!! Di mana dia mengambil dan memenggal dari tulisan Al Imam Ath Thahawiy tempat yang memang telah dikritik terhadapnya ini, dan Al Halabiy tidak melakukan itu, kecuali karena ungkapan itu selaras dengan paham Tajahhum dan Irja dia... sehingga saya tidak melihat perumpamaan baginya dalam hal ini (kecuali lalat yang selalu mencari sumber penyakit).

    Ulama Pemerintah…
    Merekalah Ulama Yang Tsiqat Menurut Penganut Jahmiyyah Dan Murji-ah...!!!
    Dan Ucapan Merekalah Ucapan Pemungkas...!!!
    Menurut Al Halabiy...!!!

    (3). Al Halabiy berkata dalam hal 6 : “Dan untuk menjelaskan kebenaran dalam masalah yang agung lagi besar ini, mestilah dari menuturkan ungkapan-ungkapan para imam ilmu yang tsiqat (terpercaya) lagi adil di dalamnya, karena sesungguhnya ucapan mereka –semoga Alloh merahmati mereka– adalah al qaulul fashl (ucapan pemisah antara al haq dengan al bathil) yang terputus di depannya setiap ucapan, dan lenyap di belakangnya setiap celotehan yang bersifat semangat dan emosional yang kosong, sebab sesungguhnya orang-orang yang menyelisihi ~biasanya~ melipat nukilan-nukilan ini dan menyembunyikannya dari para pengikut mereka, kemudian bila mereka menampakkannya maka bukan di atas makna yang sebenarnya, mereka menukilnya seraya memalingkan maknanya… karena dasar ini maka sesungguhnya mereka –yaitu orang-orang yang menyelisihi– membuat keragu-raguan terhadap ucapan ulama, dan mencela mereka agar melenyapkan kepercayaan orang-orang umum terhadap mereka” selesai.
    Saya berkata: Ini adalah ucapan yang mengandung talbis al haq dengan al bathil dan pencampuran cahaya dengan kegelapan untuk membuat penipuan di hadapan para pengekor, karena ia adalah lontaran-lontaran yang umum yang akan mencampuradukkan di dalam payungnya antara ulama kita yang rabbaniyyin yang mana dia akan memenggal secuil dari ucapan-ucapan mereka dengan syaikh-syaikh dia dari kalangan pentolan Jahmiyyah dan Murji-ah yang mana mereka adalah corong para thaghut dan sadanah (kepanjangan tangan) mereka, dan orang-orang khawalif inilah yang akan dia rujuk perkataannya, karena dia akan mendapatkan apa yang dia cari dengan segala perniknya pada banyak mereka. Oleh karena itu merekalah yang dia maksudkan dengan ucapannya: (Karena ucapan mereka –semoga Alloh merahmati mereka– adalah al qaulul fashl yang terputus di depannya setiap ucapan) dan dia tidak memaksudkan –seandainya kita menerima lontaran yang muthlaq ini– seorangpun dari ulama mutaqaddimin, dengan bukti ucapannya setelah itu : (“...karena dasar ini, maka sesungguhnya mereka –yaitu orang-orang yang menyelisihi– membuat keragu-raguan terhadap ucapan ulama dan mencela mereka agar melenyapkan kepercayaan orang-orang umum terhadap mereka”) selesai. Sebab sesungguhnya mayoritas celaan orang-orang yang menyelisihi dia dalam bab ini secara khusus hanyalah terhadap syaikh-syaikh dia dari kalangan Ahlut Tajahhum Wal Irja dengan sebab sikap mereka membela-bela para thaghut, melegalkan kebatilan mereka dan menganggap ringan kekafiran mereka dengan menjadikannya kufrun duna kufrin.
    Dan karenanya maka ucapan dia adalah : “Para imam ilmu yang tsiqat lagi adil...!!!” Dikatakan kepada dia di dalamnya: Kamu dan orang yang sejalan denganmu dari kalangan Ahlut Tajahhum Wal Irja tidaklah bisa diterima penilaian adil (terhadap seseorang) secara menyendiri, dan tidak dianggap penilaian tsiqah kalian (terhadapnya) bila datang secara sendirian, terutama bila (penilaian) itu terhadap Ahli bid’ah kalian, maka bagaimana gerangan bila hal itu ditambah apa yang telah lalu berupa tadlis, talbis dan penyia-nyiaan terhadap amanah?!! Dan akan datang tambahan darinya.
    Bila saja Ibnu Hibban dituduh tasahul (terlalu serampangan) dalam tautsiq (menilai tsiqah) dikarenakan ia menuturkan dalam kitabnya “Ats Tsiqat” banyak masturun (orang-orang yang belum jelas statusnya) yang tidak disebutkan dengan jarh (penilaian negatif) atau ta’dil (penilaian adil), dan dari itu Ahlul Ilmi tidak menganggap penilaian tsiqah-nya saat menyendiri, maka bagaimana halnya dengan orang-orang semacam kalian, sedangkan kalian ini menganggap adil dan menilai tsiqah setiap orang yang sudah tertanduk, terpuruk dan tertimpuk dari kalangan yang telah menampakkan cacat dan luka yang menganga pada kesucian tauhid ini..., dan saya maksudkan dengan itu kaki tangan pemerintah dari kalangan ulama suu’ dan umala (boneka) mereka yang telah menjual dien ini kepada para thaghut dan mereka hancurkan buhul talinya yang amat kokoh (al ‘urwah al wutsqa). Mereka membai’at para thaghut itu, mereka memberikan kepatuhan dan kesetiaannya kepada mereka… dan mereka menjadikan si thaghut –yang padahal Alloh ta’aalaa memerintahkan kita untuk kafir terhadapnya– sebagai imam bagi kaum muslimin dan amir bagi kaum mu’minin serta waliyul amri muslimin, mereka tidur di pangkuannya, menyusu dari air susunya, tunduk terhadapnya, melegalkan kebatilannya dengan syubhat-syubhat mereka yang berguguran dan menambal baginya dengan fatwa-fatwa mereka yang hina. Bila si thaghut (Fahd, pent) memakai salib, mereka (di antaranya Ibnu Baz, pent) berkata: “Ini hal-hal biasa saja!!”, dan bila dia berhakim kepada Thawaghit Internasional (PBB dan Mahkamah Internasionalnya) maka mereka itu berkata: “Ini hal-hal biasa saja!!”, dan bila dia tawalliy kepada Kuffar Barat dan Timur serta membantu mereka atas kaum muwahhidin dengan kesepakatan memerangi jihad dan mujahidin yang dia namakan ‘penanggulangan/pemberantasan terorisme’ serta dengan muslihat dan tipu daya lainnya, mereka berkata: “Ini hal-hal biasa saja!!”, dan bila dia membuat hukum serta bermufakat atas sikap membunuh kaum muslimin dengan sebab kaum musyrikin, maka mereka berkata: “Ini hal-hal biasa saja”.
    Saya tidak mengetahui kapan giliran hal-hal kufriyyah dan syirkiyyah...???!!!.

    Tiada yang merusak dien ini kecuali para raja
    dan alim ulama suu’ dan para panditanya.
    Mereka telah menjinakkan para pemuda dan menjadikannya sebagai benteng dien thaghut, hukumnya dan pemerintahannya. Sungguh kami telah melihat seorang pemuda datang ke Afghanistan dalam rangka mencari syahadah (mati syahid) di tempat yang penuh peluang!! Kemudian bila engkau teliti dia ternyata engkau mendapatkannya meyakini bahwa di lehernya ada bai’at terhadap thaghut negerinya...!! Dan itu tidak lain adalah dengan barakah!!, talbis dan penyesatan ulamamu yang tsiqat!! lagi adil!!.
    Mereka itulah orang-orang yang mana gagak mereka berkoak-koak di atas mimbar Al Haram Al Makkiy –yang (mana mimbar itu) mereka pergunakan untuk mendoakan si thaghut– seraya berkata pada masa (perang teluk): “Semoga Alloh membalaskan kebaikan dari kita buat Amerika...!!!” Dan tidak ada satupun pengingkaran!!! Di antara jenggot-jenggot, gelar-gelar, bayangan-bayangan dusta dan para penjiplak (ilmu) itu!!! Yang dinamakan oleh Al Halabiy hal 34 dengan ucapannya: “Ulama-ulama besar”!! Dan emosinya malah meluap –beserta ini semuanya– terhadap orang yang mensifati ulama-ulama besarnya itu bahwa mereka : (Hidup di pedalaman terpencil dan tidak memahami realita)!!! Hal 34
    Mereka itulah orang-orang yang (seperti) dikatakan oleh seorang penyair :
    Bila si thaghut suatu hari salah dalam ucapan
    Mereka berkata: Tenang kalian, sungguh ia mengi’rabkan
    Dan bila penguasa kentut dengan keras suara
    Mereka berkata kepadanya: Apa gerangan nafas yang segar ini
    Maka itu Al Halabiy tidak merasa malu dari mensifati mereka di hal 37 bahwa mereka itu: “Bintang-bintang petunjuk... dan lemparan-lemparan buat musuh...” Selesai.
    Permusuhan macam apa ini? Kalian ini tidak mengetahui permusuhan kecuali terhadap Ahli Tauhid.31
    Dan ia berkata: “Siapa yang berpegang pada tongkat mereka maka dialah yang selamat...!!!” terus dia mensifati orang-orang yang menyelisihi mereka lagi berlepas diri dari thawaghit mereka di tempat ini dengan ucapannya: “Sesungguhnya mereka –yaitu orang-orang yang menyelisihi– membuat keragu-raguan terhadap ucapan ulama dan mencela mereka agar melenyapkan kepercayaan orang-orang umum terhadap mereka”. Selesai
    Sering sekali kami mendengar mereka saling menggunjing dan mengisyaratkan kepada kami; seraya menuduh kami dengan tuduhan menganggap sesat ulama... ulama yang mana...???!!!
    Sesungguhnya kami mengatakannya dengan suara yang lantang dan agar didengar oleh setiap orang yang memiliki dua telinga: “Ya... sesungguhnya kami menilai sesat para sadanah (kepanjangan tangan) thaghut, dan kami tidak malu dari (pernyataan) ini, kami menganggap remeh ulama pemerintah dan berlepas diri dari mereka, dan kami ber-taqarrub kepada Alloh dengan cara membongkar mereka di hadapan umat dan menelanjangi hakikat sebenarnya mereka di hadapan para pemuda, serta kami tidak sungkan dari menghati-hatikan (umat) dari kepalsuan mereka, kebohongan mereka dan kesesatan mereka.32
    Adapun ulama-ulama kami yang mulia dan syaikh-syaikh kami yang agung yang memang benar mereka itu bintang-bintang penunjuk dan lemparan-lemparan buat musuh yang mana mereka itu lari dari pintu-pintu penguasa, sedangkan penguasa mencari mereka, dan kapan mereka melakukan itu? Di zaman-zaman Futuhat (penaklukan), seperti Sufyan Ats Tsauriy, Ishaq Ibnu Rahuwaih, dan Imam Ahlis Sunnah Ahmad Ibnu Hanbal dan orang-orang yang seperti mereka serta yang berjalan di atas jalan mereka seperti Al Imam Al ‘Izz Ibnu Abdis Salam, Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah dan muridnya Ibnul Qayyim dan yang seperti mereka, serta orang-orang yang sejalan dengan mereka di zaman ini berupa lentera-lentera malam yang menegakkan dienullah lagi zhahir di atas perintah-Nya, yang tidak terganggu dengan orang-orang yang menyelisihi mereka dan mengucilkannya.
    Andai tidak ada mereka tentu dunia gelap menutupi penghuninya
    Namun mereka di dalamnya adalah bulan purnama dan bintang-bintang
    Mereka itu para kekasihku maka selamat datang mereka
    Dan selamat datang dengan orang-orang baik dan sangat senang
    Mereka itu (guru-guruku) maka datangkan kepadaku orang seperti mereka
    Bila kamu kumpulkan kami hai (seteru) acara perkumpulan.
    Maka ~mereka itu~ kami mengetahui haq bagi mereka, dan merekalah orang-orang yang dikatakan tentangnya: “Sesungguhnya daging para ulama itu beracun, dan kebiasaan Alloh dalam merobek tirai orang-orang yang merendahkan mereka adalah sudah ma’lum”.
    Adapun para pendeta dan para dukun itu, maka kitab-kitab dan fatwa-fatwa serta talbisat itulah yang beracun, dan kebisaan Alloh dalam merobek tirai-tirai mereka itu –walau setelah beberapa waktu– adalah sudah ma’lum...
    Adapun ucapan Al Halabiy Al Atsariy...!!! Tentang ulamanya: “Karena sesungguhnya capan mereka –semoga Alloh merahmati mereka– adalah al qaulul fashl (ucapan pemisah antara al haq dengan al bathil) yang terputus di depannya setiap ucapan” Selesai.
    Perhatikan sikap ghuluww ini...!!! Sikap asal-asalan ini dan lontaran-lontaran itu yang mana yang mengucapkannya tidak mengecualikan darinya hatta firman Alloh dan sabda Rasul-Nya shalallaahu ‘alaihi wa sallam. Dan ini tidak lain adalah termasuk pengaruh hawa nafsu yang menyeret pemiliknya sebagaimana anjing menarik pemiliknya, kadang ke kanan, kadang ke kiri dan kadang ke belakang, dia tidak membiarkan satu tulangpun dan kerikil serta kotoran kambing melainkan dia menghampirinya seraya menciumnya!!
    Dan kalau tidak seperti itu, maka apa layak dengan orang yang mengaku Salafiy!! Atau Atsariy!! Dia melontarkan sifat seperti ini terhadap selain wahyu?? “Sesungguhnya Al Qur’an itu benar-benar firman yang memisahkan antara yang baik dan yang batil, dan sekali-kali bukanlah dia senda gurau.” (Ath Thaariq: 13-14).
    Bukankah dalam alfabet salafiyyah dan hal-hal terdepannya adalah bahwa yang menjadi hujjah dan pemisah itu hanyalah firman Alloh dan sabda Rasul-Nya shalallaahu ‘alaihi wa sallam, sedangkan ia adalah hal yang tidak samar lagi terhadap kalangan yunior yang intisab kepada salafiyyah.
    Saya tidak mengetahui bagaimana orang-orang semacam Al Halabiy! Al Atsariy!! ini memicingkan mata darinya dan pura-pura lupa terhadapnya sedangkan ia itu dianggap sebagai jajaran syaikhnya...???!!!
    Alloh ta’aalaa berfirman: “Ikutilah apa yang diturunkan kepadamu dari Tuhanmu dan janganlah kamu mengikuti pemimpin-pemimpin selain-Nya.” (Al A’raaf: 3).
    Dan firman-Nya subhaanahu wa ta’aalaa: “Katakanlah (Hai Muhammad): Sesungguhnya aku hanya memberi peringatan kepada kamu sekalian dengan wahyu.” (Al Anbiya: 45).
    Dan Dia ‘azza wa jalla berfirman seraya mengingkari: “Maka dengan perkataan manakah yang mereka akan beriman sesudah (kalam) Alloh dan keterangan-keterangan-Nya.” (Al Jatsiyah: 6).
    Namun ketidakmampuan dari istidlal untuk kebatilan mereka dari nushush Al Kitab dan As Sunnah adalah yang menjerumuskan mereka ke dalam lubang seperti ini, di mana mereka menjadikan ucapan sosok manusia sebagai hujjah yang mereka memilih-milih darinya suatu yang sejalan dengan hawa nafsu mereka dan menutupi kerancuan mereka... mereka melipat sebagiannya dan memotong sebagian yang lain...!!! Dan Alloh mengetahui apa yang mereka kerjakan.
    (Pemotongan dan pelipatan) ini (adalah) saat menukil dari ucapan para imam terdahulu; adapun ucapan masyayikh mereka yang sekarang maka biasanya mereka tidak membutuhkan di dalamnya pada pelipatan dan pemotongan, karena mereka itu mendapatkan di dalamnya tempat gembala yang luas berupa kesesatan-kesesatan dan penyimpangan-penyimpangan yang membela pendapat-pendapat mereka, dan oleh sebab itu mereka menjadikannya sebagai al qaulul fashl yang terputus di depannya setiap ucapan...!!!
    Dan mereka itulah orang-orang yang tidak ada yang lebih tajam dan lebih panjang daripada lisan mereka terhadap kaum muqallidin yang suka mengacu pada ucapan-ucapan sosok tertentu saat terjadi perseteruan dan perselisihan.
    Kemudian ternyata ucapan (seorang) sosok itu dijadikan oleh para pengaku salafi ini –secara tiba-tiba dan saat butuh kepadanya– “sebagai al qaulul fashl yang terputus di depannya setiap ucapan...!!!”
    Adapun ucapannya: “Karena sesungguhnya orang-orang yang menyelisihi –biasanya– melipat nukilan-nukilan ini dan menyembunyikannya dari para pengikut mereka! Kemudian bila mereka menampakkannya, maka bukan di atas makna yang sebenarnya, mereka menukilnya seraya memalingkan maknanya...”
    Maka ia sebagaimana yang telah engkau lihat dalam uraian yang lalu, siapa orang yang lebih berhak dengan sifat ini, dan akan datang tambahannya.

    Pencampuradukan Ahlut Tajahhum Wal Irja Antara Meninggalkan Sebagian Hukum Alloh Sebagai Maksiat Dengan Al Hukmu Dengan Makna Tasyri’-nya Serta Contoh Lain Dari Pemotongan Al Halabiy terhadap Ucapan Ulama

    (4). Kemudian Al Halabiy berbicara tentang masalah al hukmu, dia bolak-balik dan berputar-putar sekitar firman-Nya ta’aalaa: [Dan siapa yang tidak memutuskan dengan apa yang telah Alloh turunkan...] dan dia menuturkan ucapan-ucapan ulama dalam membedakan antara meninggalkan al hukmu bima anzalAlloh seraya juhud (mengingkari) dengan meninggalkannya tanpa juhud.
    Dan di antaranya ucapan Asy Syinqithiy yang dia pilih...!!! Hal 8: “Dan ketahuilah bahwa tahrirul maqam (penyelesaian bahasan) dalam pembahasan ini adalah bahwa orang yang tidak memutuskan dengan apa yang telah Alloh turunkan dalam rangka penentangan terhadap para rasul dan pengguguran terhadap hukum-hukum Alloh, maka kezhalimannya dan kefasikannya serta kekafirannya –semuanya– adalah kekafiran yang mengeluarkan dari millah. Dan siapa yang tidak memutuskan dengan apa yang telah Alloh turunkan seraya meyakini bahwa ia melakukan hal yang haram lagi (ia) mengerjakan hal yang buruk, maka kekafirannya, kezhalimannya, dan kefasikannya tidak mengeluarkan dari millah ini” Selesai.
    Dan di antara hal itu ucapan Ath Thabariy hal 20: “Maka setiap orang yang tidak memutuskan dengan apa yang telah Alloh turunkan seraya mengingkarinya, maka dia kafir kepada Alloh sebagaimana yang dikatakan Ibnu Abbas, karena dia dengan pengingkarannya terhadap hukum Alloh setelah dia mengetahui bahwa dia menurunkannya dalam Kitab-Nya adalah seperti pengingkarannya terhadap kenabian Nabi-Nya setelah dia mengetahui bahwa beliau Nabi” Selesai.
    Dan ucapan Ibnul Jauziy: “Dan ucapan pemungkas: Bahwa orang yang tidak memutuskan dengan apa yang telah Alloh turunkan seraya mengingkarinya padahal ia mengetahui bahwa Alloh telah menurunkannya –sebagaimana yang dilakukan kaum Yahudi– maka ia kafir. Dan siapa yang tidak memutuskan dengannya karena cenderung kepada hawa nafsu tanpa juhud (pengingkaran) maka ia zhalim lagi fasiq” Selesai.
    Dan nukilan-nukilan lainnya yang berbicara tentang meninggalkan al hukmu bima anzalAlloh serta rincian dalam hal itu.
    Pada hakikatnya ini adalah keberpalingan dari Al Halabiy dan lari dari hakikat perseteruan yang ada di realita hari ini. Yang ada pada hari ini –dan setiap yang memiliki dua mata melihat– bukanlah sekedar (meninggalkan sebagian al hukmu bima anzalAlloh sebagai maksiat) sebagaimana ia terjadi di sebagian masa-masa khilafah, namun ia justeru adalah (al hukmu bighairi ma anzalAlloh) dengan gambaran-gambarannya yang paling buruk yang bersifat thaghuthiyyah tasyri’iyyah istibdaliyyah (pembuatan hukum thaghut sebagai pengganti).
    Oleh karena itu kami tidak rela bagi diri kami selamanya mengikuti alur Ahlit Tajahhum wal Irja, di mana kami mendiskusikan suatu di alam khayal yang tidak ada wujudnya pada realita hukum hari ini, akan tetapi kami tidak mendiskusikan kecuali tentang tasyri’ yang mana ia adalah hakikat syirik para penguasa di zaman kita ini. Dan sering sekali saya mendebat segolongan orang dari mereka yang mana saya sebenarnya tidak rela membuang-buang waktu dan energi dalam debat dan diskusi yang di luar dari dunia yang sebenarnya, dan saya ilzam (membuat mereka tersudutkan lagi tidak bisa berkutik) dengan satu hal saja (yaitu pembuatan hukum sesuai teks-teks UUD) apakah ia kekafiran dengan sendirinya atau ia itu maksiat seperti zina dan meminum khamr serta pelakunya tidak dikafirkan, kecuali dengan juhud dan istihlal.
    Oleh sebab itu kami tidak menuturkan kepada mereka ayat-ayat yang digembar-gemborkan seputarnya oleh Al Halabiy dan orang-orang semacam dia dari kalangan Ahlit Tajahhum wal Irja, dan begitu pula telah melakukan hal seperti itu Khawarij di masa lalu, karena zhahirnya dan keumumannya mengandung apa yang dia utarakan dan apa yang mereka tuturkan bila berpaling dengannya dari apa yang menjelaskannya berupa dalil yang muhkam dan asbabun nuzul; akan tetapi kami tidak berdalil kecuali dengan ayat-ayat pengkafiran al musyarri’in (para pembuat hukum/UU/UUD) dan orang-orang yang mengikuti aturan-aturan kufur serta orang-orang yang berhakim kepada thaghut. Dan padanya kami tidak mendapatkan dari mereka kecuali tanaqudl (kontradiksi), serabutan dan mundur, karena mereka bila menghantam hal seperti ini maka mereka itu :
    Seperti kambing yang menanduk batu besar suatu hari
    untuk melunakkannya
    Ternyata itu tidak berpengaruh dan kambing telah
    melemahkan tanduknya.
    Itu karena mereka tidak akan menghantam suatu furu’ tertentu sebagaimana yang mereka duga, namun saat itu mereka akan menghantam Ashluddien dan poros roda dakwah para nabi dan rasul (tauhid dan kufur kepada thaghut) yang mana umat ini telah ijma atas kekafiran orang yang meninggalkannya. Sedangkan tidak ada peranan dalam meninggalkan ini dan tidak ada pengaruh di dalamnya bagi istihlal atau juhud, kecuali sebagai penambahan dalam kekafiran.
    Al Hafizh Abul Fida Ibnu Katsir berkata dalam Al Bidayah Wan Nihayah: “Siapa yang meninggalkan ajaran yang muhkam yang diturunkan kepada Muhammad Ibnu Abdillah penutup para nabi dan ia malah berhakim kepada selainnya berupa ajaran-ajaran yang sudah dinasakh (dihapus) maka ia kafir, maka bagaimana dengan orang yang berhakim kepada Al Yasiq33 dan ia mengedepankan (Al Yasiq) itu terhadapnya34 (ajaran Muhammad, pent)? Siapa yang melakukan hal itu maka kafir dengan ijma kaum muslimin, Alloh ta’aalaa berfirman: “Apakah hukum jahiliyyah yang mereka kehendaki, dan (hukum) siapakah yang lebih baik daripada (hukum) Alloh bagi orang-orang yang yakin?” (Al Maa-idah: 50) Dan firman-Nya ta’aalaa:
                       
    “Maka demi Tuhanmu, mereka (pada hakikatnya) tidak beriman hingga mereka menjadikan kamu hakim dalam perkara yang mereka perselisihkan, kemudian mereka tidak merasa keberatan dalam hati mereka terhadap putusan yang kamu berikan dan mereka menerima dengan sepenuhnya.” (An Nisaa’: 65) Maha benar Alloh Yang Maha Agung”35
    Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah berkata: “Dan sudah ma’lum dengan pasti dari dienil Muslimin dan dengan kesepakatan kaum muslimin bahwa siapa yang membolehkan36 ittiba’ selain dienil Islam atau ittiba’ ajaran selain ajaran Muhammad shalallaahu ‘alaihi wa sallam maka ia kafir”37 Selesai.
    Perhatikanlah Tahrirul Maqam!! Dalam ucapan mereka tentang tasyri’ dan ittiba’ ajaran selain ajaran Alloh...
    Sesungguhnya ia bukan sekedar meninggalkan sebagian al hukmu bima anzalAlloh bagi orang yang iltizam (berkomitmen) dengan dienullah, yang di dalamnya bisa ada rincian antara orang yang mengingkari dengan yang tidak, dan yang mana Al Halabiy serta orang yang sejalan dengannya tidak memilah antara macam itu dengan macam tasyri’iy yang engkau telah mengetahui ijma atas takfier para pelakunya.
    Oleh karena itu engkau melihat Al Halabiy berkata dalam catatan kaki sebagai ta’liq (komentar terhadap apa yang dia nukil dari ucapan Asy Syinqithiy): “...Dan ucapan-ucapan Al ‘Allamah Asy Syinqithiy yang lainnya tidaklah sama sekali bertentangan dengan ini, karena ia (ucapan-ucapan itu) adalah mujmal (global) sedangkan yang ini adalah mufashshal (terperinci), dan perhatikanlah pensifatannya terhadapnya di sini dengan (Tahrirul Maqam), maka hati-hatilah kamu terpedaya dengan ijmal atau pemotongan nukilan-nukilan dan ucapan-ucapan” Selesai.
    Maka saya katakan: Kamulah yang harus hati-hati wahai mudallis dari pemotongan nukilan-nukilan dan ucapan-ucapan...!!! Dan takutlah kamu suatu hari yang di sana kamu berjumpa dengan Alloh subhaanahu, terus ternyata kamu mendapatkan permainan dan talbis ini di depan mata kamu dan dalam lembaran-lembaran amalan kamu...!!!.
    Kepada pencari Al haq saya tuturkan ucapan Asy Syinqithiy yang mana Al Halabiy memotong darinya suatu yang selaras dengannya, terus dia menjadikannya tahrirul maqam dalam masalah al hukmu secara muthlaq, dan apa yang selainnya dari ucapan Syaikh adalah ijmal; dan karenanya tidak halal mengambilnya dan merujuk kepadanya!! Supaya dengan hal itu dia membabat ucapannya yang terkenal dan sharih dalam bab tasyri’ dan tahkimul qawanin, dan yang merasa sesak darinya dada Ahlut Tajahhum wal Irja.
    Asy Syinqithiy berkata: “Dan ketahuilah bahwa tahrirul maqam dalam bahasan ini bahwa [al kufru, azh zhulmu dan al fisqu, masing-masing darinya bisa saja dilontarkan dalam syari’at ini seraya dimaksudkan terhadap maksiat sesekali dan terhadap kufur yang mengeluarkan dari millah pada lain kali. (Dan)] siapa yang tidak memutuskan dengan apa yang telah Alloh turunkan dalam rangka penentangan terhadap para rasul dan pengguguran terhadap hukum-hukum Alloh, maka kezhalimannya, kefasikannya dan kekafirannya semuanya adalah kekafiran yang mengeluarkan dari millah, dan siapa yang tidak memutuskan dengan apa yang telah Alloh turunkan seraya meyakini bahwa ia melakukan yang haram lagi (ia) mengerjakan hal yang buruk, maka kekafirannya, kezhalimannya dan kefasikannya tidaklah mengeluarkan dari millah ini”. Selesai (Adlwaul Bayan 2/94).
    Perhatikanlah apa yang ada di antara dua kurung [ ]!!! Itulah yang dibuang oleh Al Halabiy supaya memalingkan ungkapan (Tahrirul Maqam) yang diutarakan Asy Syinqithiy tentang lafazh-lafazh al kufru, azh zhulmu dan al fisq, dan bahwa lafazh-lafazh itu kadang digunakan dalam (syari’at) secara umum, terhadap maksiat sesekali dan terhadap kekafiran yang mengeluarkan dari millah ini pada kali lain.
    Al Halabiy membuangnya dengan amanah ilmiyyahnya..!! Untuk memalingkan hal itu kepada apa yang disukai Ahlut Tajahhum wal Irja dan mereka inginkan berupa ucapan(nya) tentang (meninggalkan hukum), terus dia menjadikan tempat ini sebagai tahrirul maqam dan inti ungkapan Asy Syinqithiy tentang bahasan al hukmu secara umum!! Dan dari sana Al Halabiy menyatakan dan menegaskan tanpa ada rasa malu serta mengklaim bahwa ini adalah Al Ashlu (inti ucapannya)!! Sedangkan ucapan Asy Syinqithiy yang lain yang tegas tentang pengkafiran hamba undang-undang dan para penguasa yang memutuskan dengan selain apa yang telah Alloh turunkan!! adalah ijmal!!.
    Padahal tahrir (penyelesaian bahasan) Asy Syinqithiy ini datang setelah firman-Nya ta’aalaa: “Dan siapa yang tidak memutuskan dengan apa yang telah Alloh turunkan maka mereka itu adalah orang-orang kafir... orang-orang zhalim... orang-orang fasiq...” untuk menjelaskan tahrirul maqam tentang lafazh-lafazh ini; al kufru, azh zhulmu dan al fisqu secara umum (dalam syari’at) –sebagaimana yang ia katakan– yaitu tahrirul maqam di dalamnya di mana lafazh-lafazh ini digunakan secara umum dalam tempat ini dan yang lainnya. Dan ucapan beliau ini bukan tahrir maqam dalam masalah al hukmu dan at tasyri’ secara khusus. Oleh sebab itu setelah beliau selesai dari hal ini, beliau memulai penafsiran firman-Nya ta’aalaa: [Dan siapa yang tidak memutuskan dengan apa yang telah Alloh turunkan...] terus beliau menuturkan rincian yang masyhur dalam (masalah) meninggalkan al hukmu (hukum/pemutusan) bukan dalam at tasyri’ (pembuatan hukum)!!.
    Di antara yang menampakkan di hadapanmu permainan Al Halabiy di tempat ini adalah bahwa dia tatkala membuang kalimat itu, maka dia membuang juga bersamanya (wau alif wau) ayat itu dan tanda-tanda kurungnya agar menjadikan ucapan itu semuanya termasuk ucapan Asy Syinqithiy, sehingga ungkapan menjadi sempurna setelah dia menghubungkan (tahrirul maqam) dengan (siapa yang tidak memutuskan). Dan itu semuanya untuk menjadikan ucapan Asy Syinqithiy –dalam tempat ini (meninggalkan al hukmu) dan rincian yang diputuskan dengannya di sana, dan ucapan beliau yang lainnya dibabat, termasuk yang sharih darinya tentang takfier para pembuat hukum/UU/UUD dan orang-orang yang mengikuti undang-undang kafir.
    Namun Al Halabiy malah menjungkirbalikkannya dengan sikap ‘amanah’nya yang terkenal!! Dan dia menjadikan ucapan Asy Syinqithiy yang tegas lagi terperinci dalam masalah tasyri’ sebagai hal yang global (mujmal), dan dia menjadikan ucapan Asy Syinqithiy di sini dalam masalah (meninggalkan al hukmu) sebagai tahrirul maqam dalam masalah al hukmu secara umum baik yang bersifat tasyri’iy darinya sebagaimana ia realita hari ini atau yang lainnya.
    Kemudian bersama ini semuanya dia tidak malu!! Dari men-tahdzir di tempat ini hal 8 dari pemotongan teks-teks dan ucapan-ucapan (orang lain), dan dia tidak malu-malu dari menuduh orang lain dengan hal itu, padahal sesungguhnya saya tidak pernah melihat di kalangan pencopet nushush (teks-teks) orang seperti dia dalam hal pemotongan, pemenggalan, penambalan dan penipuan, kemudian di catatan kaki dia menuturkan bait-bait syair Al ‘Allamah Ibnul Qayyim:
    Maka kamu mesti pegang rincian dan penjelasan karena
    Pemuthlaqan dan global tanpa penjelasan
    Telah merusak wujud ini dan mengkaburkan
    Pikiran dan pandangan di setiap masa.
    Sehingga tepat bagi Al Halabiy apa yang dikabarkan Nabi shalallaahu ‘alaihi wa sallam dari ungkapan kenabian terdahulu: “Bila kamu tidak malu, maka lakukan apa yang kamu suka!!38
    Kemudian saya katakan... Taruhlah wahai Akhittauhid bahwa maksud Asy Syinqithiy dengan (tahrirul maqam) ini adalah ucapan beliau terhadap ayat ”...dan siapa yang tidak memutuskan dengan apa yang telah Alloh turunkan” –sebagaimana yang diinginkan Al Halabiy–, maka sesungguhnya tahrirul maqam (yang dirincikan oleh para ulama) dalam masalah (meninggalkan al hukmu) adalah berbeda dengan tahrirul maqam dalam hal pembuatan hukum di samping Alloh atau mengikuti para pembuat hukum/UU/UUD atau mencari jalan hidup (falsafah) dan qanun (undang-undang) selain ajaran Alloh, dan yang telah kami ketengahkan kepadamu ucapan Asy Syinqithiy di dalamnya: “Sesungguhnya tidak ragu tentang kekafiran dan kemusyrikan mereka kecuali orang yang telah Alloh hapus matahati(bashirah)nya dan Dia membutakannya dari cahaya wahyu seperti mereka” Selesai.
    Dan berkata di tempat lain: “Dan adapun aturan hukum yang menyelisihi aturan Pencipta langit dan bumi, maka penerapannya adalah kekafiran terhadap Pencipta langit dan bumi”39
    Dan berkata: “Dan tatkala tasyri’ dan seluruh hukum baik syar’iy ataupun kauniy qadariy (hukum alam yang sudah ditentukan ketentuannya) adalah termasuk wewenang khusus Rububiyyah... maka setiap orang yang mengikuti aturan selain aturan Alloh maka dia telah menjadikan si pembuat aturan itu sebagai Rab (tuhan) dan mempersekutukannya bersama Alloh” Selesai.40
    Dan berkata hal 173: “Dan bagaimanapun keadaannya, maka tidak ragu bahwa orang yang mentaati selain Alloh dalam hukum yang menyelisihi apa yang disyari’atkan, maka dia telah menyekutukannya bersama Alloh” Selesai.
    Dan berkata dalam firman-Nya ta’aalaa: “Sesungguhnya Al Qur’an ini memberikan petunjuk kepada (jalan) yang lebih lurus.” (Al Israa’: 9). Di antara petunjuk Al Qur’an kepada jalan yang lebih lurus adalah penjelasannya bahwa setiap orang yang mengikuti tasyri’ (hukum) selain tasyri’ yang dibawa penghulu anak Adam Muhammad Ibnu Abdillah shalallaahu ‘alaihi wa sallam, maka ittiba’ dia terhadap tasyri’ yang menyelisihi itu adalah kekafiran yang nyata yang mengeluarkan dari millah Islamiyyah” Selesai.
    Dan saya telah mendengar beliau Rahimahulloh dalam ceramahnya –dan ia direkam dan dikenal termasuk kajian-kajiannya dalam tafsir– berkata sebagai komentar terhadap firman-Nya ta’aalaa: “Mereka menjadikan orang-orang alimnya dan rahib-rahib mereka sebagai tuhan selain Alloh.” (At Taubah: 31). Dan tafsir nabawi ini memutuskan bahwa setiap orang yang mengikuti pembuat hukum dengan (bentuk) menghalalkan dan mengharamkan seraya menyelisihi aturan Alloh, (maka) sesungguhnya ia itu adalah beribadah kepadanya, menjadikannya sebagai tuhan, menyekutukan (Alloh) dengannya lagi kafir terhadap Alloh”.
    Ia adalah tafsir yang benar yang tidak ada keraguan akan kebenarannya, sedangkan ayat-ayat Qur’aniyyah yang menjadi saksi akan kebenarannya hampir tidak bisa engkau hitung dalam Al Mushhaf Al Karim, dan akan kami jelaskan sebagian darinya Insya Alloh...
    Kemudian beliau berkata: “Ketahuilah wahai saudaraku bahwa syirik kepada Alloh dalam hukum-Nya dan syirik kepadanya dalam ibadah, keduanya adalah sama, yang sama sekali tidak ada perbedaan di antara keduanya. Maka orang yang mengikuti aturan selain aturan Alloh dan hukum selain hukum Alloh (atau selain apa yang Alloh syari’atkan) serta undang-undang buatan manusia yang menyelisihi aturan Alloh seraya berpaling dari cahaya langit yang telah Alloh turunkan lewat lisan Rasul-Nya shalallaahu ‘alaihi wa sallam... orang yang melakukan ini dan orang yang menyembah berhala serta sujud kepada patung adalah sama sekali tidak ada perbedaan di antara keduanya, maka keduanya adalah satu, masing-masing dari keduanya musyrik kepada Alloh, yang ini menyekutukan dalam ibadah-Nya dan yang ini menyekutukan dalam hukum-Nya, sedangkan penyekutuan-Nya dalam hukum-Nya dengan penyekutuan-Nya dalam ibadah-Nya semuanya sama” Selesai.
    Perhatikanlah ketegasan ini dan kejelasan ini dalam nukilan-nukilan ini beserta nukilan dari beliau yang telah kami ketengahkan terdahulu, yang tidak dihiraukan oleh Al Halabiy dan dia melakukannya serta menjadikannya sebagai hal yang global!! Adapun yang dia perkirakan selaras dengan paham Jahmiyyah dan Irja-nya maka dia telah menjadikannya sebagai ucapan yang terperinci dan tahriul maqam...!!
    Kemudian perhatikanlah berkali-kali ucapan Al Halabiy hal 6 dari muqaddimahnya: “Sesungguhnya orang-orang yang menyelisihi biasanya melipat nukilan-nukilan ini dan menyembunyikannya dari para pengikutnya!! Kemudian bila mereka menampakkannya maka di atas makna yang bukan sebenarnya, mereka menukilnya seraya memalingkan maknanya” Selesai.
    Maha Suci Dzat Yang telah menegakkan hujjah-Nya atas hamba-hamba-Nya, Dia melapangkan dengannya dada orang yang Dia kehendaki, dan Dia mengunci mati hati orang-orang yang Dia kehendaki dari mereka serta menghalangnya dari cahaya hujjah itu dengan sebab apa yang mereka perbuat…!!

    Perbedaan Yang Nyata
    Antara Meninggalkan Pemutusan Dengan Apa Yang Telah Alloh Turunkan Dalam Suatu Kasus (Tertentu) Sebagai Maksiat Bagi Orang Yang Komitmen Dengan Aturan Alloh
    DENGAN
    Memutuskan Dengan Selain Apa Yang Telah Alloh Turunkan Dengan Maknanya Yang bersifat Tasyri’iy (Pembuatan Hukum) Yang Terlaknat

    (5). Dan nampak jelas di hadapanmu pencampuradukan yang lalu pada Al Halabiy dan tidak membedakannya –dia dan orang-orang yang sejalan dengannya dari kalangan Ahlut Tajahhum wal Irja– antara dua hal itu; dengan sikap kebahagiaannya dengan ucapan Khalid Al ‘Anbariy dalam kitabnya (Al Hukmu Bi Ghairi Ma AnzalAlloh)!!! Di mana dia menukil darinya hal 15 ucapannya: “Apa tergambar seorang hakim meninggalkan pemutusan dengan syari’at yang suci, terus dia duduk di atas kursinya seraya tidak menghukumi rakyat dengan suatupun? Ini mustahil!! Dia mesti menghukumi dengan yang lainnya”. Selesai.
    Maksud dia dari hal itu adalah menyamakan antara orang yang meninggalkan hukum Alloh –termasuk dengan bentuknya yang tidak menjadikannya kafir (aniaya dan zalim)– dengan orang yang memutuskan dengan aturan-aturan kufur atau (dengan) musyarri’ (pembuat hukum ), yang dinamakan oleh sebagian orang dengan (sebutan) mustabdil (yang mengganti hukum Alloh dengan hukum buatan/UU/UUD manusia) sebagaimana ia realita para penguasa hari ini.
    Andaikata ia menyamakan antara kedua macam (itu) dari sisi vonis dengan takfier tentulah itu agak ringan, walau itu adalah pilihan yang lemah, karena ia akan mendapatkan baginya dalam hal itu salaf dalam sebagian lontaran-lontaran salaf radliallaahu’anhuma dalam hal suap dan yang seperti itu, akan tetapi dia (Al Halabiy) menyamakan antara keduanya di mana dia menjadikan keduanya semuanya bagian dari maksiat yang tidak mengkafirkan, sedangkan tidak seorangpun salaf yang mendahuluinya di dalam pendapat ini, kecuali dari kalangan Ahlut Tajahhum wal Irja!
    Oleh sebab itu kami katakan kepadanya dan kepada Al Halabiy: Sesungguhnya orang yang meninggalkan pemutusan dengan apa yang telah Alloh turunkan :
    • Bisa saja dia meninggalkan hukum (Alloh) karena mengikuti hawa nafsunya, seperti ~dia itu~ hakim atau qadli di suatu NEGARA YANG MEMBERLAKUKAN SYARI’AT ALLOH, diennya yang dianut41 dan ajarannya yang menjadi acuan adalah ajaran Alloh; dan kemudian datang kepadanya kerabatnya atau suap terus dia tidak menerapkan di dalamnya hukum Alloh karena kerabat atau suap itu; maka dia itu zhalim dan Alloh menamakannya kafir sebagai penganggapan besar terhadap dosanya dan penganggapan dahsyat terhadap perbuatannya. Kemudian kami menamakannya kafir sebagaimana penamaan yang Alloh sandangkan (tapi kekafirannya kufrun duna kufrin) dan itu dengan menggabungkan antara dalil-dalil syar’iy dan dengan mengembalikan kepada kaidah-kaidahnya serta ushulnya sebagaimana ia thariqah Ahlus Sunnah.
    • Dan bisa jadi meninggalkan hukum Alloh dan ia merujuk hukum kepada thaghut, sedang ia (thaghut) itu adalah setiap hukum –atau pembuat hukum– selain hukum Alloh ta’aalaa. Dan ia adalah macam yang bersifat syirik, kafir lagi thaghutiy yang ada pada hari ini.
    Hakim macam pertama: Dien dan mahajnya yang dia komitmen dengannya adalah ajaran Alloh, dia tidak menanggalkannya atau melepaskan diri darinya dan berpaling, namun ia meninggalkan penerapannya, misalnya: “...Qanun kami dan hukum kami dalam hal pencurian adalah potong tangan, akan tetapi pencurian yang terjadi bukanlah dari tempat penyimpanan yang selayaknya, oleh karena itu tidak ada potong tangan di dalamnya...” dan hal serupa itu berupa dusta atau hawa nafsu dan maksiat agar hukum Alloh tidak diterapkan terhadapnya dan yang lainnya.
    Sedang hakim yang ke dua: Dia menganut hukum, qanun (UU) dan manhaj selain dien Alloh, dan dia mencari pemutus selain Alloh atau menjadikan bagi dirinya kekuasaan legislatif (kewenangan pembuatan hukum dan undang-undang) sesuai materi Undang Undang Dasar (Dustur) –sebagaimana yang akan datang– atau pemalingan (pelimpahan) wewenang pembuatan hukum –yang mana ia adalah ibadah– kepada selain Alloh, atau dia merujuk hukum kepada thaghut. Dia berkata: “Undang-Undang Pidana (di) kita menegaskan bahwa pencuri dipenjara selama tiga tahun” atau “...bahwa pasal 284 dari Undang-Undang Hukum Pidana menyatakan bahwa: Tidak boleh menuntut perbuatan zina kecuali dengan pengaduan selama ikatan pernikahan masih ada di antara keduanya atau pengaduan walinya bila ia (wanita) tidak memiliki suami. Dan tidak boleh menuntut suami dengan sebab perbuatan zina kecuali atas dasar pengaduan istrinya, dan pengaduan beserta sanksi menjadi gugur dengan pengguguran” Selesai.
    Apa kalian tidak membedakan antara ini dan itu wahai orang-orang yang berakal...???!!!
    Yang pertama tergolong dosa besar yang mana pelakunya tidak dikafirkan selama dia menganut hukum Alloh, karena perintah memberlakukan Al Kitab adalah tergolong kewajiban sedangkan meninggalkannya sesekali karena syahwat adalah maksiat yang pelakunya tidak dikafirkan, kecuali dengan istihlal selama ia berkomitmen dengan dienullah dan syari’atnya.42
    Adapun yang ke dua, maka ia adalah pencarian selain Alloh sebagai pemutus hukum dan pembuat hukum serta pencarian dien selain dien Alloh. Dan ia adalah ittiba’ terhadap arbab (tuhan-tuhan) yang beraneka ragam serta ketaatan terhadap sembahan-sembahan yang mensyari’atkan dien (hukum/aturan) yang tidak diizinkan Alloh, sedangkan ini adalah masalah yang sangat berbeda dengan masalah yang pertama, Alloh ta’ala berfirman: “Apakah mereka memiliki sembahan-sembahan yang mensyari’atkan untuk mereka dien yang tidak diizinkan Alloh??” (Asy Syura: 21).
    Jadi tidak membaurkan antara dua hal ini, kecuali orang bodoh atau orang yang suka membuat pengkaburan dan kamuflase.
    Agar saya menambah kejelasan dan kegamblangan masalah ini bagimu wahai Halabiy, karena bisa jadi kamu ini orang bodoh dan bukan mudallis “Kasihan kamu ini, sebagian keburukan lebih ringan dari sebagian yang lain” Saya katakan: Apa tidak membedakan kamu dan orang yang sejalan dengan kamu antara: Orang yang meninggalkan shaum sehari dari Ramadlan. “sedang dia itu maksiat selama tidak mengingkari shaum”!!43 dengan orang yang melaksanakan shaum dan memalingkannya kepada selain Alloh...??? “maka dia itu musyrik kafir dan tidak disebutkan baginya juhud dan istihlal kecuali sebagai tambahan dalam kekafiran”.
    Dan rincian ini sangat jelas lagi gamblang, bahkan ia itu ada di hadapanmu hai Halabiy, sering kamu baca dan kamu nukil tanpa kamu tadabburi, karena mata hawa nafsu menutupi mata hati.
    Di antara hal itu apa yang kamu nukil di halaman 14 dalam muqaddimahmu dari Al Imam Ahmad dari ucapannya dalam suratnya kepada sahabatnya Musaddad Ibnu Masrahad: “Dan tidak suatupun mengeluarkan seseorang dari Islam: kecuali syirik terhadap Alloh Yang Maha Agung, atau dengan penolakan satu hal yang fardlu dari hal-hal yang difardlukan Alloh ‘azza wa jalla seraya mengingkari” Selesai.
    Sedangkan ucapan beliau: “Penolakan satu hal yang fardlu seraya mengingkari” adalah isyarat kepada macam pertama.
    Dan ucapannya: “Syirik terhadap Alloh Yang Maha Agung” adalah macam yang ke dua.
    Perhatikan ini baik-baik... dan saya memohon kepada Alloh ta’aalaa agar memberimu dan orang-orang yang sejalan denganmu hidayah kepada al haqqul mubin... sehingga kalian menjadi bagian Anshar tauhid serta kalian meninggalkan penambalan terhadap syirik dan tandid.
    Peringatan: Ketahuilah semoga Alloh melimpahkan rahmat-Nya kepada kita bahwa ucapan Al Imam Ahmad ini kadang nampak bagi sebagian orang bahwa ia tidak meliputi seluruh macam-macam kekafiran dan sebab-sebabnya, karena ucapannya: (Dan tidak suatupun mengeluarkan seseorang dari Islam kecuali syirik, atau dengan penolakan suatu yang fardlu seraya mengingkarinya); adalah pembatasan kekafiran dan riddah pada dua macam ini, padahal sudah ma’lum bahwa pintu-pintu riddah lebih luas dari itu, di mana Ahlul ilmi telah mendefinisikannya bahwa ia adalah: (kembali dari Islam kepada kufur dan memutus Islam, dan ia bisa terjadi dengan ucapan, kadang dengan perbuatan dan kadang dengan keyakinan, dan setiap masing-masing dari ketiga macam ini di dalamnya ada masalah-masalah yang hampir tidak bisa dihitung). Selesai, lihat Kifayatul Akhyar dan yang lainnya.
    Sebagaimana sesungguhnya banyak dari macam-macam kekafiran dan sebab-sebabnya bukan termasuk syirik dengan makna ishthilahnya yang mana ia lebih khusus dari kekafiran, yaitu menjadikan bagi Alloh tandingan atau sekutu dalam Uluhiyyah-Nya atau Rububiyyah-Nya atau dalam Asma dan Shifat-Nya. Dan atas dasar ini keluarlah dari ucapan Al Imam Ahmad banyak dari macam-macam kekafiran seperti mencela Alloh dan Rasul-Nya, memperolok-olok sesuatu dari ajaran Islam, atau meremehkan mushhaf dan menghinakannya atau membunuh para Nabi serta perbuatan-perbuatan dan ucapan-ucapan lainnya yang mana para ulama telah ijma atas kekafiran pelakunya meskipun dia tidak menjadikan tuhan lain bersama Alloh, dan begitu juga kufur tawalliy dan kufur keberpalingan serta yang lainnya yang sebagiannya akan kami utarakan contoh-contoh darinya nanti.
    Namun wajib pencari ilmu mengingat bahwa banyak dari ulama memandang bahwa syirik dan kufur itu adalah satu hal yang sama, sehingga menurut mereka setiap syirik adalah kufur sebagaimana setiap kufur adalah syirik. Dan atas dasar pendapat ini berarti ucapan Al Imam Ahmad itu mencakup, dan lenyaplah isykal darinya dan dari ucapan para imam selain beliau. Dan pengarahan makna ini ditunjukkan dan dikuatkan oleh firman Alloh ta’aalaa: “Sesungguhnya Alloh tidak mengampuni dosa penyekutuan terhadap-Nya dan Dia mengampuni dosa selain itu”. Ini adalah kaidah Ahlus Sunnah Wal Jama’ah dalam hal dosa, dan dari sanalah Al Imam Ahmad mengambil ucapannya itu, dan begitu juga Al Imam Al Bukhari berkata dalam Kitabul Iman dalam Shahihnya: (Bab maksiat-maksiat itu tergolong hal jahiliyyah, dan tidak dikafirkan pelakunya dengan sebab melanggarnya kecuali dengan syirik... dan firman Alloh ta’aalaa : “Sesungguhnya Alloh tidak mengampuni dosa penyekutuan terhadap-Nya...”
    Al Hafizh berkata: “Dan yang dimaksud dengan syirik dalam ayat ini adalah al kufru, karena orang yang mengingkari kenabian Muhammad shalallaahu ‘alaihi wa sallam umpamanya adalah kafir, walau tidak menjadikan tuhan lain bersama Alloh, dan ampunan dinafikan darinya tanpa perselisihan”. Selesai.
    Dan hal itu bisa diartikan bahwa orang yang kafir dengan macam apa saja dari kufur akbar ini telah menjadikan hawa nafsunya sebagai tuhannya dan dia beribadah kepada syaitan, sehingga ia atas dasar ini adalah musyrik selama ia mu’min kepada rububiyyah, Alloh ta’aalaa berfirman:
                             
    “Maka pernahkah kamu melihat orang yang menjadikan hawa nafsunya sebagai tuhannya, dan Alloh membiarkannya sesat berdasarkan ilmu-Nya dan Alloh telah mengunci mati pendengaran dan hatinya dan meletakkan tutupan atas penglihatannya? Maka siapakah yang akan memberinya petunjuk sesudah Alloh (membiarkannya sesat). Maka mengapa kamu tidak mengambil pelajaran?” (Al Jatsiyah: 23)
    Dan firman-Nya:
                 
    “Bukankah Aku telah memerintahkan kepadamu hai Bani Adam supaya kamu tidak menyembah setan? Sesungguhnya setan itu adalah musuh yang nyata bagi kamu". (Yasin: 60).
    Akan tetapi isykal masih ada pada ungkapan Al Imam Ahmad (atau dengan menolak faridlah seraya mengingkarinya), maka ini tidak layak membawanya secara muthlaq dalam Madzhab Al Imam Rahimahulloh; terutama sesungguhnya yang masyhur dalam madzhab beliau adalah takfier orang yang meninggalkan shalat tanpa ada syarat juhud sebagaimana yang akan datang darinya bahkan dalam riwayat dari beliau yang disebutkan Syaikhul Islam, beliau mengkafirkan (orang) dengan sebab meninggalkan salah satu dari rukun-rukun Islam (mabani), shalat atau yang lainnya tanpa menyebutkan juhud terhadapnya.
    Oleh karenanya mesti membawa ungkapan beliau ini kepada faraidl dan wajibat yang selain mabani sebagai penggabungan antara ucapan beliau Rahimahulloh, atau ucapan itu dianggap sebagai salah satu riwayat madzhab darinya sebagaimana ia ma’lum dari madzhabnya bukan bahwa ia adalah satu-satunya pilihan beliau.
    Oleh sebab itu akan datang di antara ucapannya: “Siapa yang meninggalkan shalat maka ia kafir, dan siapa yang mengatakan Al Qur’an makhluk maka ia kafir.” Selesai.
    Dan kalau tidak demikian, maka setiap orang dari manusia ini, Al Imam Ahmad dan yang lainnya adalah diambil dari ucapannya dan ditolak kecuali Al Ma’shum shalallaahu ‘alaihi wa sallam, dan hukum asal pada ucapan ulama adalah dicarikan hujjah baginya dan bukan dijadikan hujjah dengannya. Hal yang pasti adalah tidak boleh dienullah ini dan ajaran-Nya ditentang atau dibatasi dengan ucapan seseorang dari mereka siapa saja dia.
    Di samping ini sesungguhnya dalam ucapan Al Imam Ahmad ini sendiri, yaitu suratnya kepada sahabatnya Musaddad Ibnu Musrahad yang dipenggal darinya oleh Al Halabiy penggalan ini; ada yang menjelaskan bahwa ucapan ini tidaklah berarti sama sekali bahwa Al Imam Ahmad Rahimahulloh memaksudkan apa yang dituduhkan Neo Murji-ah kepadanya berupa pembatasan kekafiran pada pengingkaran; dan saya memaksudkan dengan hal itu ucapannya tentang firman Alloh pada tempat yang sama yang Al Halabiy telah menukil darinya: “(Siapa yang mengatakan (Al Qur’an) makhluk, maka ia kafir terhadap Alloh Yang Maha Agung, dan siapa yang tidak mengkafirkannya maka ia kafir)”. Selesai Thabaqat Al Hanabilah hal 315 cetakan I.
    Perhatikanlah: (Siapa yang mengatakan... dan siapa yang tidak mengkafirkannya...) bukan “orang” atau “mengingkari”!!
    Kenapa Al Halabiy memotong ini dan melipatnya dari tempat yang mana ia mengutip ungkapan Ahmad darinya...???!!!
    Perhatikanlah... dan silahkan anda gabungkan pada daftar permainan Al Halabiy terhadap ucapan ulama dengan memenggalnya apa yang ia suka darinya yang ia kira selaras dengan paham jahmiyyahnya, serta pelipatannya terhadap apa yang menyelisihi madzhabnya dengan penyelisihan yang nyata dan menggugurkannya dari pangkalnya dan mencabutnya dari akarnya!!
    Kemudian ingat lagi dan lagi ucapannya hal 6 dari muqaddimahnya: “Karena sesungguhnya orang-orang yang menyelisihi bisaanya melipat nukilan-nukilan ini dan menyembunyikannya dari para pengikut mereka...!!! Kemudian bila mereka menampakkannya maka atas selain maknanya, seraya menukilnya sembari memalingkan maksudnya” Selesai.

    Pemuthlaqan Murji-ah Terhadap Kaidah
    “Dan Kami Tidak Mengkafirkan Orang Muslim Dengan Sebab Dosa Selama Ia Tidak Menganggapnya Halal”
    Padahal Salaf Membatasinya

    (6). Kemudian setelah itu Al Halabiy panjang lebar menukil dari ucapan Ibnu Abdil Bar dan Ibnu Taimiyyah serta yang lainnya tentang bantahan terhadap orang yang mengkafirkan dengan sekedar dosa.
    Namun Al Halabiy tidak membedakan antara dosa-dosa mukaffirah dengan ghair mukaffirah.
    Dia memuthlaqan perkataan ulama dalam hal ini semuanya, dan ini sumber penyakit pada Ahlittajahhum wal Irja, oleh sebab itu mereka memasukkan ucapan ke dalam ucapan ulama makna yang tidak dikandung oleh ucapan itu, dan mereka menuturkan nukilan-nukilan mereka dari mereka itu “atas selain maknanya, seraya menukilnya sembari memalingkan maksudnya”...!!! Dan inilah yang dituduhkan Al Halabiy kepada orang lain...!!!
    Perhatikanlah ucapan Ibnu Taimiyyah yang dinukil Al Halabiy hal 19: “Dan telah menjadi hal yang baku dari Madzhab Ahlussunnah Wal Jama’ah sesuai apa yang ditunjukan Al Kitab dan As Sunnah: bahwa mereka tidak mengkafirkan seorangpun dari Ahlul Kiblat dengan sebab dosa dan mereka tidak mengeluarkan dari Islam dengan sebab amalan bila itu perbuatan yang dilarang seperti zina, pencurian dan minum khamr selama tidak mengandung peninggalan iman. Adapun bila mengandung peninggalan apa yang telah Alloh perintahkan untuk beriman kepadanya seperti iman kepada Alloh, malaikat-Nya, Kitab-Kitab-Nya, rasul-rasul-Nya dan kebangkitan setelah kematian; maka sesungguhnya dia dikafirkan dengannya. Dan begitu juga dia dikafirkan dengan sebab tidak meyakini wajibnya kewajiban-kewajiban yang nampak lagi mutawatir serta tidak mengharamkan hal-hal yang diharamkan yang nampak lagi mutawatir” Selesai.
    Dan perhatikanlah bagian dari ucapan beliau yang Al Halabiy girang dengannya, dimana dia menjadikannya dengan huruf hitam (yang nampak)44, yaitu ucapannya: “dan mereka tidak mengeluarkan dari Islam dengan sebab amalan” Bila itu perbuatan yang dilarang seperti zina, pencurian, dan minum khamr selama tidak mengandung peninggalan Al Iman” Selesai.
    Maka apakah perselisihan kita dalam hal seperti ini (zina, pencurian, minum khamr)...???
    Bila ternyata bukan di dalamnya...??? Maka kenapa memperbanyak nukilan tentangnya...???
    Dan telah jelas di hadapanmu keculasannya dan pencampuradukkannya dalam apa yang telah lalu..., karena dia memaksudkan dari ini –dan mengklaim– bahwa Ahlus Sunnah tidak mengeluarkan dari Islam dengan sebab amalan apa saja selama tidak disertai dengan pengguguran al iman yang bersifat hati (juhud), termasuk meskipun amalan itu tergolong apa yang dinashkan oleh Alloh bahwa ia adalah kekafiran yang mengeluarkan dari millah...!!! Seperti tasyri’ (pembuatan hukum/UU/UUD), tahakum kepada thaghut dan pencarian dien, hukum dan aturan selain Islam, dan inilah yang berjalan di negeri kita hari ini. Hal itu menurut dia dan orang-orang yang semisal dengan dia adalah amalan yang tidak mengeluarkan dari Islam selama tidak mengandung (pengingkaran hati/juhud qalbiy)...!!! Terus mereka menisbatkan ini secara dusta dan mengada-ada kepada Ahlus Sunnah...!!!
    Dan pemuthlaqan ini dikuatkan dengan permainan dia dalam pencetakan di mana dia menjadikan ungkapan yang penting baginya dengan tulisan berwarna hitam (yang nampak), yaitu: “dan mereka tidak mengeluarkan dari Islam dengan sebab amalan… selama tidak mengandung peninggalan Al Iman”. Adapun ucapan yang menafsirkan hal itu maka dia telah membiarkannya dengan huruf biasa, yaitu ucapan Syaikhul Islam: “bila itu perbuatan yang dilarang seperti zina, pencurian dan minum khamr”.
    Perhatikanlah bagaimana dia berupaya keras menghapus penjelasan ini, beserta pengulangan dan penampakkan ithlaq (lontaran) itu...!!! Dan mungkin saja dia berangan-angan andai dia mampu untuk membuangnya sebagaimana yang dia lakukan terhadap ucapan Ibnu Hazm sebelumnya, akan tetapi di sini dia melolong, karena keterbongkaran aib adalah lebih nampak dan lebih jelas.
    Ucapan Ibnu Hazm yang dipenggal dan dibuang oleh Al Halabiy sebelumnya ada di akhir ungkapan, dan dia akan menutupi itu dengan apa yang dia suka. Adapun di sini maka ucapan yang menelanjangi dia ada di tengahnya, sedangkan membuangnya adalah bolongan yang tidak bisa tertutupi, oleh sebab itu Al Halabiy merasa cukup dengan permainan dalam cetakan dan tinta, sebagai bentuk pelecehan darinya terhadap akal para pembacanya yang mana tulisan-tulisan dia dibagikan terhadap mereka. Dan dia seolah berinteraksi dengan orang-orang dungu atau menulis bagi anak-anak yang mudah ditipu dengan penyulapan huruf atau penghitaman pena...!!!
    Tinggalkan darimu tulisan, karena kamu bukan ahlinya
    Walau kamu poles hitam dengan tinta
    Dan serupa dengan itu ucapan Syaikhul Islam yang dia tulis dengan tulisan tebal: “Dan begitu juga dia dikafirkan dengan sebab tidak meyakini wajibnya kewajiban-kewajiban yang nampak lagi mutawatir serta tidak mengharamkan hal-hal yang diharamkan yang nampak lagi mutawatir”. Selesai.
    Perhatikanlah penekanannya terhadap i’tiqad di sini karena ia ingin melakukan pengulangan terhadap ucapan-ucapan yang telah dia tetapkan sebelumnya.
    Oleh sebab itu dia berkata langsung sesudahnya dengan penuh kebusukan yang nampak terbuka dan tanpa malu dari manusia atau takut terhadap Alloh: “Saya berkata: Jadi masalah ini semuanya dalam lingkungan kekafiran adalah dibangun di atas pengguguran Al Iman dan ketidakadaan keyakinan” Selesai.
    Perhatikanlah : Masalah ini semuanya...!!! Begitu saja tanpa ada rincian...!!!
    Kemudian datang pengekor atau muqallid, terus dia menisbatkan ithlaq (lontaran) semacam ini kepada Syaikhul Islam, Ahlus Sunnah dan salaf...!!!???
    Maka apa yang mesti kami katakan...???!!!
    Dan sebelum meninggalkan tempat ini saya ingin menjelaskan kepada pencari al haq bahwa ucapan Syaikhul Islam bahwa Ahlus Sunnah: “tidak mengkafirkan seorangpun dari Ahli Kiblat dengan sebab dosa” ditafsirkan dengan apa yang beliau tuturkan langsung sesudahnya: “dan mereka tidak mengeluarkan dari Islam dengan sebab amalan bila perbuatan itu dilarang seperti zina, pencurian dan minum khamr selama tidak mengandung peninggalan Al Iman”. Selesai.
    Dan beliau mengisyaratkan dengan hal itu kepada kaidah yang masyhur: “Dan kami tidak mengkafirkan seorang muslim pun dengan sebab dosa selama dia tidak menganggapnya halal”. Dan telah kami jabarkan kaidah ini berikut rincian di dalamnya dalam kitab kami (Imta’un Nazhar Fi Kasyfi Syubuhat Murji-atil ‘Ashri) yang ringkasnya:
    Bahwa kaidah ini harus dibatasi –sebagaimana yang dilakukan Syaikhul Islam dalam ucapannya ini– dengan dosa-dosa dan maksiat-maksiat yang tidak membuat kafir seperti zina, khamr, pencurian dan yang lainnya. Dan tidak boleh memuthlaqannya terhadap setiap dosa.
    Karena syirik terhadap Alloh adalah dosa sebagaimana dalam hadits: “Bahwa seorang laki-laki berkata: Wahai Rasululloh, dosa apa yang paling besar? Berkata: Engkau menjadikan tandingan bagi Alloh sedang Dia yang telah menciptakanmu...” (HR Al Bukhari dan Muslim).
    Mencela Alloh dan Rasul-Nya adalah dosa, membunuh para nabi adalah dosa, membuang mushhaf ke comberan adalah dosa, sujud kepada patung adalah dosa dan membuat hukum di samping (hukum) Alloh adalah dosa.
    Namun demikian sungguh engkau telah mengetahui bahwa pelaku hal-hal itu semuanya adalah kafir, baik dia menganggap halal atau tidak menganggap halal, oleh sebab itu Syaikhul Islam berkata di tempat lain: “Dan telah sepakat kaum muslimin bahwa orang yang tidak mendatangkan dua kalimah syahadat maka ia kafir, dan adapun amalan yang empat maka mereka telah berselisih dalam hal takfier orang yang meninggalkannya. Dan kami bila mengatakan bahwa Ahlus Sunnah telah sepakat untuk tidak dikafirkannya (seseorang) dengan sebab dosa, maka kami hanyalah memaksudkan dengannya maksiat-maksiat seperti zina dan minum (khamr). Adapun mabani (rukun-rukun Islam yang empat) ini maka dalam pengkafiran (orang yang meninggalkan)nya ada perselisihan yang masyhur”. Selesai (Majmu Al Fatawa 7/302).
    Saya berkata: Maka bagaimana dengan pokok segala pokok (yaitu tauhid) yang mana mabani ini tidak akan diterima tanpanya...???
    Perhatikanlah penjelasan Syaikhul Islam terhadap maksudnya dan maksud Ahlus Sunnah dari kaidah ini dan pembatasannya terhadap kaidah tersebut secara tegas dengan amalan-amalan yang tidak membuat kafir (ghair mukaffirah).
    Kemana Al Halabiy dan orang-orang semacam dia dari kalangan Ahlut Tajahhum Wal Irja lari dari takfier dan penjelasan ini...!!!
    Dan kenapa mereka melipatnya dan menyembunyikannya...???
    Ketahuilah, bahwa Al Imam Ahmad Ibnu Hanbal telah mengingkari juga ithlaq itu yang mana Al Halabiy dan orang-orang yang sejalan dengannya dari kalangan Ahlut Tajahhum Wal Irja berupaya memanipulasinya, memberlakukannya dan menjajakannya.
    Al Khallal berkata: “Muhamamd Ibnu Harun mengabarkan kepada kami bahwa Ishaq Ibnu Ibrahim mengabarkan mereka, ia berkata: Saya menyaksikan seseorang bertanya kepada Abu Abdillah, dia berkata: Wahai Abu Abdillah, kesepakatan kaum muslimin akan iman terhadap qadar, yang baik dan yang buruk? Abu Abdillah berkata : Ya. Ia bertanya (lagi): Dan kita tidak mengkafirkan seseorang pun dengan sebab dosa? Abu Abdillah berkata: Diam, siapa yang meninggalkan shalat maka dia kafir dan siapa yang mengatakan Al Qur’an itu makhluq maka ia kafir”. Selesai, dari Al Musnad tahqiq Ahmad Syakir 1/79.
    Yang aib dan cacat itu bukanlah pada kaidah itu, akan tetapi aib itu hanyalah pada pemahaman penganut jahmiyyah terhadapnya, pemuthlaqannya, pengumumannya serta tidak mmebatasinya sesuai cara yang telah engkau ketahui.
    Oleh sebab itu Syaikh Abdullathif Ibnu Abdirrahman Alu Asy Syaikh berkata seraya mengisyaratkan kepada ucapan Ahmad ini, saat beliau membantah sebagian orang-orang zaman beliau yang mengingkari Syaikh Muhammad Ibnu Abdil Wahhab atas sikap takfirnya terhadap sebagian orang yang jatuh pada kemusyrikan, beliau berkata: “Dan di dalamnya terdapat isyarat bahwa ia tidak mengetahui maksud ulama dengan ucapan mereka: (Ahlul Kiblat tidak boleh dikafirkan dengan sebab dosa), dan ia tidak mengetahui maksud ulama ini dan asal muasal kalimat ini serta apa konteks yang karenanya (kalimat ini) dilontarkan, sehingga ucapannya adalah kegelapan-kegelapan yang bertumpuk-tumpuk, dan sungguh Al Imam Ahmad telah mengingkari ucapan manusia: (Kami tidak mengkafirkan Ahlil Kiblat dengan sebab dosa), padahal sesungguhnya maksud orang yang mengatakannya adalah benar, dan Ahmad tidak menolaknya, namun masalahnya adalah dalam lafazh-lafazh dan ‘umumat (kata-kata umum), apa yang bisa diterima darinya dan apa yang ditolak”. Selesai.45
    Pensyarah Ath Thahawiyyah berkata hal (317) dalam rangka komentar terhadap ucapan: (Dan kami tidak mengkafirkan seorang pun dari Ahlul Kiblat dengan sebab dosa selama ia tidak menganggapnya halal): “Dan oleh karenanya banyak dari para imam menolak dari pelontaran ucapan ini (yaitu) bahwa kami tidak mengkafirkan seorang pun dengan sebab dosa, namun dikatakan: Kami tidak mengkafirkan mereka dengan sebab setiap dosa sebagaimana yang dilakukan Khawarij. Dan berbeda antara penafian yang umum dengan penafian keumuman, sedangkan yang wajib adalah penafian keumuman, sebagai pengguguran terhadap pendapat Khawarij yang mengkafirkan dengan setiap dosa” Selesai46
    Permainan Al Albaniy Dengan Ucapan Syaikh Muhammad Ibnu Ibrahim Dan Klaimnya Bahwa Ucapan Syaikh Semuanya Berseberangan Dengan Orang Yang Mengkafirkan Orang-Orang Yang Menerapkan Undang-Undang

    (7). Setelah itu Al Halabiy berupaya –dengan ‘amanah ilmiyyahnya’– hal 42 untuk (mengemas ucapan Syaikh Muhammad Ibnu Ibrahim Alu Asy Syaikh... di mana dia menuturkan darinya apa yang sejalan dengan hawa nafsunya, berupa ucapannya tentang firman-Nya ta’aalaa: “Dan siapa yang tidak memutuskan dengan apa yang telah Alloh turunkan...” dan dia melipat...!!! serta berpaling dari ucapan beliau yang tegas lagi jelas dalam fatwanya itu sendiri dan yang berkaitan dengan realita hari ini berupa ittiba’ (mengikuti) aturan-aturan kafir dan berhakim kepadanya –sedangkan engkau sudah mengetahui bahwa ini adalah hal lain di luar sekedar “meninggalkan sesuatu dari pemutusan dengan apa yang telah Alloh turunkan”- dan dikarenakan ucapan Syaikh sangat tegas menyatakan bahwa itu adalah kekafiran dan pengguguran terhadap syahadat” bahwa Muhammad Rasululloh; Oleh sebab itu Al Halabiy melipatnya dan mengutip dari fatwa itu apa yang dia inginkan dan dia sukai, dan saya ketengahkan kepada anda ucapan Syaikh dengan teksnya:
    Beliau berkata: “Ke lima: Dan ia adalah yang paling dahsyat atau paling menyeluruh dan paling nampak penentangannya terhadap syari’at dan pembangkangannya terhadap hukum-hukumnya dan penyelisihannya terhadap Alloh dan Rasul-Nya serta penyerupaannya terhadap mahkamah-mahkamah syar’iyyah, persiapannya, pendukungnya, pengawasannya, penetapan intinya, pencabangannya, pembentukannya, peragamannya, pemutusannya, pengharusan dilaksanakan (putusan) nya (itu), referensi-referensinya dan sandaran-sandarannya. Sebagaimana Mahkamah-mahkamah syar’iyyah itu memiliki referensi dan sandaran (rujukan), yang mana rujukannya kepadanya semuanya, maka mahkamah-mahkamah ini memiliki rujukan-rujukan, yaitu undang-undang yang diambil dari hukum-hukum yang beraneka ragam dan undang-undang yang banyak, seperti undang-undang Perancis, Undang-undang Amerika, Undang-undang Inggris dan undang-undang lainnya serta dari madzhab-madzhab sebagian ahli bid’ah yang intisab kepada ajaran (Islam ini) dan yang lainnya. Mahkamah-mahkamah ini sekarang di banyak negeri-negeri Islam (Amsharul Islam) disiapkan lagi disempurnakan juga dibuka pintu-pintunya, dan manusia pun datang kepadanya berbondong-bondong, para hakimnya memutuskan di antara mereka dengan apa yang menyelisihi Al Kitab dan As Sunnah, berupa hukum-hukum qanun itu dan mengharuskan mereka dengan (putusan-putusan hukum) nya (itu), mengakui mereka di atasnya dan memestikan hal itu atas mereka, maka kekafiran apa yang ada di atas kekafiran ini dan pengguguran terhadap syahadat “Muhammad Rasululloh” apa yang lebih dahsyat setelah pengguguran ini”. Selesai.
    Perhatikanlah ucapan ini, alangkah tegasnya dan alangkah jelasnya.
    Oleh karenanya Al Halabiy melipat ini semuanya dan tidak menampilkannya, justeru malah berkata tanpa ada rasa malu hal 22 di catatan kaki: “Dan apa yang mereka jadikan pijakan dalam klaim mereka ini berupa ucapan Al ‘Allamah Asy Syaikh Muhammad Ibnu Ibrahim Rahimahulloh –atau yang lainnya– maka semuanya adalah bukti-bukti yang menyelisihi mereka saat dilakukan pengamatan...” Selesai.
    Perhatikan....“Semuanya adalah bukti-bukti yang menyelisihi mereka...!!!”, ya justeru menyelisihi mereka itu sendiri...!!!
    Dan oleh karenanya Al Halabiy melipatnya dan tidak menuturkannya dalam Kitabnya ini...!!!
    Bahkan dia di catatan kaki ~dari~ catatan kaki halaman itu sendiri berupaya memberikan image kepada pembaca bahwa Syaikh Ibnu Ibrahim sejalan dengan mereka dalam hal pengkaitan takfier dengan I’tiqad secara muthlaq...!!! Serta pensyaratannya dalam realita tasyri’iy (pembuatan hukum) hari ini...!!!
    Padahal dia menukil secara tersirat apa yang menggugurkan ini, yaitu jawaban Syaikh terhadap pertanyaan seputar negeri-negeri yang terdapat di dalamnya pasar-pasar para pelacur dan ia dilindungi serta tidak diingkari, beliau berkata: “(Hal itu) dikhawatirkan sampai kepada kekafiran dan bisa jadi seperti qawanin (undang-undang), karena ia adalah izin yang bersifat umum meskipun ia tidak meyakini bahwa itu halal” Selesai.
    Perhatikanlah bagaimana Al Halabiy bermain dengan percetakan di mana ia mempertebal kata (dikhawatirkan) dan kata (bisa jadi) dengan huruf hitam yang tebal di antara ungkapan yang lain, dan seolah dia ingin menisbatkan kepada Syaikh (bahwa tidak ada takfier) tapi (dikhawatirkan... dan bisa jadi...) padahal sesungguhnya ucapan beliau dalam fatwa itu seputar perlindungan kerusakan dan penjagaannya saja, dan ia bukan tentang pembuatan hukum dan undang-undang baginya...!!! Sebagaimana ia adalah realita para thaghut hukum.
    Padahal orang yang obyektif yang memahami bahasa Arab dan mengamati ungkapan Syaikh ini “dikhawatirkan sampai kepada kekafiran” “dan bisa jadi qawanin (undang-undang), karena ia adalah izin yang bersifat umum”, maka ia akan memahami bahwa maksud beliau adalah: “...bahwa perbuatan negeri-negeri ini menyerupai qawanin, karena ia adalah izin umum atau pelegalan umum seperti qanun, dan oleh sebab itu dikhawatirkan ia adalah kekafiran...”. Dan maknanya bahwa seandainya ia itu adalah qanun maka ia adalah kekafiran tanpa kata (bisa jadi) atau keraguan serta tanpa kekhawatiran...!!! (meskipun ia tidak meyakini bahwa itu halal) sebagaimana yang beliau katakan.
    Dan bisa saja sebagian anak-anak tidak bisa mencerna ini... kemudian dengan sebab kekurangpahaman mereka dan kedangkalan nalar mereka, mereka langsung menuduh saya (menisbatkan kepada ulama apa yang tidak pernah mereka katakan)...!!!
    Oleh karena itu saya berkata:
    Makna ini dikuatkan dan dijelaskan oleh ucapan Syaikh Muhammad Ibnu Ibrahim dalam fatawanya itu sendiri yang mana Al Halabiy menukil darinya apa yang dia sukai dan melipat apa yang menggiurkan paham Irja-nya, Syaikh berkata: “Seandainya orang yang menerapkan undang-undang itu berkata: “Saya meyakini bahwa ia adalah batil”, maka (ucapan) ini tidak ada pengaruh baginya, bahkan justeru ia adalah pengguguran akan syari’at, sebagaimana (ia) seperti ~seandainya~ seseorang berkata: Saya menyembah berhala dan saya meyakini bahwa ia adalah batil”47 Selesai.48
    Maka perhatikan hal ini...!!! Hai orang yang berupaya keras dan berkelit dengan segala apa yang kamu miliki berupa tadlis dan talbis dalam rangka mencampuradukkan antara penerapan hukum-hukum dan undang-undang yang batil dengan sekedar meninggalkan sesuatu dari putusan Alloh sesekali sebagai maksiat karena mengikuti hawa nafsu, syahwat dan suap bagi orang yang berkomitmen dengan aturan Alloh...!!!
    Dan perhatikan bagaimana Syaikh berkata –dengan tegasnya– bahwa ada i’tiqad atau tidak adalah tidak ada pengaruh baginya di sini seperti penyembahan berhala. Dan inilah yang telah kami jelaskan kepada anda sebelumnya bahwa dzunub mukaffirah seperti syirik, pembuatan hukum/UU/UUD, mencela Alloh, sujud kepada berhala dan yang lainnya adalah tidak disyaratkan di dalamnya istihlal atau juhud atau i’tiqad, namun hal itu hanya disyaratkan dalam dzunub ghair mukaffirah seperti zina, pencurian, minum khamr, dll.
    Kemudian bersama ini semua, Al Halabiy tidak malu-malu dari mengatakan dengan penuh percaya diri: “Dan apa yang mereka jadikan pijakan dalam klaim mereka ini berupa ucapan Al ‘Allamah Asy Syaikh Muhammad Ibnu Ibrahim Rahimahulloh atau yang lainnya maka semuanya adalah bukti-bukti yang menyelisihi mereka saat dilakukan pengamatan...” Selesai...
    Oh kasihan... memangnya menyelisihi siapa...???!!!
    Klaim Ahluttajahhum
    Ijma Salaf Atas Paham Jahmiyyah Mereka Serta
    Penukilan Mereka Akan Ijma Itu Dari Ahlul Bid’ah

    (8). Kemudian Al Halabiy mengakhiri perjalanannya hal 25 seraya mensifati masalah ini bahwa ia adalah: “Tidak ada di dalamnya dari Aimmah Ahlis Sunnah dan keumuman para sahabat, kecuali satu pendapat” Selesai. Seraya memaksudkan pemahaman dia yang busuk yang dijajakan oleh dia dan Ahlut Tajahhum Wal Irja.
    Dan berkata hal 40 setelah panjang lebar menyanjung masyayikh dia yang memberikan pujian...!!! menetapkan...!!! memberikan komentar...!!! dan me-muraja’ah...!!! Kitabnya: “Maka hukum yang (disepakati) oleh para imam besar semacam mereka itu...???!!! Dan para ulama ahli Fiqh itu tidaklah melenceng bila dikatakan bahwa ia adalah ijma dan ia adalah al haq serta ia adalah petunjuk dan jalan yang lurus, karena mereka adalah para imam zaman ini serta ulama masa kini, sehingga orang yang menyelisihi mereka adalah orang yang meninggalkan jama’ah dan menyelisihi dari ittiba’ yang baik dan yang benar”.
    Dan dia berkata di catatan kaki halaman itu seraya memberikan komentar atas hal ini: <“Syaikh kami berkata seraya mengomentari : “Bagaimana sedangkan mereka pada dasarnya telah didahului dengan ijma salaf””>.49
    Perhatikanlah keberanian ini dalam sikap mereka membawa (ijma) salaf dan aimmah as sunnah...!!! Serta keumuman sahabat pada kebatilan ini, yang mana ia adalah inti sari pendapat Ahlut Tajahhum Wal Irja supaya engkau lebih mengetahui keserampangan mereka itu, terutama setelah engkau mengetahui bahwa ijma salaf berseberangan dengannya, yaitu ijma mereka atas kekafiran orang yang membuat hukum/UU/UUD atau ia merujuk hukum kepada ajaran-ajaran yang sudah dihapus (mansukh) atau yang dibuat (manusia), dan bahwa itu adalah kemusyrikan yang nyata dan kekafiran di atas kekafiran yang tidak dibatasi dengan juhud dan tidak disyaratkan i’tiqad di dalamnya, karena ia adalah realita para thaghut masa kini, dan bukan sekedar meninggalkan putusan dalam suatu kasus sebagai maksiat bagi orang yang berkomitmen dengan ajaran Alloh ta’aalaa dan yang mana salaf memberikan rincian di dalamnya. Sedangkan Ahluttajahhum Wal Irja sengaja membuat pengkaburan di dalamnya dengan menempatkan ucapan-ucapan mereka dalam hal itu terhadap realita pembuatan hukum/UU/UUD yang syirik pada hari ini.
    Agar tidak membiarkan ada peluang bagi Al Halabiy untuk berbelat- belit, maka saya katakan: Bahkan sesungguhnya klaim ijma salaf terhadap undang-undang, adalah sekedar meninggalkan pemutusan dalam suatu kasus tanpa pembuatan undang-undang, adalah klaim yang membutuhkan pada kejelian bagi orang yang mengetahui apa yang disyaratkan oleh orang-orang yang mengatakan kehujjahan ijma berupa syarat-syarat untuk keabsahan ijma.
    Dan bahwa ucapan seseorang “Dan ini adalah ucapan keumuman sahabat” atau “jumhur mereka” tidaklah cukup dalam keabsahan klaim ijma dengan adanya orang yang menyelisihi.
    Cukuplah bagimu untuk merobek ijma yang diklaim ini engkau merujuk sebagai contoh tafsir Ath Thabariy dan pendapat-pendapat yang dituturkan di dalamnya dalam tafsir firman Alloh ta’aalaa: “Dan siapa yang tidak memutuskan dengan apa yang telah Alloh turunkan...” dan seandainya dalam itu semua tidak ada kecuali ucapan Ibnu Mas’ud tentang putusan (al hukmu) dengan suap bahwa ia adalah kufur (akbar) tentulah cukup dengannya dalam merobek ijma yang diklaim ini.50
    Ini adalah tentang putusan dengan suap...!!! Maka bagaimana bila engkau mengetahui bahwa para ahlul bid’ah itu melakukan pencampuradukkan dan pengkaburan supaya mereka membuat image manusia bahwa ijma tersebut (yang diklaim) adalah berkenaan dengan tidak (melakukan) takfier (terhadap) realita para thaghut hari ini yang membuat hukum yang syirik...!!!
    Bila saya berbaik sangka kepada mereka, kemudian saya melenyapkan dari mereka tuduhan talbis dan tadlis, maka saya tidak akan melihat mereka kecuali seperti orang yang mencari kayu bakar di malam hari yang meraba-raba di kegelapan malam yang gulita seraya mencari antara kayu bakar, kotoran hewan, kalajengking dan ular berbisa di depannya... tiba-tiba mereka mendapatkan ijma Ahlul bid’ah dari kalangan Jahmiyyah dan yang lainnya tentang tidak ada takfier secara muthlaq kecuali dengan juhud qalbiy, terus mereka girang dengan hal itu dan terbang ria dengannya serta terus menisbatkannya kepada sahabat dan salaf...!!!
    Dan tidak ada yang lebih menunjukkan bahwa mereka itu memaksudkan ijma Ahlul bid’ah bukan ijma para imam sunnah... daripada kenyataan mereka menerima ijma yang diklaim ini serta mendapatkannya dari ahlul bid’ah yang terang-terangan dengan bid’ahnya, dari kalangan yang menindas Ahlussunnah dan menyiksa mereka dengan siksaan yang sangat kejam, di dalam waktu yang bersamaan mereka itu memuliakan penganut Jahmiyyah dan Mu’tazilah serta ahlul bid’ah lainnya, dan mereka menginjak-injak para imam sunnah, yang di antaranya Imam Ahlis Sunnah Wal Jama’ah Ahmad Ibnu Hanbal Rahimahulloh. Dan di antara orang-orang itu adalah (Al Ma’mun) Al Mu’taziliy.
    Sungguh Al Halabiy telah menukil dari Tarikh Baghdad –dan diakuinya oleh Syaikh-syaikh dia yang me-muraja’ah dan yang memuji serta memberikan komentar– percakapan antara (Al Ma’mun) dengan seorang dari Khawarij seputar firman-Nya ta’aalaa: “Dan siapa yang tidak memutuskan dengan apa yang telah Alloh turunkan maka mereka itu adalah orang-orang kafir” dan ia sangat senang dengan ucapan (Al Ma’mun) di dalamnya: “...Sebagaimana kamu ridla dengan ijma mereka dalam tanzil (penurunannya), maka ridlalah dengan ijma mereka dalam pentakwilan...” Selesai.
    Dan dia memaksudkan dengan itu (ijma umat) sebagaimana yang ia tuturkan secara tegas dalam percakapan yang dia sandarkan pada Tarikh Baghdad (10/186).
    Maka perhatikanlah bagaimana Al Halabiy menjadikan ijma di kalangan Ahlul bid’ah sebagai hujjah dalam dienullah...!!! Dan dalam apa...??? Dalam masalah dari masalah-masalah (al iman dan al kufr) yang mana Mu’tazilah telah sesat di dalamnya, sebagaimana Khawarij telah sesat.
    Dan ijma apa...???
    Sesungguhnya ia bukan ijma sahabat di sini... dan bahkan bukan ijma ulama...!!! tapi ijma umat...!!! Perhatikanlah...!!! Dan Al Halabiy sungguh telah bahagia sekali dengan hal itu, sampai-sampai ia menukilnya hal 28 dari Muqaddimahnya, dan sebagaimana biasanya dia menebalkan ungkapan yang dia sukai –dan yang disebutkan ijma di dalamnya– dengan tulisan hitam tebal, dan dia tidak merasa cukup dengan ini, bahkan ia mencantumkan percakapan ini di cover akhir dari kitabnya...dan ia nampakkan ungkapan tersebut dengan warna merah...
    Ijma umat macam apa ini yang kamu girang dengannya dengan kamu nukil dari ahli bid’ah...???!!!
    Dan dalam masalah yang diketahui berapa banyak perselisihan di dalamnya...!!!
    Namun itulah keserampangan-keserampangannya yang telah nampak banyak darinya bagi pencari kebenaran...!!!
    Sedangkan orang yang memiliki sedikit saja pengetahuan akan ‘ilmul ushul, dia mengetahui ucapan ahli ilmi ini tentang kemungkinan terjalinnya ijma, dan kemungkinan terealisasinya syarat-syaratnya, serta perselisihan yang ada di dalamnya. Dan ini pada (ijma ulama di suatu masa tertentu)...!!! Maka bagaimana (dengan ijma umat) yang diklaim dalam bab seperti ini yang diklaim oleh Al Halabiy...???!!!
    Dan semoga Alloh merahmati Al Imam Ahmad di mana beliau berkata: “Siapa yang mengaku ijma, maka dia itu pendusta, siapa tahu orang-orang itu telah berselisih namun tidak sampai kepadanya...” (Dari Kitab Al Hikam, Ibnu Hazm).
    Orang yang paling layak diterapkan kepadanya ucapan beliau ini adalah Al Halabiy dan ijma maz’umnya...!!!
    Inilah sungguh Ibnul Qayyim Rahimahulloh telah menjelaskan dalam I’lamul Muwaqqi’in 1/30 dan 2/247-248 bahwa maksud Al Imam Ahmad dalam ucapannya ini adalah pengingkaran terhadap orang yang mengklaim ijma karena sekedar dia tidak mengetahui orang yang menyelisihi, terus dia meninggalkan perujukan kepada Kitabullah dan Sunnah Rasul-Nya shalallaahu ‘alaihi wa sallam dan ia malah mengalihkannya kepada klaim ijma karena sekedar tidak mengetahui adanya orang yang menyelisihi, siapa tahu manusia itu bisa jadi telah berselisih sedang dia tidak mengetahui...!!! Karena ketidaktahuan terhadap orang yang menyelisihi bukanlah pengetahuan dia akan ketidakadaannya, dan bagaimana dia mengedepankan ketidaktahuan terhadap pokok pengetahuan semuanya...??? Dan dinukil darinya dari riwayat Al Marzawiy bahwa ia berkata: (Bagaimana boleh bagi seseorang mengatakan: “Mereka telah ijma”? bila kalian mendengar mereka mengatakan “Mereka telah ijma” maka tuduhlah mereka itu, seandainya mereka berkata: “Sesungguhnya saya tidak mengetahui orang yang menyelisihi” tentulah benar). Selesai.
    Bila saja Imam Ahlus Sunnah mengajak kita untuk menuduh mereka (pendusta,ed.) dengan sekedar klaim ijma karena ketidaktahuan terhadap orang yang menyelisihi...!!! Maka bagaimana bila mereka telah menukil ijma itu dari Ahlil bid’ah untuk mengkaburkan al haq dengan al bathil dengan perantaraan klaim-klaim ijma yang dusta...???
    Dan Ibnul Qayyim telah menjelaskan dalam tempat yang sama bahwa itu adalah kebiasaan dan cara serta ucapan Bisyr Al Mirrisiy, Al Ashamm dan yang lainnya... dan beliau menukil dari Al Imam Ahmad dari riwayat putranya Abdullah bahwa beliau berkata: (Siapa yang mengklaim ijma maka dia dusta, bisa jadi manusia ini telah berselisih; ini adalah klaim Bisyr Al Mirrisiy dan Al Ashamm, namun (sebaiknya) dia berkata: Kami tidak mengetahui manusia telah berselisih, atau belum sampai kepada kami). Selesai.
    Jadi ia adalah klaim yang keluar dari kantong ahlul bid’ah, maka perhatikanlah hal ini... agar engkau mengetahui asal-usul mereka, biang sumbernya dan salaf (para pendahulu) mereka yang sebenarnya yang mereka tauladani dalam hal ini dan yang serupa dengannya, berupa hal-hal yang telah lalu, dan supaya engkau mengetahui setelahnya bahwa kami tidak bersikap aniaya terhadap mereka bila kami cap mereka sebagai Ahlut Tajahhum Wal Irja.
    Maka bagaimana bila ijma yang dimaksudkan Al Halabiy di sini adalah ijma para imam kesesatan, ulama fitnah dan bodyguard penguasa...!!! Yang telah membai’at para thaghut dan menjadikan mereka sebagai pemimpin kaum muslimin yang syar’iy (sah)...???!!!
    Merekalah yang disifati oleh Al Halabiy di sini: “Karena mereka adalah para imam-imam zaman ini serta ulama masa kini” hal 40. Dan dari sini maka dengan mereka sajalah ijma terjalin menurut dia...!!!
    Dan karenanya dia berkata: “...Maka hukum yang (disepakati) oleh para imam besar semacam mereka itu!!! Dan ulama ahli Fiqh itu tidaklah melenceng jauh51 bila dikatakan bahwa ia adalah ijma” selesai, dan seolah umat ini telah mandul, kecuali dari para Syaikh penguasa...!!!
    Dan oleh karena itu dia berkata langsung sesudahnya: “Sehingga bisa jadi orang yang menyelisihi mereka adalah orang yang meninggalkan jama’ah dan menyelisihi dari ittiba’ yang baik dan ketaatan yang benar”. Selesai
    Ketaatan apa yang kamu maksudkan?! Taat kepada pemimpin kalian?! Yang dibela-bela oleh orang-orang buta itu, dan di antara mereka ada yang membai’atnya dan memberikan kepatuhan dan kesetiaannya kepadanya...!!!
    Apakah seperti ini ijma itu terjadi... apakah ini rukun-rukun... dan syarat-syaratnya...???!!!
    Atau sesungguhnya masalahnya mengikuti hawa nafsu...
    Sungguh mudah sekali ijma ulama ini terjalin... bahkan ijma umat...!!! Saat kamu menginginkannya sejalan dengan hawa nafsu kalian...!!! Dan alangkah sulitnya saat ijma itu datang menyelisihi...!!!
    Dan sebelum saya menutup tempat ini saya ingatkan pencari ilmu kepada kebiasaan ahlul bid’ah dan adat mereka yang telah disyaratkan kepadanya oleh Al Halabiy dalam Kitabnya!! Yaitu melipat dan menyembunyikan bukti-bukti atau hal-hal yang berseberangan dengan mereka dan menampakkan apa yang mendukung bid’ah mereka walaupun itu menyelisihi ushul dan qawaid mereka yang mana mereka mengaku intisab kepadanya.
    Dan itu lewat pengingatan bahwa kisah orang Khawarij yang mana Al Halabiy girang dengannya, dan menuturkannya serta mewarnainya juga mempermainkan dengan tintanya adalah riwayat yang telah dianggap lemah oleh Al Imam Adz Dzahabiy dalam As Siyar 10/280 dengan ucapannya: (Dan dikatakan: Seorang Khawarij dimasukkan...), ini dari satu sisi.
    Dari sisi lain, sesungguhnya perawinya –sebagaimana dalam Tarikh Baghdad yaitu referensi itu sendiri yang mana Al Halabiy menisbatkan hal itu kepadanya, dan As Sayuthi menuturkan itu dalam Tarikh Al Khulafa dalam Biografi Al Ma’mun (319-320)– adalah Ibnu Abi Du’ad Al Jahmiy yang mengajak kepada pendapat “Al Qur’an itu makhluq” musuh Al Imam Ahmad, yang memprovokasi Khalifah untuk membunuhnya dan mencap Al Imam Ahmad bahwa ia sesat lagi menyesatkan...!!!
    Kenapa Al Halabiy menyembunyikan ini dan tidak menjelaskannya atau mengingatkan kepadanya...??? Sesungguhnya andaikata seseorang berhujjah atasnya dengan riwayat-riwayat semacam dia dengan suatu yang menggugurkan dan menjatuhkan madzhabnya tentulah Al Halabiy berteriak menjelaskan penyimpangan Ibnu Abi Du’ad dan kerusakan keyakinannya, serta tentu dia berbicara dengan lantang bahwa Ibnu Abu Du’ad dan riwayat-riwayatnya tidak berharga sama sekali...!!!
    Namun kenapa dia di sini menerima riwayatnya, girang dengannya, menghiasinya, mengekornya serta memperindahnya...!!!
    Apa engkau melihat itu adalah inshaf (obyektif) dalam menerima al haq walau dibawa oleh orang yang menyelisihi ? Hal itulah yang tidak pernah kami lihat ada pada mereka!! Atau ia itu sebagaimana yang dikatakan salaf : Ahlul Ahwa meriwayatkan apa yang menguntungkan mereka dan meninggalkan apa yang merugikan mereka...!!!
    Dan kenapa ia itu seperti lalat yang tidak hinggap kecuali di atas kotoran? Dia tidak memilih dari khabar dan riwayat kecuali apa yang tergolong barang jajaan orang-orang yang menyimpang dan sesat...???
    Kadang melirik Al Ma’mun Al Mu’taziliy, kadang meriwayatkan dari Ibnu Abi Du’ad, serta kadang juga menjadikan pengakuan orang Khawarij terhadap Al Ma’mun sebagai hujjah yang dia berhujjah dengannya, sehingga dia mengumpulkan dalam nukilan-nukilannya antara setiap yang terpuruk, dan tertanduk serta terhantam. Dia menyusun di antara hal-hal itu supaya ia keluar kepada kita dengan madzhab yang aneh lagi asing...!!!
    Sungguh kasihan dari realita salafiyyah dan atsariyyah...!!!
    Adapun saya maka di penghujung bahasan ini, dikarenakan dia telah menuturkan kisah Al Ma’mun dan percakapannya dengan orang Khawarij dan kegirangan dia dengannya, maka ada baiknya saya mengutarakan kepadanya kisah Al Ma’mun juga agar sebanding, namun tentang pertanyaan dia kepada Al Imam An Nadlr Ibnu Syumail mengenai Irja...
    Ibnu ‘Asakir meriwayatkan lewat jalur An Nadlr, berkata: “Saya masuk kepada Al Ma’mun, Maka dia berkata: Bagaimana kabarmu wahai Nadlr? Saya menjawab: Baik, wahai Amirul Mu’minin, Dia bertanya: Apa Irja itu? Saya menjawab: Dien yang sesuai dengan para raja, mereka dengannya mendapatkan (bagian) dari dunia mereka, dan mengurangi dengannya dari diennya. Maka dia berkata: Engkau benar.52
    Dan saya berkata: Ya, demi Alloh, engkau benar wahai Nadlr! Dan tepat sekali engkau pada sasaran dengan cap yang engkau berikan ini.
    Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah telah menyebutkan sesuatu dari hal yang membuat Irja disukai para raja dan menjadikannya sejalan dengan mereka, dan itu dalam konteks bahasan beliau tentang Khilafah dan kerajaan, di mana beliau menjelaskan bahwa di sana ada dua pihak dalam menyikapi sikap keluarnya para pemimpin dari jalan Khulafa Rasyidin kepada jalan para raja.
    - Salah satunya: (Orang yang mencela orang yang keluar dari jalan al khulafa ar rasyidin secara muthlaq atau untuk kebutuhan, sebagaimana ia adalah keadaan ahlul bid’ah dari kalangan Khawarij, Mu’tazilah dan kelompok-kelompok dari kalangan mengaku sunnah dan intisab kepada zuhud).
    Dan perhatikanlah obyektivitasnya di mana beliau tidak menjadikan penganut pemahaman pihak ini semuanya termasuk Khawarij dan Mu’tazilah, padahal beliau ini berbicara tentang orang yang mencela atau menentang terhadap orang yang melenceng dari Khilafah kepada al mulk (kerajaan/dinasti) dengan pelencengan yang tidak mengeluarkan dari millah.
    - Dan pihak ke dua: (Orang yang membolehkan al mulk secara muthlaq tanpa terikat dengan sunnah (tuntunan) al khulafa, sebagaimana ia perbuatan orang-orang durjana, Badliyyah dan afrakh53 (infividu-individu) Al Murji-ah. Dan ini adalah rincian yang bagus) Selesai. Al Fatawa 35/24-25.
    Jadi tidaklah heran bila madzhab Murji-ah setuju terhadap para raja selagi memang ia berdiri di atas penambalan (tarqi’) terhadap kebatilan mereka dan melapangkan (‘udzur) atas mereka dalam pembolehan penyimpangan-penyimpangan dan kegelapan-kegelapan mereka, sebagaimana ucapan An Nadlr: “Mereka dengannya mendapatkan (bagian) dari dunia mereka dan mengurangi dengannya dari dien mereka...!!!”
    Kita melihat para raja, para thaghut dan anshar mereka hari ini merasa bahagia dan girang dengan paham Jahmiyyah dan Irja serta dengan para Syaikhnya, para du’atnya dan afrakh-nya...!!!
    Mereka mempromosikannya dan para syaikhnya, mereka melenggangkan jalan bagi mereka dan bagi dakwah mereka serta tulisan-tulisan mereka, dan mereka melepaskan kendali baginya.
    Dan contoh-contoh dari realita hari ini adalah lebih banyak dari bisa dipaparkan di sini, serta telah lalu isyarat-isyarat kepada sebagiannya, dan hal serupa akan datang kemudian.
    Cukup bagi saya di sini mengingatkan kepada keadaan mereka terhadap kami di Yordania untuk memperkenalkan kepada pembaca sejauh mana kecintaan para raja dan anshar mereka terhadap mereka... dalam waktu yang mana kami dilarang di dalamnya dan dilarang setiap da’i kepada tauhid dari sekedar membezuk sebagian ikhwannya dan dia diancam akan diciduk bila menyalahi larangan itu...??? Ya demi Alloh sekedar bezuk dan bertemu, maka bagaimana dengan pemberian ceramah dan kajian atau dengan penyebaran buku-buku dan rasail...??? Oleh sebab itu ikhwan kami tidak melakukan hal itu kecuali sembunyi-sembunyi dan cara lembut, seraya mengingat firman Alloh ta’aalaa:
    •            
    “Sesungguhnya jika mereka dapat mengetahui tempatmu, niscaya mereka akan melempari kamu dengan batu, atau memaksamu kembali kepada agama mereka, dan jika demikian niscaya kamu tidak akan beruntung selama-lamanya.” (Al Kahfi: 20).
    Dan hadits Rasul mereka shalallaahu ‘alaihi wa sallam: “Mintalah bantuan atas penuaian hajat-hajat kalian dengan cara sembunyi-sembunyi...”
    Di sisi lain, kendali dilepas bagi orang semacam Al Halabiy ini untuk safar dan bepergian ke sana ke mari, memberikan kajian dan ceramah di seluruh pelosok bumi, serta dibuka selebar-lebarnya kesempatan untuk mencetak tulisan-tulisannya, risalah-risalahnya dan karangan-karangannya yang tidak setara secara keilmuan harga kertas-kertasnya dan tintanya selain ayat-ayat dan hadits-hadits yang dia jadikan dalil di dalamnya seraya memalingkan makna-maknanya dan menyimpangkan dilalahnya...!!!
    Sungguh puluhan ikhwah yang ditahan di markas Badan Intelijen Yordania telah memberi kabar saya bahwa musuh-musuh Alloh mengancam mereka, menterror mereka dan menakut-nakuti mereka dari menghadiri majlis-majlis saya atau mentelaah tulisan-tulisan saya; dan mereka mengajak para ikhwah itu dengan tegas-tegasan dan dengan terang-terangan untuk belajar kepada Ali Al Halabiy dan Al Albaniy serta yang lainnya dari kalangan Ahlut Tajahhum Wal Irja...!!!
    Sungguh benar An Nadlr dan dia melihat demi Alloh dengan mata firasat saat beliau berkata tentang Irja: “Dien yang sejalan dengan para raja, mereka mendapatkan dengannya (bagian) dari dunia mereka, dan mereka mengurangi dengannya dari dien mereka”. Selesai.

    Klaim Al Halabiy
    Bahwa Tidak Ada Seorangpun Penguasa yang Mengaku Islam Pada Hari Ini Melainkan Dia Menerapkan Bagian dari Islam
    Serta Dia
    Mencap Orang-Orang yang Mengkafirkan Mereka Sebagai Khawarij

    (9). Al Halabiy berkata halaman 26: “Sesungguhnya pembayangan masalah meninggalkan pemutusan dengan apa yang telah Alloh turunkan seluruhnya dan semuanya di negeri Islamiy. Ia adalah lebih dekat kepada khayalan daripada keberadaannya sebagai hakikat yang real, karena kami tidak mengetahui pada hari ini di dunia manusia –dari sisi realita– seorang pemimpinpun yang mengaku Islam dan mengaku pemutusan dengan Islam meskipun dia menyelisihinya dalam banyak atau sedikit, kecuali dia itu menerapkan dari Islam ini kadar tertentu, seperti rukun Islam yang lima dalam pemberian izin terhadapnya, pujian dengan penyebutannya dan tidak menghalangi (pelaksanaan)nya, dan seperti hukum-hukum nikah, thalaq, warisan dan hukum-hukum syar’iy lainnya”. Selesai.
    Saya katakan: Kamu dan orang-orang yang semacam kamu dari kalangan yang tidak mengetahui apa yang terjadi di sekitar mereka dan (mereka mimpi)54, merekalah yang hidup di dunia khayalan...!!!
    Yang kamu sebutkan ini berupa rukun yang lima, pemberian izin (pelaksanaan)nya dan tidak ada penghalangan baginya adalah bukanlah perseteruan kita terjadi di dalamnya, karena tidak seorangpun pada hari ini menghalang-halanginya, termasuk Yahudi di payung pemerintahan mereka terhadap Baitul Maqdis... sebagaimana ia realita yang bisa disaksikan.
    Syaikh Ishaq Ibnu Abdurrahman Ibnu Hasan Alu Asy Syaikh berkata: “... dan klaim orang yang telah Alloh butakan mata hatinya dan pengakuan(nya) bahwa izhharuddien adalah mereka (orang-orang kafir) tidak menghalangi orang yang beribadah atau mengajar; adalah klaim yang batil, sehingga pernyataannya ini ditolak secara akal dan syari’at, dan hendaklah orang yang berada di negeri Nashara, Majusi dan Hindu merasa girang dengan hukum yang batil itu, karena shalat, adzan dan pengajaran ada di negeri-negeri mereka”55.
    Adapun (hukum-hukum nikah, thalaq dan warisan...) yang diklaim oleh Al Halabiy bahwa para thaghut menerapkannya dari Islam, maka suatu yang ma’lum bagi orang yang memiliki pengetahuan akan undang-undang para thaghut, bahwa bab-bab ini yang mereka namakan dengan (ahwal syakhshiyyah) dan yang meliputi sebagian pendapat-pendapat berbagai madzhab dalam Islam; tidaklah mendapatkan statusnya yang memiliki kekuatan hukum pada aturan mereka, dien mereka, mahkamah-mahkamah mereka dan vonis hukum mereka, kecuali bila muncul dari bawah jubah undang-undang induk mereka ”(UUD mereka)”, sehingga ahwal syakhshiyyah itu diputuskan dengan UUD tersebut lagi menginduk kepadanya.
    Oleh sebab itu mereka tidak mengambilnya secara utuh atau suatu yang sejalan dengan al haq darinya, namun mereka hanya mengambil hukum-hukum tertentu darinya yang telah ditentukan oleh undang-undang mereka. Atau dengan makna lain mereka itu tidak mengamalkan –apa yang mereka pilih-pilih darinya– karena ia adalah hukum-hukum Alloh, akan tetapi karena Dustur (konstitusi/UUD) dan qanun (UU) telah menentukannya dan menegaskan terhadapnya. Dan hal ini dibuktikan secara jelas dengan bukti-bukti dari qawanin mereka:
    Pasal (103) dari UUD Yordania dan cabangnya (2): “Masalah-masalah ahwal syakhshiyyah ialah masalah-masalah yang ditentukan undang-undang”.
    Jadi masalah-masalah pilihan dari madzhab-madzhab Islamiyyah berupa hal yang mereka lihat selaras dengan adat mereka, budaya mereka dan kondisi-kondisi mereka ia di awal dan di akhir diputuskan dengan teks-teks dustur.
    Seperti pasal (6) darinya: “Warga Yordania di hadapan undang-undang adalah sama lagi tidak ada perbedaan di antara mereka dalam hak-hak dan kewajiban meskipun mereka berbeda dalam hal adat atau bahasa atau agama”.
    Dan pasal (15) dari UUD itu juga: “...Negara menjamin kebebasan berpendapat... (hingga ucapan mereka)... dengan syarat itu tidak melampaui batasan undang-undang”.
    Dan contoh-contoh semacam ini banyak...
    Jadi hukum-hukum nikah dan thalaq sebagai contoh dan yang mana Al Halabiy senang dengan penerapan mereka terhadapnya seraya diputuskan dengan pasal-pasal seperti ini. Dan atas dasar ini bila seseorang menjadi murtad, maka syari’at Islamiyyah menghalangi dia dari menikah dengan muslimah, akan tetapi hal ini bukanlah sebagai penghalang menurut (hukum) mereka selama qanun tidak menganggapnya sebagai penghalang termasuk andaikata mereka mengumumkan bahwa hukum-hukum nikah yang ada pada mereka adalah diambil dari syari’at, dan meskipun hukum-hukum itu menegaskan bahwa tidak sah pernikahan kafir dengan muslimah serta meskipun para qadli (hukum)nya menetapkan hal itu suatu hari, maka keputusannya pada akhir perjalanan divonis oleh UUD dan teks-teksnya.
    Begitupun jika dia itu muslim lalu murtad setelah menikah, maka undang-undang ahwal syakhshiyyah ini tidak bisa memisahkan antara dia dengan isterinya yang muslimah –karena sebab ini saja– karena hukum-hukum yang mereka ambil dengan klaim mereka dari syari’at itu diputuskan/diatur dengan teks-teks UUD. Dan bila suatu hari mahkamah-mahkamahnya berupaya memisahkannya, maka putusan-putusannya itu tidak akan berlaku kecuali apa yang diakui dan diberkahi dustur.56
    Suatu yang umum dari teks-teks Ahwal Syakhshiyyah ini dikhususkan oleh teks-teks dustur (undang-undang) dan yang muthlaq ditaqyid dengannya juga. Dustur sebagaimana dalam pasal (15) menjamin kebebasan pendapat dan di antara hal itu adalah keyakinan (atau iltihad/keluar dari Islam) dengan satu syarat saja, (yaitu) tidak melampaui batasan undang-undang, bukan batasan-batasan Alloh... dan dari itu dalam qawanin mereka tidak ada yang menghalangi riddah atau memberi sangsi atasnya atau dengan sebabnya dipilih antara manusia, yang muslim dan kafir atau murtad.
    Dan begitu juga berkenaan dengan hukum-hukum warisan, mereka mengambil dari syari’at di negeri ini umpamanya bahwa laki-laki mendapat dua lipat bagian perempuan, namun yang dimaksud dalam dienullah (adalah laki-laki muslim bukan murtad atau kafir). Bila anak laki-laki itu murtad sekuler atau komunis atau mulhid atau pindah ke agama lain; maka syari’at menghalanginya dari ikut serta dengan saudara-saudaranya dalam bagian warisan, sebagaimana dalam hadits muttafaq ‘alaih : “(Orang kafir tidak mewarisi orang muslim).”
    Adapun menurut (hukum) mereka maka itu meskipun mereka mengklaimnya dan mengutipnya dari madzhab Islamiyyah dalam Ahwal Syakhshiyyah mereka, akan tetapi mereka tidak menerapkannya dalam undang-undang mereka, dan itu dikarenakan hukum-hukum yang mereka pilih-pilih!! Ini diputuskan di awal dan di akhir dengan pasal-pasal Dustur dan Qawanin lainnya, yang di antaranya pasal (6) dari UUD mereka yang menjadikan orang-orang Yordania semuanya sama rata di hadapan qanun dan tidak membedakan di antara mereka dalam hak dan kewajiban dengan sebab agama.
    Dan karenanya orang kafir mewarisi dari orang muslim dalam dien (hukum) mereka, dan orang murtad serta mulhid menyertai saudaranya yang muslim dalam warisan pada ajaran mereka...!!!
    Padahal Alloh subhaanahu wa ta’aalaa berfirman seraya mengingkari para pembuat hukum yang musyrik dan yang lainnya: “Maka apakah patut Kami menjadikan orang-orang itu sama dengan orang-orang bernoda (kafir). Mengapa kamu (berbuat demikian): bagaimana kamu mengambil keputusan.” (Al Qalam: 35-36)
    Dia subhaanahu wa ta’aalaa berfirman: “Patutkah (pula) Kami menganggap orang-orang yang bertakwa sama dengan orang-orang yang berbuat ma’siat?,” (Shaad: 28)
    Dan Dia subhaanahu wa ta’aalaa berfirman: “Maka apakah orang yang beriman seperti orang yang fasiq (kafir)? Mereka tidak sama.” (As Sajdah: 18)
    Dan firman-Nya ‘azza wa jalla: “Tidak sama penghuni-penghuni neraka dengan penghuni-penghuni surga.” (Al Hasyr: 20)
    Sedangkan kata kerja yang terdapat dalam konteks penafian adalah mengandung nakirah, sehingga ia sama kuatnya dengan lastiwaa-a (tidak ada kesamaan), maka ia mencakup setiap urusan, kecuali apa yang dikhususkan syari’at Alloh tabaaraka wa ta’aalaa61 bukan syari’at (aturan) thaghut.
    Alloh subhaanahu wa ta’aalaa menetapkan bahwa: (mereka tidak sama), sedangkan mereka mengklaim berbuat baik dan lurus serta penerapan sebagian hukum-hukum syari’at, namun Dustur mereka mengendalikan itu semua lagi menjadi hakim atasnya, dan ia itu menegaskan dengan begitu lugas: (justeru mereka itu sama)...!!!
    Ini tidak lain hanyalah secuil dari kebatilan mereka yang banyak lagi panjang kami menuturkannya di sini sebagai contoh dan penjelasan, dan bila engkau ingin tambahan maka silahkan rujuk kitab kami (Kasyfun Niqab ‘An Syari’atil Ghab) dengan kedua nuskhah-nya: tentang Kuwait atau Yordania yang lebih ringkas.
    Dan bukti dari ini semuanya adalah engkau mengetahui bahwa pemutus yang sebenarnya bagi mereka adalah al qanun (undang-undang) dan suatu yang dengannya mereka mentertawakan orang-orang (dan ia tersamar atas banyak orang-orang yang lemah akalnya seperti Al Halabiy) yaitu berupa pemberlakuan sebagian hukum-hukum syari’at, ia pada hakikatnya adalah hukum qanun dan dustur mereka –bukan hukum Alloh– !!
    Dan dari sini maka ucapan orang yang berkata: “Dan suatu yang kita ada di dalamnya pada hari ini; adalah penjauhan terhadap hukum-hukum Alloh secara keseluruhan dan pengedepanan hukum-hukum selain hukum Alloh dalam Kitab-Nya dan Sunnah Nabi-Nya serta ta’thil (penanggalan) akan semua apa yang ada dalam syari’at Alloh...” Selesai... bukanlah (ucapan yang bersifat sekedar semangat lagi emosional)...!!! Sebagaimana yang diklaim Al Halabiy dalam catatan kaki tempat ini hal 27 sembari menyindir Al ‘Allamah As Salafiy Ahmad Syakir Rahimahulloh tanpa menyebutkan namanya, karena termasuk yang ma’lum bahwa ucapan ini adalah ucapannya dan ucapan saudaranya di catatan kaki Tafsir Ath Thabariy dan ‘Umdatuttafsir; jadi ia bukanlah ucapan “yang bersifat sekedar semangat lagi emosional yang jauh dari realita” sebagaimana yang diklaim Al Halabiy, bahkan justeru ia selaras dengan realita menurut orang yang mengetahui realita ini.
    Adapun orang yang mengubur kepalanya di dalam pasir atau Alloh telah mengunci mati hatinya karena penguasaan hawa nafsu terhadapnya, maka bukanlah hal yang aneh atau asing bila dia buta darinya atau (realita itu) samar atasnya.
    Maka bukan hal yang dianggap asing bila al haq terkabur dengan al bathil di hadapan orang yang buta mata hatinya, sebagaimana bukan hal yang asing bila malam tersamar dengan siang di hadapan orang yang buta mata penglihatannya...!!!
    Adapun ucapan Al Halabiy setelah itu langsung hal 27: “Maka selayaknya di atas panduan hal itu menghukum; terhadap matrukat (hal-hal wajib yang ditinggalkan) sesuai kaidah meninggalkan yang bersifat keyakinan yang dibangun di atas juhud dan inkar atau takdzib atau istihlal bukan sekedar meninggalkan, dan kalau tidak (seperti itu) maka ini adalah ucapan Khawarij sebenarnya”. Selesai.
    Maka telah lalu bantahan terhadap ungkapan semacam ini bersama ucapan-ucapan yang serupa dengannya dalam tempat yang ke dua dan yang lainnya.
    Dan engkau mengetahui di sini kebatilan ungkapan-ungkapan semacam ini yang dilontarkan Ahluttajahhum Wal Irja, dan bahwa di antara al matrukat (hal-hal wajib yang ditinggalkan) ada yang memang seperti itu dan di antaranya juga ada yang merupakan kekafiran dengan sendirinya, tanpa ada kaitannya dengan takdzib, i’tiqad dan istihlal... dan di antara hal itu adalah meninggalkan tauhid dan meninggalkan kufur terhadap thaghut...
    Di antara hal itu adalah kufur tawalliy (keberpalingan) yaitu meninggalkan ketaatan secara total, Alloh ta’ala berfirman: “Katakanlah: Ta’atilah Alloh dan Rasul-Nya; jika kamu berpaling, maka sesungguhnya Alloh tidak menyukai orang-orang kafir.” (Ali ‘Imran: 32).
    Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah berkata: “Maka diketahui bahwa tawalliy bukanlah takdzib, akan tetapi ia adalah berpaling dari ketaatan. Karena sesungguhnya manusia (wajib) atas mereka untuk membenarkan Rasul dalam apa yang beliau kabarkan, dan mentaatinya dalam apa yang beliau perintahkan, sedangkan lawan dari pembenaran (tashdiq) adalah takdzib (pendustaan), dan lawan taat adalah berpaling, oleh sebab itu Alloh ta’aalaa berfirman: “Dan dia itu tidak membenarkan (Rasul dan Al Qur’an) dan tidak mau mengerjakan shalat, tetapi ia mendustakan (Rasul) dan berpaling.” (Al Qiyamah: 31-32), dan Alloh ta’aalaa berfirman: “Dan mereka berkata: “Kami telah beriman kepada Alloh dan Rasul, dan kami mentaati (keduanya).” Kemudian sebagian dari mereka berpaling sesudah itu, sekali-kali mereka itu bukanlah orang-orang yang beriman.” (An Nur: 47). Alloh menafikan al iman dari orang yang berpaling dari amal meskipun dia sudah mendatangkan ucapan...” selesai, Majmu Al Fatawa 7/142, dan dalam Kitab Al Iman hal: 136-137.
    Dan Hanbal berkata: “Telah mengabarkan kami Al Humaidiy: Dan saya diberitahu bahwa orang-orang berkata: Siapa yang mengakui shalat, zakat, shaum dan haji dan dia tidak melakukan sesuatupun dari hal itu sampai mati dan ia shalat seraya membelakangi kiblat sampai ia mati maka dia mu’min selama tidak juhud (mengingkari), bila dia mengetahui bahwa dia meninggalkan hal itu di dalamnya terdapat keimanannya bila dia mengakui terhadap faraidl dan penghadapan kiblat”, maka saya berkata: Inilah kekafiran yang jelas..." dari Majmu Al Fatawa 7/209.
    Dan Hanbal dalam tempat yang sama menukil juga dari Al Imam Ahmad ucapannya: “Siapa yang mengatakan ini maka ia telah kafir kepada Alloh...” Selesai.
    Dan juga darinya kufur i’radl (pasif) yang telah disebutkan para ulama dan mereka mendefinisikannya, yaitu dia berpaling dengan pendengarannya dan hatinya dari Rasul shalallaahu ‘alaihi wa sallam, dia tidak membenarkannya dan tidak mendustakannya, tidak loyal kepadanya dan tidak memusuhinya. Dalam hal itu silahkan lihat sebagai contoh Madarijus Salikin (1/338) dan yang lainnya.
    Syaikhul Islam berkata: “Dan kekafiran itu lebih umum dari takdzib (pendustaan), setiap orang yang mendustakan Rasul adalah kafir, namun tidak setiap orang kafir dia itu mendustakan, akan tetapi orang yang mengetahui kebenaran Rasul dan mengakuinya namun dengan itu semuanya dia membencinya atau memusuhinya maka ia kafir, dan siapa berpaling di mana ia tidak meyakini kebenarannya dan kebohongannya maka ia kafir sedangkan dia itu bukan orang yang mendustakan”62 Selesai.
    Beliau juga berkata dalam Majmu Al Fatawa 7/292: “Dan kekafiran itu tidak khusus dengan takdzib, akan tetapi andai orang berkata: Saya mengetahui bahwa engkau benar tetapi saya tidak mengikutimu namun saya memusuhimu, membencimu, menyelisihimu dan tidak menyetujuimu”, maka tentulah kekafirannya lebih besar. Tatkala kekafiran yang menjadi lawan iman itu bukan takdzib saja; maka ketahuilah bahwa iman itu bukan tashdiq saja. Tetapi bila kekafiran itu ada yang berbentuk takdzib dan ada juga berbentuk penyelisihan, permusuhan dan penolakan tanpa takdzib, maka iman pula mesti bisa berbentuk tashdiq disertai penyetujuan, loyalitas dan ketundukan dan tidaklah cukup sekedar tashdiq”. Selesai.
    Dan Al Halabiy telah menukil dalam muqaddimahnya hal 14 dari Syaikh Muhammad Ibnu Abdil Wahhab ucapannya: “Dan kami tidak mengkafirkan kecuali dengan sebab apa yang telah diijmakan ulama atasnya, yaitu dua kalimah syahadat” Selesai.
    Dan apakah orang yang meninggalkan tauhid meskipun tidak mengingkarinya dan ia memusuhinya melainkan seperti itu...?! Dan seperti dia orang yang berpaling dari kufur terhadap thaghut dan Syaikh Muhammad Ibnu Abdil Wahhab berkata dalam pembatal-pembatal KeIslaman yang beliau tuturkan:
    Pembatal ke sepuluh: “Berpaling dari dienullah, tidak mempelajarinya dan tidak mengamalkannya, dan dalilnya firman Alloh ta’aalaa :“Dan siapakah yang lebih zhalim daripada orang yang telah diperingatkan dengan ayat-ayat Tuhannya, kemudian ia berpaling daripadanya? Sesungguhnya Kami akan memberikan pembelaan kepada orang-orang yang berdosa.” (As Sajdah : 22)”. Selesai.
    Sedangkan realita para thaghut masa kini yang syirik pada hari ini adalah lebih dahsyat dari berpaling dan sekedar meninggalkan tauhid dan dien, bahkan ia adalah perang yang terang-terangan lagi nampak terhadap tauhid dan dien atas semua kawasan. Dan siapa yang tidak mengetahui hal ini, maka hendaklah dia menangisi umurnya dalam hal apa dia menghabiskannya. Dan saya tidak pernah melihat dalam ucapan-ucapan Ahlus Sunnah63 orang yang mensyaratkan istihlal atau juhud untuk takfier dengan sebab syirik akbar, baik itu tasyri’ (pembuatan hukum) atau yang lainnya, atau menyebutkan (juhud atau istihlal) itu dalam rangka penambahan dalam kekafiran bukan sebagai batasan dan syarat dalam takfier. Dan telah kami rinci masalah ini di hadapan anda dalam uraian yang lalu sehingga tidak perlu untuk diulangi.
    Akan tetapi hal yang baru di sini adalah ucapan Al Halabi: “dan kalau tidak (seperti itu) maka ini adalah ucapan Khawarij sebenarnya” Selesai.
    Itu adalah salah satu dari keserampangan dia yang banyak...!!! Terutama bila engkau mengetahui bahwa jumhur sahabat64 dan segolongan dari ulama yang terpercaya di antara tokohnya Al Imam Ahmad mengkafirkan orang yang meninggalkan shalat walau malas sedangkan malas itu adalah sekedar meninggalkan.
    Maka apakah mereka itu Khawarij menurutmu hai Halabiy...???!!!
    Dan begitu juga halnya dengan rukun-rukun Islam yang lainnya (al mabaniy) sebagaimana yang dinamakan oleh Syaikhul Islam, di antara salaf ada yang mengkafirkan dengan sebab sekedar meninggalkan.
    Syaikhul Islam telah menuturkan pendapat-pendapat mereka seputar hal ini dalam banyak tempat dari fatwanya, di mana beliau berkata: “Dan dari Ahmad dalam hal itu ada pertentangan, dan salah satu riwayat darinya (beliau) mengkafirkan dengan sebab meninggalkan salah satu darinya – yaitu al mabani– dan ia adalah pilihan Abu Bakar, dan sekelompok dari pengikut Malik seperti Ibnu Hubaib. Dan dari beliau ada riwayat ke dua: Tidak mengkafirkan kecuali dengan meninggalkan shalat dan zakat saja dan riwayat ke tiga: Tidak mengkafirkan kecuali dengan meninggalkan shalat dan zakat bila dia memerangi imam atasnya. Dan riwayat ke empat: Tidak mengkafirkan kecuali dengan meninggalkan shalat. Dan ke lima: Tidak mengkafirkan dengan sebab meninggalkan sesuatu darinya. Dan ini adalah pendapat-pendapat yang ma’ruf di kalangan salaf” Selesai. (Majmu Al Fatawa 7/302)
    Dan berkata: “Dan begitu juga darinya ada riwayat bahwa (beliau) mengkafirkan dengan sebab meninggalkan shaum dan haji serta ber-‘azam untuk tidak melaksanakan haji selamanya”. Selesai. (Majmu Al Fatawa 7/259)
    Beliau menukil dari Al Hakam Ibnu ‘Utbah ucapannya: “Siapa yang meninggalkan secara sengaja shalat maka ia telah kafir, dan siapa yang meninggalkan zakat secara sengaja maka dia telah kafir, dan siapa yang meninggalkan haji secara sengaja maka dia telah kafir, dan siapa yang meninggalkan shaum secara sengaja maka dia telah kafir”.
    Dari Sa’id Ibnu Jubair: “Siapa yang meninggalkan shalat secara sengaja, maka dia telah kafir kepada Alloh, dan siapa yang meninggalkan zakat secara sengaja maka dia telah kafir kepada Alloh, dan siapa yang meninggalkan shaum Ramadlan maka dia telah kafir kepada Alloh”. Selesai. (Majmu Al Fatawa 7/302)
    Maka apakah mereka itu Khawarij menurutmu hai Atsariy...???!!!
    Dan perhatikan ucapannya : “Dan ini adalah pendapat-pendapat yang ma’ruf di kalangan salaf”.
    Maka apakah mereka itu Khawarij menurutmu hai Salafiy…??!!
    Dan menukil dari Muhammad Ibnu Nashr Al Marwaziy: “Siapa yang zhahirnya amalan-amalan Islam, namun tidak kembali kepada ikatan-ikatan al iman bil ghaib, maka dia itu munafiq dengan nifaq yang mengeluarkan dari al millah, dan siapa yang ikatannya adalah al iman bil ghaib, namun dia tidak mengamalkan ahkamul iman dan ajaran-ajaran al Islam, maka dia itu kafir yang tidak bisa tetap ada tauhid bersamanya”. Selesai. (Majmu Al Fatawa 7/333)
    (Beliau juga) menukil juga ucapan Ishaq Ibnu Rahawaih: “Siapa meninggalkan shalat secara sengaja sampai habis waktu zhuhur ke maghrib sampai pertengahan malam, maka sesungguhnya dia itu kafir kepada Alloh Yang Maha Agung, dia diberi kesempatan untuk taubat tiga hari, kemudian bila tidak mau kembali dan malah berkata: (meninggalkannya bukanlah kekafiran) maka dipenggal lehernya –yaitu orang yang meninggalkannya–... dan adapun bila dia shalat dan mengatakan itu, maka ini masalah ijtihad”69 Selesai.
    Syaikh Abdullathif Ibnu Abdirrahman Ibnu Hasan Alu Asy-Syaikh: “Ashlul Islam (inti ajaran Islam) dan mabani (bangunan-bangunan)nya memiliki kedudukan yang tidak dimiliki yang selainnya berupa sunnah-sunnah, oleh sebab itu orang yang mengingkarinya dikafirkan dan diperangi atasnya... bahkan orang yang meninggalkannya dikafirkan menurut jumhur salaf dengan sekedar meninggalkan”70 Selesai.
    Saya tidak ingin terlalu panjang lebar, karena para ulama yang menegaskan atas hal itu adalah banyak.
    Namun demikian kami belum pernah mendengar seorangpun dari Ahlussunnah dari kalangan yang menyelisihi mereka dalam suatu dari hal ini...!!! Bahwa ia mencap mereka sebagai Khawarij karenanya, sebagaimana ia cara Ahlut Tajahhum Wal Irja, kaum Khawalif, dalam terror pemikiran yang mereka lakoni untuk menakut-nakuti dengannya anak murid mereka dan para muqallidin dari kalangan orang-orang yang lemah akalnya yang mengikuti mereka di atas kebatilannya.
    Adapun para penuntut ilmu yang mengkaji ucapan-ucapan ulama salaf, maka mereka tidak menghiraukan kecaman-kecaman dan tuduhan-tuduhan semacam ini, dan tuntunan mereka dalam hal ini adalah ucapan Nabi shalallaahu ‘alaihi wa sallam tentang sifat Ath Thaifah Al Manshurah Al Qaaimah Bidienillah: “Tidak mengganggu mereka orang yang menyelisihi mereka dan orang yang menggembosi mereka”.
    Bagaimanapun keadaannya... maka ini adalah thariqah ahlul bid’ah dari kalangan Jahmiyyah dan yang lainnya terhadap Ahlussunnah, di mana mereka tidak henti-hentinya menuduh Ahlussunnah dengan label Mujassimah, Hasyawiyyah, Nawashib dan Khawarij...!!!
    Tuduhan terakhir yang sering71 digunakan Al Halabiy adalah tuduhan yang sering dialamatkan kepada ulama Ahlussunnah dan para imam mereka yang terjun secara khusus langsung di antara mereka :
    Seperti Al Imam Ahmad, Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah, Syaikh Muhammad Ibnu Abdil Wahhab dan yang lainnya Rahimahulloh ajma’iin.72
    Dan itu tidak lain karena sebab mereka mengajak kepada al haq dan penghadangan mereka di hadapan gerak ahlul bid’ah juga takfier mereka terhadap orang yang telah dikafirkan Alloh dan Rasul-Nya seta tidak bersikap lembut atau basa-basi terhadap Ahlut Tajahhum Wal Irja.
    Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah menukil dalam Ar Risalah At Tis’iniyyah; dari Al Khallal dalam Kitabus Sunnah, berkata: [Abu Abdullah (yaitu Imam Ahlis Sunnah Ahmad Ibnu Hanbal) berkata: “Sampai berita kepada saya bahwa Abu Khalid dan Musa Ibnu Manshur serta yang lainnya duduk di sisi itu, terus mereka mencela pendapat kami, dan mereka mengklaim bahwa pendapat ini: Sesungguhnya tidak dikatakan makhluq dan bukan makhluq (yaitu Al Qur’an); dan mereka mencela orang yang mengkafirkan dan mereka berkata : “Sesungguhnya kita mengatakan dengan pendapat Khawarij””. Kemudian Abu Abdillah tersenyum seperti orang yang dongkol, kemudian berkata: “Mereka itu adalah kaum yang suu’ (buruk)”.] (Majmu Al Fatawa 5/132 cetakan Darul Kutub Al ‘Ilmiyyah)
    Ya demi Alloh, mereka itu sungguh adalah orang-orang yang buruk...!!!
    Perhatikanlah...!!! Bagaimana Alloh menjadikan bagi setiap kaum itu para pewaris, sebagaimana Ahlus Sunnah itu memiliki para pewaris yang mengikuti jejak langkah mereka, dan mereka menegakkan perintah Alloh, mereka menampakkannya dan tidak peduli dengan orang-orang yang mendiskriditkan mereka dan orang-orang yang memojokkannya.
    Maka begitu juga ahlul bid’ah memiliki para pewaris...!!! Yang mengambil ucapan-ucapan mereka dan mewarisi syubhat-syubhat mereka darinya dan mengikuti jejak langkah mereka...!!! Dalam menyindir dan mencela Ahlus Sunnah dan mengada-ada atas nama mereka.
    Dan Al Atsariy ini telah rela memilih (jejak langkah) mereka...!!! Dia dan orang yang sejalan dengan dia dari kalangan Ahluttajahhum Wal Irja bergegas di atas jejak mereka...!!!
    Jadikanlah bagi hatimu dua kelopak mata yang keduanya
    Menangis karena takut kepada Ar Rahman
    Andai Tuhanmu berkehendak tentu kamu sama seperti mereka juga
    Karena hati ini ada di antara jemari Ar Rahman

    Celaan Al Halabiy Terhadap Ahlul Islam
    Dan
    Pembiarannya Bahkan Pembelaannya Terhadap Para
    Penyembah Berhala

    (10). Dan sebagai penguat terhadap (realita) Manhaj Al Halabiy ini dalam mutaba’ah dia terhadap ahlul bida’ dalam sikap celaannya terhadap Ahlus Sunnah, sindirannya, gunjingannya dan pencapannya sebagai Khawarij, maka kami hadirkan kepada anda contoh-contoh dari gunjingan Al Halabiy terhadap sekelompok dari mereka dari kalangan yang menulis tentang tauhid dan bara’ah dari para thaghut secara khusus.
    Dia berkata di hal 32: “Dan adapun yang berguguran di atasnya sufahaaul ahlam (orang-orang yang bodoh pemikirannya) hudatsaaul asnaan (orang-orang yang dangkal ilmunya)...” dan ia berkata sebagai komentar atas hal ini di catatan kaki: “Ini adalah cap Nabi shalallaahu ‘alaihi wa sallam terhadap Khawarij...”!!
    Kemudian dia berkata di halaman yang sama: “Adapun orang-orang yang menyimpang lagi menyelisihi maka mereka beraneka ragam: Yang paling pertama dari mereka adalah si buta yang mengira dirinya itu (bashir/melihat) akan kebenaran” Selesai.
    Dan dia memaksudkan dengan itu Ad Da’iyah Al Fadlil Abu Bashir Mun’im Mushthafa Halimah... hafidhahullahu ta’aalaa yang diusir dari negeri ini karena sebab dakwahnya dan tulisan-tulisannya yang di dalamnya beliau menelanjangi thaghut dan membantah syubhat-syubhat para pembelanya.
    Dan Al Halabiy telah menyerangnya juga di catatan kaki hal 10, dia berkata: “Dan di antara orang-orang yang muta’akhkhirin dari sisi zaman dan keadaan adalah si pengecam yang keras kepala dan penyelisih model baru yang lancang terhadap ulama-ulama umat ini74 dan berpakaian dengan pakaian mereka, dia mengira bahwa dirinya (bashir/melihat) padahal dia itu buta...!!! Dan dia menduga dirinya (halimah/penyantun) padahal dia itu pemarah lagi pembenci...!!! Dan seandainya engkau menelusuri kebodohan-kebodohannya tentulah ia datang dengan berlipat-lipat tulisan-tulisannya yang batil lagi berulang-ulang, yang ditempatkan bukan pada tempat-tempatnya dan terputus dari asal konteksnya” Selesai.
    Saya berkata: Telah nampak di hadapan anda dalam uraian yang lalu bahwa Al Halabiy termasuk orang yang lebih utama dengan sifat-sifat ini, terutama setelah engkau mengetahui ‘amanah ilmiyyahnya’!! Yang sangat keji dalam pemotongan teks-teks (ucapan ulama) dan penempatannya bukan pada tempatnya!!
    Adapun kalimat-kalimat ini yang lebih serupa dengan sajak para dukun, maka semuanya di luar dari asal perselisihan dan diskusi... seperti buta, pemarah dan pembenci serta yang lainnya yang akan datang. Dan hanyalah memperbanyak darinya orang yang bangkrut dari melawan hujjah dengan hujjah dan dalil dengan dalil, sedangkan di sini dia tidak menuturkan kepada para pembacanya suatu contoh yang membenarkan tuduhan-tuduhan dan klaim-klaimnya itu...!!!
    Dan klaim-klaim bila mereka tidak mendatangkan terhadapnya
    bukti-bukti maka para pelontarnya hanyalah ad’iyaa
    Kemudian berkata hal 33: “Dan yang ke dua: Itulah orang yang binasa yang mengira bahwa dia itu (‘isham/orang yang berpegang) pada al haq” Selesai.
    Saya berkata: Tidak ada komentar saya terhadap hal ini, seandainya ia adalah kritik ilmiyyah tentulah saya membantahnya dan memberikan komentar. Dan tidak layak bagi orang yang telah mengukuhkan dirinya untuk membela tauhid dan marah karena syari’at menyibukkan diri dengan pembelaan diri sendiri dan marah karenanya, akan tetapi saya ingatkan Al Halabiy saja dengan apa yang dia katakan di hal 30 tentang orang-orang yang sesat yang mana mereka itu –sebagaimana yang dia nukil dari Ibnul Wazir–: “...paling ujub, penyesatan dan penilaian binasa terhadap manusia serta penganggapan rendah terhadap mereka” Selesai.
    Dan kemudian dia berkata di hal 33: “Dan yang ketiganya adalah: Itu orang yang sok tahu yang mana syaithan telah kencing di kedua telinganya seraya memberikan pengkaburan atasnya lagi menggambarkan padanya bahwa dia itu (qatadah/sandungan) di mata orang-orang yang menyelisihinya dan penyumbat di tenggorokan mereka...!!!” Selesai.
    Dan dia memaksudkan dengan ini saudara kami yang baik Syaikh Abu Qatadah Al Filisthiniy semoga Alloh ta’aalaa menjaganya.
    Perhatikanlah ucapan Al Halabiy yang ‘ilmiyyah lagi berbobot...!!! Ini, keserampangannya yang menunjukkan kedangkalan ilmunya dan kebodohan akalnya serta kekurangpengalamannya dan tidak memiliki perhitungannya terhadap hakikat ucapan-ucapan yang dia lontarkan.
    Siapa memangnya yang mengabarkan bahwa: Syaithan telah kencing di kedua telinga Syaikh……
    Bukankah ini termasuk tebakan para dukun dan para peramal...?
    Kecuali bila memang iblis termasuk di antara guru-guru dia, dan dia telah mengabarkan hal itu kepadanya atau membisikkan itu kepadanya..., namun sayangnya si guru tidak tsiqat dalam apa yang dia kabarkan.75
    Bagaimanapun keadaannya, bantahan dengan sekedar umpatan dan pembesaran opini negatif bukanlah ilmu, dan setiap orang mampu melakukannya, sedangkan pencari al haq seandainya mendebat orang-orang kafir, musyrikin, yahudi dan nashrani tentulah wajib atasnya menyebutkan dalil-dalil dan bukti-bukti yang menjelaskan al haq yang ada bersama dia dan membongkar kebatilan yang ada pada mereka, serta tidak ada artinya dan tidak ada manfaat sama sekali dia berpaling pada hinaan, atau umpatan atau pembesaran opini negatif...
    Di samping hinaan yang kosong dari bantahan ilmiyyah lagi telanjang dari perlawanan hujjah dengan hujjah, yang mana ia adalah perbendaharaan orang-orang yang pailit serta jalan para mudallisin dan mulabbisin –sebagaimana yang telah lalu–, maka sesungguhnya engkau mendapatkan Al Halabiy setelahnya berkata seraya menuduh orang lain: “Mereka memenuhi lembaran kertas dengan hujatan dan celaan, penebaran opini negatif serta pencorengan nama baik, seolah-olah mereka itu di mata diri mereka sendiri apalagi (di mata) orang-orang yang terpukau oleh mereka adalah (para pengemban tugas) atas millah ini...!!! Dan para penanggung jawab atas umat ini” Selesai.
    Oh kasihan... siapakah sebenarnya mereka itu...???!!!
    Kemudian dia berkata tanpa rasa malu di hal 35: “Bila mereka menulis maka mereka menyelewengkan, dan bila mereka berdalil maka mereka merubah dan mempelintir76, serta bila mereka berbicara maka mereka tergelincir dan ngawur...!!!” Selesai.
    Dan berkata di catatan kaki hal 76: “Maka bagaimana bila mereka menggabungkan kepada hal itu umpatan dan pencorengan nama baik, juga makian dan penilaian negatif” Selesai.
    Dia berkata pada hal 36: “Dan di antara hal yang paling aneh adalah bahwa sebagian dari orang-orang bodoh itu mengenakan pakaian dengan pakaian (salaf) dan dia intisab dengan dakwahnya dan pemikirannya kepada salafiyyah” hingga ucapannya: “sedangkan salaf dari itu semuanya –bahkan dari hal yang paling sedikit saja– berlepas diri, dan salafiyyah dari pemikiran itu dan kesesatannya adalah bersih...” Selesai.
    Kemudian dia memberikan komentar atas hal ini di catatan kaki dengan ucapannya: “Seperti itu orang yang mondar-mandir dalam kebodohannya dan terpuruk dalam pemikirannya...!!!” Selesai.
    Dan dia memaksudkan da’i yang mulia Ibrahim Al ‘As’as hafizhahullahu ta’aalaa.
    Bagaimanapun keadaannya maka Al Halabiy ini mengetahui dan setiap orang mengetahui bahwa salafiyyah itu bukanlah kantor pendataan atau perusahaan yang dibatasi dengan nama sekelompok dari manusia, akan tetapi ia adalah manhaj salaf kita yang shahih dan jalan mereka. Siapa yang berjalan di atas minhaj itu dan tidak menyimpang darinya karena terganggu dengan orang-orang yang menyelisihi, atau terpengaruh dengan opini negatif yang ditebarkan oleh para penebar isu, atau mudahanah dan cenderung kepada para pemvonis; namun ia tetap teguh di atas minhaj itu yang mana intinya, kepalanya dan poros rodanya adalah tauhid, maka itulah salafiy.
    Adapun orang yang menundukkan/menjinakkan salafiyyah ini untuk kepentingan musuh-musuh millah dan dien dari kalangan penguasa kafir, dan dia memelas di depan pintu-pintu dan gelar-gelar mereka, dia menutupi kebatilan mereka dan melegalkannya dengan syubhat-syubhat mereka yang rapuh, dan dia menjadikan tahghut yang mana Alloh memerintahkan kita untuk kafir terhadapnya sebagai imamul muslimin, amirul mu’minin dan waliyyu amril muslimin, maka ini bukan termasuk salafiyyah sama sekali bahkan salafiyyah bara’ darinya.
    Hai orang yang mengaku bergabung kepadanya secara dusta...!!!
    Kamu bukan bagian darinya dan tidak pula walau seujung kuku
    Atau sebagaimana ucapan yang lain :
    Lisanku bagi Laila sedang hati yang lain
    Dan dalam sekejap mataku mendustakan lisanku
    Salaf tidak pernah menundukkan tulisan-tulisan mereka dan buku-buku mereka untuk membela-bela para thaghut, menambal untuk mereka dan menghujat kaum muwahhidin.
    Dan salaf tidak pernah menjual fatwa-fatwa mereka di pintu-pintu para thaghut dengan harga yang sangat murah, beberapa dirham...!!!
    Dan mereka tidak pernah mempergunakan ilmu mereka untuk kepentingan musuh-musuh syari’at, tidak pernah pula membai’at mereka, atau mereka menjadi menteri, pendamping dan penasehat bagi mereka...!!!
    Dan salaf tidak pernah menghiasi kitab-kitab mereka dengan pujian terhadap thaghut dan doa bagi mereka dengan kejayaan, panjang umur dan tetap berkuasa...!!!
    Dan salaf tidak pernah suatu hari menjadikan sesuatupun selain Kitabullah dan Sunnah Rasul-Nya shalallaahu ‘alaihi wa sallam sebagai “al qaulul fashl yang terputus didepannya setiap ucapan”77. Bukan termasuk thariqah mereka sikap mengagungkan ucapan rijal (tokoh/ulama) dan menjadikannya sebagai hujjah dalam dienullah, dan bukanlah termasuk ucapan mereka: “Apa kamu mengira terhadap mereka –dalam ketinggian dien mereka– dan kehebatan keyakinan mereka... (bahwa) mereka itu menyelisihi apa yang telah mereka pondasikan dan menggugurkan apa yang telah mereka jelaskan dan mereka tetapkan?”.
    Sebagaimana yang dikatakan Al Halabiy di hal 37.
    Namun ini hanyalah ungkapan para muqallid yang bodoh terhadap syaikh-syaikh mereka...!!! Dan inilah bentuk ucapan-ucapan mereka...
    Adapun salaf maka di antara kaidah mereka yang paling masyhur adalah “Tidak ada yang ma’shum setelah Nabi shalallaahu ‘alaihi wa sallam, dan oleh karenanya maka setiap orang setelah beliau adalah diambil dan ditolak dari ucapannya”.
    Dan sungguh guru78 orang yang lancang ini lebih tajam lidahnya dari dia, tapi dia itu tidak mutakhashshish (mengkhususkan diri) –seperti keadaan si murid– dengan celaan terhadap kaum muwahhidin yang bara’ dari para thaghut, di mana gurunya mencela kaum muwahhidin dan yang lainnya.
    Adapun Al Halabiy ini, maka yang sangat aneh pada dirinya adalah dia itu tidak menghujam dengan lidahnya yang panjang ini dan dengan celaannya yang tidak berarti kecuali Ansharuddien dan Junduttauhid yang telah menadzarkan hidup mereka –sebagaimana yang kami nilai mereka dan kami tidak mensucikan seorangpun di hadapan Alloh– untuk menjihadi para thaghut, membongkar kekafiran mereka, menelanjangi qawanin mereka dan menghati-hatikan manusia dari kemusyrikan-kemusyrikan mereka.
    Oleh sebab itu, maka semua orang-orang yang dia hujat; adalah tergolong musuh-musuh para thaghut yang mana dia dan yang sejalan dengannya dari kalangan Ahlut Tajahhum Wal Irja membela-bela mereka. Silahkan telusuri berita-berita tentang mereka, maka engkau mendapatkan mereka antara yang dipenjara atau menjadi target operasi atau terusir atau diintimidasi atau dijauhkan dari tanah air dengan sebab dakwah tauhid mereka, permusuhannya terhadap para thaghut dan sikap bara’ mereka dari syirik dan tandid...!!!
    Apa alasan dia dan orang-orang yang sejalan dengannya memusuhi mereka itu...???!!!
    Kurangi atas mereka celaan, celakalah kamu
    Atau isilah tempat yang telah mereka isi
    Seandainya pencari al haq memperhatikan hujatan dan celaan dia terhadap kaum muwahhidin di dalam kitab-kitabnya dan catatan kaki-catatan kaki yang dia tulis, tentulah pencari al haq itu mendapatkannya di atas cara yang bengkok lagi pincang ini sembari penuh dengan untaian sajak para dukun dan pewarnaan ucapan, seraya kosong dari bantahan ilmiyyah terhadap tulisan-tulisan kaum muwahhidin dan hujjah-hujjah mereka.
    Sedangkan bantahan ilmiyyah adalah jalan ulama rabbaniyyin yang tujuan mereka adalah membela dien dan tauhid, oleh sebab itu Ahlus Sunnah mengudzur mereka atas sikap kerasnya bila mereka marah karena al haq tanpa keluar dari etika-etika Islam dan Akhlaq an nubuwwah.
    Adapun Al Halabiy ini maka dia tidak memiliki sesuatupun dari hal ini, namun bidla’ahnya (dagangannya) sebagaimana yang engkau lihat adalah hujatan, celaan, permainan nama-nama dan lafazh-lafazh serta pewarnaan tulisan dan tinta. Dan inilah tanda kepailitan dan kendaraan para pengecut.
    Kalau tidak seperti itu, maka kami mengajak dia dan mengajak yang lainnya dari kalangan Murji’ah modern dan Jahmiyyah masa kini kepada bantahan-bantahan yang ilmiyyah yang jelas, melawan hujjah dengan hujjah dan terjun ke kancah pertarungan (argumen) tanpa berpaling dan tanpa berputar-putar, bahkan perang tanding dengan dalil dan bukti, karena inilah jalan yang telah Alloh tentukan bagi orang-orang yang menyelisihi, dan kalau tidak mau maka mereka itu berarti kaum mulabbisun mudallisun kadzibun (para pembuat pengkaburan lagi kamuflase yang dusta). Alloh Yang Maha Agung berfirman: “Katakanlah: Datangkanlah bukti kalian bila kalian memang benar.”
    Nasihat saya kepada Al Halabiy ini dan orang-orang yang sejalan dengan dia adalah hendaklah mereka taubat kepada Alloh dari sikap perang mereka terhadap Ansharuddien, dan menghentikan diri dari sikap pembelaan terhadap orang-orang yang telah mengkhianati diri mereka sendiri dari kalangan thawaghit murtaddin, dan hendaklah mereka menghunuskan pena-pena mereka dan tulisan-tulisan mereka di sisa umur mereka dalam menghantam musuh-musuh Alloh dan dien ini. Orang-orang semacam mereka pada zaman kita sangatlah banyak, sungguh mereka telah menyia-nyiakan apa yang telah lalu dari umur dan waktu mereka dalam perang terhadap Ansharuddien dan penghalang-halangan dari tauhid dan pemeluknya yang bertauhid. Kebisaaan mereka dan keadaan mereka selamanya seperti keadaan Ahlul Bid’ah yang sifatnya ada dalam hadits: “memerangi ahlul Islam dan membiarkan ahlul autsan”.
    Dan ketahuilah bahwa al haq itu adalah banjir bandang
    Yang airnya tak bisa dihentikan manusia dan jin
    Kasihilah dirimu (jangan sampai) berupaya menghalanginya
    Agar gelombang taufan tidak menghempaskanmu
    Bila kamu terhempas seraya menghadang airnya
    Maka ia melemparkanmu ke tengah sampah zaman79
    Karena al haq adalah matahari dan kesesatan adalah kegelapan
    Sedang matahari tak akan terhalangi dengan asap
    Siapa berdiri tegak menghadang syari’at dan petunjuk
    Maka dia kekal seraya terhina di neraka yang menyala.
    Dan yang sangat aneh adalah bahwa Al Halabiy beserta orang-orang yang sejalan dengannya –di sisi lain umpatan yang kosong dari bantahan ilmiyyah dan hujatan yang telanjang dari pengutaraan hujjah terhadap anshar tauhid secara khusus yang berlepas diri dari thawaghitul kufri ini– engkau melihat dia lemah, lembut, santun lagi beretika bagus terhadap para thaghut kufur.
    Kadang dia berpesan kepada orang-orang agar tidak tergesa-gesa dalam memvonis mereka...!!! Di mana dia menukil dari syaikhnya (yang memberikan komentar) hal 3: “Di antara masalah-masalah terbesar yang menimpa para penguasa masa kini, maka wajib atas seseorang untuk tidak tergesa-gesa dalam memvonis mereka dengan suatu yang mereka tidak berhak dengannya sehingga jelas baginya al haq” Selesai.
    Perhatikanlah sikap wara’ yang dingin ini terhadap musuh-musuh Alloh... dibandingkan dengan keberanian, kelancangan dan serangannya terhadap kaum muwahhidin...!!!
    Dan kadang dia berkata hal 30: “Maka hal yang wajib atas setiap muslim adalah dia hati-hati dalam takfier sebisa mungkin”
    Dan ini adalah haq yang dimaksudkan dengannya pembelaan terhadap kebatilan para thaghut, karena kitab dia pada dasarnya tentang masalah hukum dan hukkam (penguasa).
    Andai saja dia itu hati-hati dalam ucapannya terhadap Ansharuttauhid, seperti kehati-hatian ini atau walau lebih kurang!!
    Dan kadang engkau melihat dia menukil secuil dari ucapan ulama hal 32: “Karena sesungguhnya syaitan kadang menghiasi bagi orang yang mengikuti hawa nafsunya dan menuduh saudaranya!! Dengan (tuduhan telah) kafir dan keluar dari Islam, bahwa ia itu berbicara tentangnya dan menuduhnya dengan haq” Selesai.
    Perhatikanlah: “saudaranya...!!!” “Ya saudara dia sendiri”
    Dan jangan lupa bahwa pembicaraan dan kitab tentang takfier para thaghut hukum...!!!. Dan berkata hal 42: “Bila sebagian orang bersikap tafrith terhadap syari’at atau terhadap sesuatu darinya, maka apakah layak bantahan terhadap mereka itu atau menghadapinya dengan sikap ifrath (berlebihan) dalam pengingkaran terhadap mereka?!... sampai ucapannya: “sesungguhnya berhati-hati dalam mengeluarkan vonis terhadap orang-orang yang menyelisihi Al Islam, tidaklah berarti selamanya tunduk dan lemah atau pengecut... namun ia itu –pada keadaan sekarang dan kemudian– adalah beretika dengan akhlaq yang diajarkan syari’at!! Serta kewaspadaan dari tergusur pada hal yang menggugurkannya” Selesai.
    Maasyaa Alloh... laa quwwata illaa billaah...!!! Akhlaq yang luhur...!!! terhadap musuh-musuh Alloh...!!! dan ini adalah bagus...
    Namun kenapa cepat lupa –atau pura-pura lupa– terhadap akhlaq syar’i kepada Ansharusy syar’i...???!!!
    Syaikh Sulaiman Ibnu Sahman berkata dalam Diwan-nya:
    Ya andai kamu jujur kepada Alloh dalam apa yang kamu klaim
    Tentulah kamu memusuhi orang yang kafir kepada Alloh
    Dan kamu loyal kepada Ahlul Haq secara sembunyi dan terang-terangan
    Serta tentu kamu tidak hujat mereka dan kamu tidak bela kekafiran
    Tidaklah setiap orang yang telah mengucapkan apa yang kamu ucapkan itu muslim
    Namun dengan syarat-syarat yang di sana disebutkan
    Menjauhi orang-orang kafir di setiap tempat
    Dengan ini telah datang nash yang tegas lagi menjelaskan
    Mengkafirkan mereka terang-terangan dan membodohkan akal pikir mereka
    Serta menilai sesat mereka dalam apa yang mereka bawa dan tampakkan
    Kamu nyatakan tauhid di tengah-tengah mereka
    Dan kamu ajak mereka kepada hal itu serta kamu jaharkan
    Inilah dien yang hanif dan petunjuk
    Juga Millah Ibrahim andai kamu merasakan
    Ya demi Alloh!! Andai kamu merasakan!!

    Ucapan Syaikhul Islam Tentang Udzur Karena Kejahilan Dan Takfier Mu’ayyan Dan pengumuman Al Halabiy Akan Hal Itu Serta Penempatannya Terhadap Kemusyrikan Para Thaghut Yang Nyata Pada Masa Kita Sekarang Ini

    (11). Al Halabiy menukil di hal 30 dari Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah dengan penukilan yang terpotong seperti ini:
    “Tidak boleh melakukannya!! Kecuali setelah tegak atas orang di antara mereka hujjah risaliyyah yang dengannya jelas bahwa mereka itu menyelisihi para rasul, meskipun ucapan-ucapan mereka itu tidak ragu adalah kekafiran”80.
    Begitu juga ucapannya: “Orang yang telah tetap keIslamannya81 dengan yaqin tidak lenyap hal itu darinya dengan keraguan, namun ia tidak lenyap kecuali setelah penegakkan hujjah dan penghilangan syubhat”82.
    Dan ucapannya: “Maka tidak seorangpun boleh mengkafirkan seorang dari kaum muslimin meskipun ia salah dan keliru sehingga ditegakkan atasnya hujjah dan dijelaskan kepadanya mahajjah (dalil)”83.
    Begitulah seluruhnya dia menukilnya dari fatawa Syaikh secara terpenggal lagi terpotong seperti ini.
    Dan itulah perbuatan yang sebelumnya dia menuduh orang-orang lain dengannya...!!!, di mana dia berkata di hal 76 di catatan kaki: “Sesungguhnya metode pembenturan nushush dan pemenggalannya!! Serta pengklaiman dengannya suatu yang tidak ada di dalamnya: adalah metode ahlul bida’ dan para pengikut hawa nafsu” Selesai.
    Padahal sudah ma’lum bahwa perseteruan kita ini hanyalah tentang hukum para thaghut pembuat hukum...!!!
    Kitab Al Halabiy disusun dan ditulis pada dasarnya untuk para penguasa masa kini...!!! Sebagaimana yang dia katakan di awal halaman darinya: “Amma Ba’du, ini adalah risalah yang singkat lagi ringkas tentang masalah al hukmu bighairi man anzalAlloh –sampai ucapannya– dan ia itu termasuk masalah-masalah terbesar yang menimpa para penguasa masa kini” Selesai.
    Penuturan kutipan-kutipan yang terpotong dalam tempat perselisihan ini memberikan image kepada para pengekor bahwa Syaikhul Islam tidak memandang takfier dalam masalah-masalah ini, kecuali setelah penegakkan hujjah.
    Sedangkan ini adalah menyelisihi al haq dan kebenaran... Sungguh engkau telah mengetahui dalam uraian yang lalu ucapan Syaikhul Islam tentang tasyri’ dan iltizam (komitmen) dengan selain hukum-hukum Alloh ta’aalaa.
    Dan setiap orang yang membaca tulisan Syaikhul Islam dalam bab ini mengetahui bahwa beliau membedakan dalam hal al ’udzru bil jahli dan iqamatul hujjah antara masalah-masalah yang jelas lagi terang yang diketahui dari dien ini secara pasti sebagaimana halnya dalam inti tauhid yang mana semua rasul diutus dalam rangka menetapkannya dan menggugurkan apa yang menjadi lawannya berupa syirik dan tandid, serta tegak di dalamnya hujjah-hujjah yang beraneka ragam, baik kauniyyah, fithriyyah (fithrah) dan risaliyyah; dengan masalah-masalah yang samar yang membutuhkan penjelasan atau (masalah-masalah) yang tidak diketahui, kecuali lewat hujjah risaliyyah, maka inilah masalah-masalah yang tidak dikafirkan dengannya kecuali setelah penegakkan hujjah.
    Beliau rahimahullah berkata: “Dan ini bila dalam maqalat khafiyyah (masalah-masalah yang samar) bisa saja dikatakan: Sesungguhnya dia itu orang yang keliru lagi sesat yang belum tegak atasnya hujjah yang mana pelakunya dikafirkan.
    Akan tetapi itu terjadi pada banyak golongan dari mereka dalam hal-hal yang nampak yang mana kalangan umum dan khusus dari muslimin mengetahui bahwa itu bagian dari dienul muslimin, bahkan kaum Yahudi dan Nashara mengetahui bahwa Muhamamd shalallaahu ‘alaihi wa sallam diutus dengannya dan mengkafirkan orang yang menyelisihinya, seperti perintahnya agar ibadah kepada Alloh saja tidak ada sekutu bagi-Nya dan larangannya dari ibadah kepada sesuatu selain Alloh, berupa malaikat, para nabi, matahari, bulan, bintang, patung dan yang lainnya. Sesungguhnya ini adalah ajaran Islam yang paling nampak, dan seperti perintahnya untuk shalat yang lima waktu, pewajibannya dan pengagungan akan kedudukannya, dan seperti permusuhannya terhadap Yahudi, Nashara, musyrikin, Shabi’in dan Majusi, serta seperti pengharaman perbuatan-perbuatan keji, riba, khamr, judi dan yang serupa itu”. Selesai. Majmu Al Fatawa Juz 4.
    Dan rincian ini sangat terkanal dari beliau, namun Al Halabiy melipatnya dengan amanahnya ilmiahnya...!!! dan berpaling darinya.
    Dan andai pencari al haq mau sedikit berupaya, terus dia merujuk tempat-tempat yang dikutip oleh Al Halabiy ini dari fatawa Syaikhul Islam –sedangkan seluruhnya di satu tempat– tentu jelaslah baginya contoh baru dari tadlisat dan talbisat orang ini...!!!
    Masalahnya terbongkar lagi jelas pemotongannya; sangat nampak dalam nukilan pertamanya yang dipenggal, yaitu ucapannya: “tidak boleh melakukannya...!!! Kecuali setelah tegak...”
    Apa suatu yang tidak boleh berani melakukannya ini? Macam apa dari macam-macam takfier? Dan dalam bab apa dari bab-bab dien ini? Kenapa kamu tidak menjelaskannya hai Halabiy...???!!! Atau sesungguhnya itu adalah peremehan terhadap akal para pembaca... ???!!!
    Apa kamu mengira hai Halabiy bahwa semua pembaca itu dari kalangan yang manut saja...???!!! Dan bahwa mereka semuanya bisa percaya dengan nukilan-nukilan serta kutipan-kutipan kamu!!! Terus mereka menelannya mentah-mentah tanpa merujuk kepada ushul!!! Sebagaimana yang dilakukan para muqallid dari kalangan anak ingusan yang mengikuti kamu seperti orang-orang buta! Dan talbis-talbis kamu bisa tersamar atas mereka...
    Kenapa kamu tidak menyebutkan ucapan Syaikhul Islam langsung sebelum ini: “Dan bila hal ini telah diketahui maka takfier mu’ayyan dari kalangan orang-orang bodoh itu dan yang serupa dengan mereka –di mana divonis bahwa ia tergolong orang-orang kafir– tidak boleh melakukannya...!!!”
    Karena nampak bahwa ucapan Syaikhul Islam yang dipenggal oleh dia adalah tentang al ‘udzru bil jahli berkenaan (orang-orang jahil tertentu)?! Dan karena ucapan beliau “...dan bila hal ini telah diketahui” menunjukkan bahwa ucapan yang dipenggal ini berkaitan dengan ucapan sebelumnya, sedangkan –kamu– telah berpaling darinya dan pura-pura buta... serta kamu mengambil ujungnya saja untuk memberikan image bahwa Syaikhul Islam memegang pendapat al ‘udzru bil jahli secara muthlaq dalam setiap bab-bab takfier... termasuk bab yang kami berseteru dengan kamu di dalamnya (syirik yang terang) atau (pembuatan hukum/UU/UUD) dan (tahakum kepada thaghut).
    Dan agar pencari al haq mengetahui maksud Syaikhul Islam dari ungkapan-ungkapan yang dipengggal oleh Al Halabiy itu, maka ia mesti kembali untuk membaca beberapa halaman sebelumnya yang menjelaskan dan menerangkan ucapannya: “dan bila hal ini telah diketahui...” serta menjabarkan maksud beliau dari ungkapan-ungkapan yang dengannya beliau mengakhiri halaman-halaman itu semuanya...!!!
    Dan di sini saya akan menuturkan kepada engkau intisarinya... dan sebenarnya tidak susah atas engkau untuk merujuk kepadanya di tempatnya agar mengetahui pengetahuan tambahan tentang amanah ilmiyyah Al Halabiy...!!!
    Pertama-tama ketahuilah bahwa Syaikhul Islam di halaman-halaman itu sama sekali tidak menyinggung masalah al hukmu bighairi ma anzalAlloh dengan suatu macampun dari macam-macamnya, dan terutama realita syirik pembuatan hukum/UU/UUD pada hari ini yang mana kami berseteru dengan Ahlut Tajahhum Wal Irja di dalamnya!! Namun pembicaraan beliau ini hanyalah tentang ahlul bida’ dari kalangan orang-orang fasiq dan jahil millah ini yang masih memiliki inti al iman dan tauhid, namun mereka keliru dalam sebagian masalah-masalah ‘ilmiyyah, baik itu di bab al asma wash shifat seperti qadariyyah yang mengakui ilmu (Alloh), jahmiyyah, dan lain-lain, atau dalam bab nama-nama al kufri wal iman –sebagaimana ia pada Murji-ah dan Khawarij– atau dalam tafdlil (pengedepanan keutamaan) sebagian sahabat atau sebagian yang lain sebagaimana pada Syi’ah Mufadldlalah, atau hal serupa itu.
    Dalam hal 485 engkau mendapatkan beliau berbicara tentang sikap Al Imam Ahmad dan yang lainnya dari kalangan aimmah as sunnah tidak mengkafirkan Murji-ah, karena ucapan mereka itu kembali (pada) perselisihan di dalamnya pada perselisihan dalam hal alfazh dan asma (kata dan nama), sehingga pembahasan di dalam masalah-masalah ini dinamakan (bab al asma), dan ia itu termasuk perselisihan para fuqaha, namun berkaitan dengan Ashluddien, maka orang yang menyelisihi di dalamnya dinilai sebagai ahli bid’ah.
    Dan engkau mendapatkannya setelah itu hal 486 berbicara tentang Syi’ah Mufadldlalah yang mengedepankan Ali terhadap Abu Bakar, dan bahwa mereka itu dibid’ahkan dan tidak dikafirkan.
    Dan begitu juga Qadariyyah yang mengakui ilmu (Alloh), juga Rafidlah yang tidak ekstrim, dan juga Khawarij.
    Kemudian beliau berbicara hal 487 sampai hal 489 seputar jahmiyyah, dan bahwa mereka itu walaupun ucapan-ucapannya adalah kekafiran akan tetapi para ulama telah berselisih dalam hal takfier individu-individu mereka dan vonis kekal mereka di neraka, serta bahwa Ahmad tidak mengkafirkan orang yang mengatakan pendapat seperti itu. Dan akan datang rincian itu insya Alloh.
    Kemudian menuturkan di hal 490 hadits tentang orang yang berwasiat kepada keluarganya bila dia mati agar mereka membakarnya, sedangkan ini adalah dalam bab al asmaa wa ash shifat, dan beliau berkata sesudahnya di hal 491: “Orang ini sungguh telah terjadi padanya keraguan dan kejahilan akan kemampuan (qudrah) Alloh ta’aalaa untuk mengembalikan (penciptaan) anak Adam setelah dia dibakar dan ditaburkan dan (qudrah-Nya) untuk mengembalikan mayit dan mengumpulkannya bila dia telah diperlakukan seperti itu” Selesai.84
    Kemudian menuturkan hal 492-493 kekeliruan dalam masalah-masalah ‘ilmiyyah semacam ini, dan kesepakatan mereka (ulama) untuk tidak takfier dalam hal seperti itu, yaitu tanpa penegakkan hujjah, dan di antara itu ucapannya: “Seperti pengingkaran sebagian sahabat terhadap keberadaan mi’raj dalam keadaan sadar, dan sebagian mereka mengingkari keberadaan Muhammad shalallaahu ‘alaihi wa sallam melihat Tuhannya. Dan bagi sebagian mereka ada ucapan yang ma’ruf dalam hal Khilafah dan tafdlil (pengedepanan sebagian sahabat terhadap yang lain, dan begitu juga sebagian mereka memerangi sebagian yang lain, pelaknatan sebagian dan pelontaran takfier sebagian adalah pendapat-pendapat yang ma’ruf. Dan sebagaimana Al Qadliy Syuraih mengingkari qira’at orang yang membaca (bal ‘ajibtu) dan ia berkata: “Sesungguhnya Alloh tidak heran”... Ini telah mengingkari qira’ah yang tsabitah (shahihah) dan mengingkari satu shifat yang ditunjukkan oleh Al Kitab dan As-Sunnah, padahal umat telah sepakat bahwa beliau adalah salah satu imam dari banyak imam, dan begitu juga sebagian salaf mengingkari sebagian huruf Al Qur’an, dan sebagian membuang mu’awwidzatain. Dan ini adalah kekeliruan yang diketahui dengan ijma dan naql (dalil) mutawatir, namun demikian tatkala hal itu bagi mereka tidak mutawatir penukilannya, maka mereka tidak kafir, meskipun kafir dengan hal itu orang yang tegak atasnya hujjah dengan penukilan yang mutawatir” Selesai.
    Sampai beliau berkata hal 497-498: “Pembahasan ini memberikan pendahuluan bagi dua dasar yang agung: Pertama: Bahwa ilmu, iman dan petunjuk ada dalam apa yang dibawa Rasul, dan bahwa penyelisihan hal itu adalah kekafiran secara muthlaq. Penafian shifat adalah kekafiran, dan pendustaan bahwa Alloh dilihat di akhirat, atau bahwa Dia di atas ‘arasy atau bahwa Al Qur’an adalah firman-Nya atau bahwa Dia mengajak bicara Musa atau bahwa Dia menjadikan Ibrahim sebagai Khalil adalah kekafiran, dan begitu juga apa yang semakna dengan itu. Dan ini adalah makna ucapan aimmatussunnah dan Ahlul hadits” Selesai.
    Saya berkata: Maka perhatikan ini, karena sesungguhnya ia adalah intisari apa yang telah lalu pembicaraannya di dalamnya; tentu engkau mendapatkannya seluruhnya dalam bab (al asma wash shifat), sedangkan engkau telah mengetahui perbedaan yang nyata dalam hal takfier dan penegakkan hujjah antara bab ini dan hal yang semisalnya berupa masalah-masalah yang kadang samar dan butuh akan penjelasan; dengan apa yang mana perseteruan terjadi di dalamnya, berupa pengguguran tauhidul ibadah yang mana semua rasul diutus dan semua kitab diturunkan dalam rangka merealisasikannya...
    Kemudian berkata: “Dan dasar ke dua: Bahwa takfier yang umum –seperti ancaman yang umum– wajib mengatakan dengan kemuthlaqannya dan keumumannya. Adapun vonis hukum terhadap orang mu’ayyan (tertentu) bahwa dia kafir atau disaksikan baginya neraka; maka ini berpijak pada dalil tertentu, karena hukum itu berpijak di atas kepastian keberadaan syarat-syaratnya dan ketidakadaan mawani’nya” Selesai.
    Kemudian Syaikhul Islam menjelaskan sesuatu dari dua dasar ini; dan beliau menyebutkan setelah itu apa yang dipotong dan dipenggal Al Halabiy, yaitu ucapannya hal 500-501: “Dan bila hal ini telah diketahui, maka takfier mu’ayyan dari kalangan orang-orang bodoh itu dan yang serupa dengan mereka –di mana divonis bahwa ia tergolong orang-orang kafir– tidak boleh melakukannya kecuali setelah tegak atas orang di antara mereka hujjah risaliyyah...” Selesai.
    Saya ingatkan kamu dengan Alloh wahai orang yang obyektif, siapa saja kamu ini... apakah pada ucapan Syaikhul Islam yang telah lalu semuanya dan yang telah kami tuturkan kepadamu intisarinya; ada satu isyarat saja walau dari jauh!! Kepada tasyri’ mu’Alloh (pembuatan hukum di samping Alloh) atau syirik yang nyata atau tahakum kepada Yasiq Tartar atau kepada qawaninul kufri (undang-undang kafir) atau kepada thaghut-thaghut lainnya yang mana Alloh memerintahkan kita untuk kafir kepadanya dan menjauhinya... sehingga datang Al Halabiy dan mengutip akhirnya dan buahnya...!!! Sebagaimana ia nampak lagi jelas...!!! Untuk menempatkannya terhadap realita syirik para thaghut; dan dia melontarkannya begitu saja dalam kitabnya yang materinya tentang hukum dan para penguasa masa sekarang...!!! Untuk memberikan image kepada pembaca dengan hal itu bahwa Syaikhul Islam mensyaratkan penegakkan hujjah dalam takfier secara muthlaq termasuk dalam bab-bab kekafiran yang nyata, syirik yang jelas, riddah yang berlapis dengan perang yang tegas terhadap dien...!!!
    Apakah ini jalan para penuntut ilmu dalam berinteraksi dengan ucapan ulama...???!!! Perhatikanlah ini dan tadabburilah agar engkau mengetahui lebih banyak sikap amanah ilmiyyah mereka...!!! Dan agar engkau mengetahui bagaimana berinteraksi dengan nukilan-nukilan mereka dan kitab-kitabnya...!!!
    Kemudian ingatlah sekali lagi... lagi... dan lagi...!!! Ucapan Al Halabiy tentang lawan-lawannya di hal 16 dari muqaddimahnya: “Mereka membuang dari nukilan itu apa yang menjelaskannya dan menerangkannya, maka apa yang (mesti) kita katakan...???!!!”
    Dan ucapannya di hal 35: “Sesungguhnya orang-orang yang menyimpang itu (dan zhilal mereka) yang bertebaran (di sini) dan (di sana), mereka itu tidak lain adalah (asybah/bayangan bohong) dalam ilmu dan (para peniru) dalam pengetahuan, bila mereka menulis maka mereka men-tahrif!!! Dan bila mereka berdalil maka mereka merubah dan memalingkan!!” Selesai.
    Oh kasihan… Siapa mereka itu...???!!!












    Buah Irja
    Sabar Terhadap Para Thaghut
    (Yaitu: Mendiamkan Kekafiran Dan Tunduk Kepadanya)

    (12). Kemudian Al Halabiy menutup muqaddimahnya hal 43-44 dengan suatu hikayat yang di dalamnya Abul Harits Ash Shaani’ bertanya kepada Al Imam Ahmad tentang khuruj (memberontak) terhadap penguasa zaman mereka...!!!
    Sungguh Al Halabiy telah senang dengan pengingkaran Al Imam Ahmad terhadap hal itu –padahal sesungguhnya sudah ma’ruf lagi masyhur dari beliau rh tentang para penguasa di zamannya- sebagaimana Al Halabiy sangat senang dengan ucapan Al Imam Ahmad: “SubhaanAlloh... darah... darah... Saya tidak membolehkan itu dan saya tidak memerintahkannya, sabar di atas keadaan yang kita berada di dalamnya adalah lebih baik dari fitnah yang ditumpahkan darah di dalamnya! Dan harta dianggap mubah di dalamnya! Serta kehormatan dirobek di dalamnya...!!!. Selesai.
    Al Halabiy mempertebal kata-kata (darah... darah...) dan ucapan Al Imam (sabar di atas keadaan yang kita berada di dalamnya adalah lebih baik dari fitnah), dia menampilkannya dengan huruf hitam (gelap /bold), dan dia memberikan komentar di catatan kaki seraya berkata: “Ya, demi Alloh apakah kalian tidak berpikir hai orang-orang yang menyelisihi” Selesai.
    Sebagaimana dia menulis tebal juga ucapan Al Imam Ahmad tentang fitnah zamannya: “Ia hanyalah fitnah yang khusus, sehingga bila pedang telah menancap maka fitnah menebar dan jalan terputus”. Selesai.
    Dan di sini Al Halabiy memberikan komentar di catatan kaki juga: “Bandingkan –dengan kebenaran– tentu nampak al haq di hadapanmu” Selesai.
    Seolah Al Halabiy saat mengakhiri muqaddimahnya dengan hikayat ini dia mengumumkan –mau atau tidak– tentang buah tulisan-tulisan macam ini : yaitu menghadang orang-orang yang jiwanya dikuasai pikiran ingin khuruj terhadap thawaghit al kufr... dan menjihadinya.
    Kitab itu dari awal sampai akhir adalah pembelaan terhadap para thaghut itu dan dari takfier terhadap mereka... dan serangan terhadap orang yang mengkafirkan mereka!! Dan terakhir dia mengarahkan serangan terhadap orang-orang yang khuruj (membangkang) terhadap para thaghut, dan dia membela dengan segenap kemampuan yang dia miliki dalam rangka menggugurkan sikap khuruj terhadap mereka, sedang dia tidak peduli bagaimana? Yang penting dia membantah dan membela-bela para thaghut dan pemerintahannya walau dengan talbis dan tadlis...
    Jadi tidak aneh bila Tajahhum dan Irja itu adalah dien yang dicintai para raja bahkan oleh para thaghut; dengannya mereka menjaga dunianya serta melindungi kekafiran dan kebejatan mereka !!
    Ucapan Al Imam Ahmad tentang penguasa-penguasa zamannya ~walau bersikap aniaya dan kezhaliman yang mereka lakukan~ tidaklah boleh menempatkannya terhadap para thaghut kufur yang membuat hukum/UU/UUD, karena para penguasa itu loyalitasnya adalah terhadap dienullah dan syari’at-Nya serta mereka itu berkomitmen memutuskan dengannya meskipun mereka itu maksiat dan aniaya, dan fitnah mereka itu hanyalah pada suatu bab yang pelik dari bab-bab dien ini yaitu Khalqul Qur’an, dan ia itu termasuk bab (al asma wash shifat) atau (masalah-masalah ilmiyyah) sebagaimana nama yang disandangkan oleh sebagian ulama, sedangkan jumhur ulama mengudzur dengan sebab kejahilan dalam banyak dari bab-bab ini dan tidak takfier mu’ayyan dengan sebabnya, kecuali setelah penegakan hujjah.
    Sedangkan para penguasa masa sekarang dan para thaghut masa kini yang mana Al Halabiy menyusun kitabnya ini dalam rangka membela-bela mereka dan sebagai serangan terhadap orang yang mengkafirkan mereka, adalah sungguh telah keluar dari dienullah dari berbagai pintu di antaranya:
    • Pembuatan hukum/UU sesuai UUD (dustur) dan qawanin wadl’iyyah.
    • Berhakim kepada thaghut-thaghut lokal, regional dan internasional.
    • Tawalliy kepada kuffar timur dan barat serta membantu mereka atas kaum muwahhidin.
    • Memperolok-olokkan dienullah, melindungi orang-orang yang memperolok-olokkan itu, memberikan perizinan bagi mereka untuk melakukan perolok-olokkan dan ilhad (kekafiran) mereka dalam payung qawanin mereka dan lewat sarana-sarana informasi mereka yang dibaca dan didengar dan yang dilihat.
    • Serta pintu-pintu yang lainnya yang banyak yang dengannya mereka keluar dari dienullah, dan telah kami rinci dan kami sebutkan dalil-dalil atas hal itu di selain tempat ini.
    Mereka itu adalah pemimpin-pemimpin kekafiran yang telah Alloh firmankan tentang orang-orang yang semacam mereka:
                       
    “Maka perangilah para pemimpin orang-orang kafir itu, karena sesungguhnya mereka itu adalah orang-orang yang tidak bisa dipegang janjinya, supaya mereka berhenti.” (At-Taubah: 12).
    Para pembuat hukum/UU yang murtad yang memutuskan dengan syari’at-syari’at kufur itu... dengarkan apa yang dikatakan ulama Ahlus Sunnah tentang mereka:
    - Al Qadli Iyadl berkata: “Kemudian seandainya muncul atasnya –yaitu si penguasa– kekafiran atau perubahan terhadap syari’at atau bid’ah, maka dia keluar dari status kepemimpinan dan gugur (keharusan) taat kepadanya, serta wajib atas kaum muslimin bangkit terhadapnya dan mencopotnya serta mengangkat imam yang adil bila mereka mampu melakukan itu. Dan bila tidak terjadi kecuali bagi sekelompok orang, maka wajib atas mereka bangkit untuk mencopot orang kafir itu” Selesai. Syarah Muslim, An Nawawiy 12/229).
    - Al Hafizh Ibnu Katsir berkata pada firman-Nya ta’aalaa: “Apakah hukum jahiliyyah yang mereka kehendaki, dan (hukum) siapakah yang lebih baik daripada (hukum) Alloh bagi orang-orang yang yakin?” (Al Maa-idah: 50): “Alloh ta’aalaa mengingkari orang yang keluar dari hukum Alloh yang muhkam yang mencakup atas setiap kebaikan, yang melarang dari setiap keburukan, dan dia (malah) berpaling kepada yang selainnya berupa buah pikiran, hawa nafsu dan ishthilah-ishthilah yang diletakkan oleh manusia tanpa sandaran dari syari’at Alloh, sebagaimana Ahlul jahiliyyah memutuskan dengannya berupa kesesatan-kesesatan dan kebodohan-kebodohan yang mereka letakkan dengan pikiran-pikiran dan hawa nafsu mereka, dan sebagaimana bangsa Tartar memutuskan dengan politik kerajaan yang diambil dari raja mereka Jengis Khan yang membuatkan Yasiq (UU) untuk mereka. Di mana ia (Yasiq) itu merupakan kitab yang terdiri dari hukum-hukum yang ia (Jengis Khan) kutip dari berbagai ajaran, dari (ajaran) Yahudi, Nasrani, ajaran Islam85 dan ajaran lainnya, serta di dalamnya banyak hukum-hukum yang dia ambil dari sekedar buah fikirannya dan hawa nafsunya, terus (Yasiq) itu di tengah anak cucunya menjadi hukum yang diikuti yang mereka mengedepankannya atas kitabullah dan sunnah Rasul-Nya shalallaahu ‘alaihi wa sallam, siapa yang melakukan hal itu maka ia kafir yang wajib diperangi sampai dia kembali kepada hukum Alloh dan Rasul-Nya, terus dia tidak menjadikan selainnya sebagai hakim dalam hal kecil ataupun besar” Selesai.
    - Al Hafizh Ibnu Hajar dalam Fathul Bariy Kitabul Ahkam (Bab mendengar dan patuh kepada Imam selama bukan ma’shiat) mengisyaratkan pada hadits ‘Ubadah Ibnu Ash Shamit dalam Shahih Al Bukhariy tentang perintah untuk mendengar dan taat (kecuali kalian melihat kekafiran yang nyata) kemudian berkata: “tercopot –yaitu penguasa– dengan sebab kekafiran secara ijma, sehingga wajib atas setiap muslim berdiri dalam hal itu; siapa yang mampu melakukan itu maka baginya pahala dan siapa yang mudahanah maka atasnya dosa, serta siapa yang tidak mampu, maka wajib atasnya hijrah dari bumi itu” Selesai.86
    Para thaghut masa kini yang kafir lagi muharib yang mana Murji-ah menundukkan pena-pena mereka dalam membela para thaghut itu dan dalam menghujat seteru mereka yang bertauhid!! Tidaklah pantas bagi mereka dari ucapan ahlul ilmi kecuali ini.
    Tidak seperti apa yang dikatakan oleh si mudallis ini dengan menempatkan ucapan Al Imam Ahmad pada mereka, karena ucapan beliau rahimahullah tentang larangan Khuruj terhadap para penguasa yang zhalim, karena orang jauh maupun dekat mengetahui bahwa Al Imam Ahmad tidak mengkafirkan para penguasa zamannya, karena ucapannya: Siapa yang mengatakan (Al Qur’an itu makhluk maka ia kafir) ada pada suatu hal sedangkan penerapannya akan hal itu terhadap i’yan (orang-orang tertentu) adalah hal lain, di mana beliau memuthlaqkan perkataan dalam maqalat seperti ini, akan tetapi beliau sebagaimana yang dituturkan Syaikhul Islam tidaklah mengkafirkan seluruh individu orang-orang yang mengatakannya pada zamannya, karena bab ini perlu penegakkan hujjah dulu di dalamnya.
    Syaikhul Islam telah berbicara dalam fatawa seputar hujjah masalah ini 12/484 dst; di mana beliau menuturkan takfier Al Imam Ahmad dan (ulama) lainnya terhadap Jahmiyyah dan ahli bida’ lainnya dan beliau menuturkan perselisihan di antara ulama dalam hal itu, dan beliau menuturkan ucapan Ahlul ilmi: “Sesungguhnya mereka mengatakan (Siapa yang mengatakan ini maka ia kafir) terus si pendengar meyakini bahwa ucapan ini mencakup seluruh yang mengucapkannya, dan mereka tidak menghayati bahwa takfier ini memiliki syuruth dan mawani yang kadang tidak terpenuhi pada orang mu’ayyan dan bahwa takfier itu tidak mengharuskan takfier mu’ayyan, kecuali bila syarat terpenuhi dan mawani tidak ada. Hal ini dibuktikan dengan keberadaan bahwa Al Imam Ahmad dan umumnya ulama yang melontarkan ucapan umum ini tidaklah mengkafirkan mayoritas orang yang mengatakan ucapan ini secara mu’ayyan”.87
    “Karena Al Imam Ahmad umpamanya telah menghadapi langsung Jahmiyyah yang mengajaknya kepada Khalqul Qur’an dan nafyush shifat, mereka mengintimidasi beliau dan ulama lainnya di zamannya, dan mereka menyiksa mu’minin dan mu’minat yang tidak menyetujui mereka atas paham Jahmiyyah ini dengan deraan, penjara, bunuh dan pemecatan dari jabatan... hingga ucapannya... kemudian sesungguhnya Al Imam Ahmad berdoa buat Khalifah dan yang lainnya dari kalangan yang telah memukul dan memenjarakannya, beliau memintakan ampunan buat mereka, dan menghalalkan mereka dari apa yang telah mereka lakukan berupa kezhaliman dan ajakan kepada ucapan yang merupakan kekafiran. Dan andaikata mereka itu murtad dari Islam tentulah tidak boleh memintakan ampunan bagi mereka, karena memintakan ampunan bagi orang-orang kafir adalah tidak boleh berdasarkan Al Kitab, As Sunnah dan ijma. Dan ucapan-ucapan dan perbuatan-perbuatan ini dari beliau dan dari para imam lainnya sangatlah gamblang menunjukkan bahwa mereka tidak mengkafirkan mu’ayyanin (individu-individu tertentu) dari kalangan Jahmiyyah yang mengatakan Al Qur’an itu makhluq dan bahwa Alloh tidak dilihat di akhirat.
    Dan telah dinukil dari Ahmad suatu yang menunjukkan bahwa beliau telah mengkafirkan dengannya orang-orang tertentu. Ini bisa saja bahwa beliau memiliki dua riwayat dalam masalah ini, namun ini perlu ditinjau, atau masalahnya dibawa kepada rincian, sehingga dikatakan: Orang yang beliau kafirkan secara mu’ayyan maka karena adanya dalil yang membuktikan bahwa syarat-syarat terpenuhi dan mawani’ tidak ada, sedangkan orang yang tidak beliau kafirkan secara mu’ayyan adalah karena hal itu tidak terpenuhi padanya. Ini disertai pemuthlaqan ucapannya dengan takfier secara bentuk umum” Selesai. (Majmu Al Fatawa 12/488-489).
    Perhatikan hal ini, karena ini sangat jelas bahwa Al Imam Ahmad Rahimahulloh meskipun memandang bahwa pernyataan (Al Qur’an makhluq) adalah kekafiran, akan tetapi beliau tidak mengkafirkan seluruh individu-individu Jahmiyyah.
    Dan itu tegas bahwa beliau tidak mengkafirkan para pemimpin zamannya, bahkan justeru beliau mendoakan mereka, memintakan ampunan bagi mereka dan menghalalkan mereka dari apa yang telah mereka lakukan terhadap beliau, dan seandainya mereka itu murtad dari Islam tentu tidak boleh memintakan ampunan bagi mereka!!
    Dan darinya engkau mengetahui bahwa ucapan yang dituturkan Al Halabiy dari Al Imam Ahmad tentang sabar terhadap para penguasa zamannya, adalah tidak halal menempatkan pada para penguasa murtaddun kecuali dalam rangka talbis dan tadlis...!!!
    Al Hafizh Ibnu Hajar telah menukil dalam Fathul Bariy (Kitabul Ahkam) “Bab Al Umara Min Quraisy” dari Ibnu At Tin ucapannya: “Dan mereka telah ijma bahwa ia –yaitu Khalifah– bila mengajak kepada kekafiran atau bid’ah maka ia diberontak, dan mereka berselisih bila dia merampas harta, menumpahkan darah dan melanggar batasan-batasan (Alloh), apakah diberontak atau tidak” Selesai.
    Al Hafizh telah mengakui pernyataannya dalam hal ijma atas sikap Khuruj terhadap penguasa yang kafir, kemudian berkata: “Dan adapun yang ia klaim berupa ijma atas sikap memberontak dalam keadaan bila khalifah mengajak kepada bid’ah maka ia tertolak, kecuali bila ia dibawa kepada bid’ah yang menghantarkan kepada sharihul kufri (kekafiran yang nyata)88.
    Dan kalau tidak demikian sungguh Al Ma’mun, Al Mu’tashim dan Al Watsiq telah mengajak kepada bid’ah pernyataan Al Qur’an makhluq, dan mereka mengintimidasi para ulama karenanya dengan pembunuhan, pemukulan, penahanan dan berbagai bentuk penghinaan, namun tidak seorangpun mengatakan akan wajibnya khuruj terhadap mereka dengan sebab itu, dan keadaan berlangsung belasan tahun hingga Al Mutawakkil menjabat sebagai khilafah kemudian ia menggugurkan penyiksaan itu dan memerintahkan untuk menampakkan sunnah” Selesai.
    Dan begitu juga ucapan Al Qadli ‘Iyadl yang lalu, maka sesudah beliau berkata: “Wajib atas mereka bangkit untuk mencopot orang kafir itu” berkata: “Dan tidak wajib pada ahli bid’ah kecuali bila mereka menduga mampu atasnya, bila nyata tidak mampu maka tidak wajib bangkit (untuk memberontak) dan hendaklah orang muslim hijrah dari negerinya ke negeri lain dan dia lari dengan agamanya” Selesai.
    Perhatikan ucapan mereka tentang penguasa yang kafir... yaitu yang selaras dengan realita para thaghut sekarang...
    Kemudian perhatikan ucapan mereka ini tentang para penguasa aniaya atau ahli bid’ah yang berkomitmen dengan hukum dan aturan Alloh, maka ialah yang ucapan Al Imam Ahmad diterapkan terhadapnya dalam hal perlindungan darah dan penghindaran fitnah... supaya engkau semakin memahami permainan Murji-ah dan talbisat mereka dalam pencampuradukkan ini dengan itu, sebagaimana yang dilakukan Al Halabiy saat mengambil ucapan Al Imam Ahmad tentang Khilafah Bani Al ‘Abbas dan ia berupaya keras mewarnai ucapannya dan memperindah untuk dia tempatkan pada musuh-musuh syari’at dari kalangan penguasa zaman kita yang murtad.
    Dan ketahuilah bahwa pelipatan ucapan ulama tentang kewajiban khuruj terhadap pemimpin-pemimpin kekafiran, dan pembauran ucapan mereka tentang larangan khuruj terhadap para pemimpin yang zhalim dengan penempatannya terhadap para pemimpin kekafiran yang memerangi, ia pada hakikatnya adalah buah yang busuk dari buah-buah paham Jahmiyyah dan Irja, dan satu buah dari buah-buah pencampuradukan antara meninggalkan pemutusan dengan apa yang telah Alloh turunkan dalam kasus tertentu sesuai bentuknya yang tidak mengkafirkan dan yang telah dirinci oleh para imam kita di dalamnya dan di dalamnya mereka menyebutkan syarat juhud dan istihlal, dengan pemutusan dengan selain apa yang telah Alloh turunkan dengan makna pembuatan hukum thaghut lagi kafir dan yang tidak disebutkan di dalamnya juhud atau istihlal, kecuali sebagai tambahan dalam kekafiran.
    (Maka bandingkan – dengan haq – tentu nampak al haq di hadapanmu!!) sebagaimana yang dikatakan Al Halabiy, seraya gembira dengan ucapan Al Imam Ahmad yang ia duga bahwa ia menguatkan buah Irjanya.
    Dan gabungkan ini pada daftar tadlisat orang ini dan talbisat-nya yang panjang yang telah lalu, kemudian silahkan kembali kepada ucapannya tentang lawan-lawannya: “Bila mereka menulis maka mereka memalingkan(nya) dan bila mereka berdalil maka mereka merubahnya dan menyelewengkannya” hal 35.
    Dan perhatikan ucapannya di hal 76: “Sesungguhnya metode pembenturan nushush, pemotongannya dan pengklaiman dengannya suatu yang tidak ada di dalamnya adalah metode ahlul bid’ah...!!! Dan pengikut hawa nafsu” Selesai.
    Dan saya berkata: Kamu benar dalam hal ini (Hampir orang yang ragu berkata ‘ambillah saya...’!!!).
    Dan ucapannya hal 6 tentang orang-orang yang menyelisihi: “Mereka melipat nukilan-nukilan ini dan menyembunyikannya dari para pengikutnya...!!! Kemudian bila mereka menampakkannya maka atas selain maknanya, mereka menukilnya seraya memalingkan kandungannya” Selesai.
    Sungguh engkau telah mengetahui bahwa dia adalah orang yang paling layak menempati ciri ini berkali-kali...!!!
    Kemudian perhatikan pemokusan dia terhadap kalimat-kalimat tertentu pada ucapan Al Imam Ahmad, di mana dia menampakkannya seperti biasanya dengan warna tebal (darah...darah...) di tengah kalimat-kalimat lain.
    Wahai para pengekor!! Apakah dienullah dibela dan musuh-musuh Alloh dihancurkan tanpa dengan darah...???!!!89
    Ya jumhur Ahlis Sunnah cenderung melindungi darah bila bid’ah penguasa itu bukan kufur yang nyata.
    Adapun bila si pemimpin itu menampakkan riddah dan kekafiran yang nyata maka engkau telah melihat ucapan mereka tentang kewajiban mencopot orang yang kafir, memberontaknya dan menggantinya.
    Sedangkan ini pada umumnya tidak terjadi kecuali dengan darah dan terbunuh dan dengan membunuh? Dan Alloh ta’aalaa telah berfirman: “Fitnah (syirik) itu lebih besar dari pembunuhan.”
    Ucapan Al Imam Ahmad yang mana Al Halabi berupaya memasukkannya ke realita zaman kita ini: “Sabar terhadap keadaan yang kita berada di daalamnya adalah lebih baik daripada fitnah... ditumpahkan di dalamnya darah...” Ia menginginkan sebagaimana yang telah kami jelaskan sebelumnya, sabar, tidak menentang penguasa dan tidak boleh memberontaknya dalam (fitnah khusus) yang bukan kekafiran yang nyata jelas, oleh karena itu maka menjaga darah di dalamnya adalah lebih utama.
    Dan ini wasiat Nabi shalallaahu ‘alaihi wa sallam kepada Anshar agar bersabar atas sikap pemonopolian para penguasa dan kezhaliman mereka dengan sabdanya: “Kalian setelahku akan mendapatkan pemonopolian, maka bersabarlah sampai kalian menjumpaiku di telaga”.
    Adapun para pemimpin kekafiran dan para penguasa murtad maka tidak dimaksud dengan (perintah) sabar ini, karena engkau telah mengetahui dari ucapan ulama yang lalu; bahwa sabar yang manfaat terhadap mereka adalah dengan menjihadinya, menghantamnya dan menggantinya atau menjauhinya bagi yang tidak mampu atas hal itu.
    Jadi ucapan Al Imam Ahmad itu adalah dalam (fitnah khusus) yang tidak menyebar lagi merebak, dan bukan ajakan untuk sabar dan diam atas kekafiran atau sabar dan membiarkan syirik atau sabar terhadap hukum thaghut dan mengakui kemurtaddan...!!!
    Itulah sabar Irja-iy yang menjadikan orang-orangnya sebagai tentara yang membela para thaghut dan menyerang membabi buta terhadap orang yang mengkafirkan mereka, sungguh ini tidaklah dimaksud oleh Al Imam Ahmad dan ia itu tidak ada dalam ucapan beliau, tapi Al Halabiy menginginkannya dan berupaya untuk menetapkannya dan menyimpulkannya dari ucapan Ahmad walau dengan tadlis.
    Maka kami katakan kepadanya: Sungguh telah jelas apa yang dimaksud dari ucapan beliau, dan bagaimanapun keadaannya, maka bukan kepada ucapan Al Imam Ahmad dan tidak pula kepada yang lainnya tahakum dan perujukan itu dilakukan saat terjadi perselisihan.
    Andaikata saja Al Imam Ahmad memaksudkan dengan ucapannya ini –dan mana mungkin beliau (bagian,ed.) dari paham yang busuk ini– sabar dan diam terhadap realita para thaghut hari ini dengan dalih penjagaan darah, tentu kami lempar ucapannya itu ke tembok, karena firman Rabb kita lebih berhak untuk diikuti daripada ucapan Ahmad atau yang lainnya. Alloh berfirman: “Dan fitnah (syirik) itu lebih dahsyat dari pembunuhan.” (Al Baqarah: 191).
    Ya, fitnah kekafiran, riddah dan syirik itu lebih dahsyat dari fitnah darah dan lebih dahsyat dari pembunuhan...
    Bagaimana... sedangkan ucapan beliau rahimahullah tidak ada kaitannya dengan para thaghut zaman kita dan fitnah mereka...!!! Akan tetapi Al Halabiy memaksa untuk memasukkan di dalamnya.
    Ucapan itu hanyalah tentang para pemimpin zamannya, dan ia adalah yang benar karena fitnah mereka sebagaimana yang beliau katakan (fitnah khusus)... sehingga menjaga darah di dalamnya lebih utama.
    Adapun fitnah pembuatan hukum yang tidak Alloh izinkan, yang mana para thaghut masa kini terjatuh di dalamnya dan mereka menggusur manusia untuk mengikutinya maka ia adalah fitnah umum yang merata lagi menyebar yang tidak ada di atasnya fitnah pada zaman kita ini serta tidak ada kerusakan yang lebih besar darinya, karena syirik adalah dosa terbesar yang dengannya Alloh didurhakai di wujud ini, dan ia adalah mafsadah terbesar secara muthlaq yang mana syari’at datang dalam rangka menghadangnya. Dan darinya muncul dan bertebaran segala kerusakan dan fitnah, dan dengan sebabnya hal-hal yang haram dihalalkan dan hududullah ditelantarkan, darah kaum muwahhidin dihalalkan, darah kaum musyrikin dan murtaddin dijaga serta keamanan jalan terputus dengan sebab para thaghut itu.
    Jadi fitnah apa yang dikhawatirkan setelah ini dan mafsadah apa yang dihindari dengan sikap sabar terhadap para thaghut setelah dengan syirik dan kebejatannya mereka membuka berbagai pintu kekafiran, kefasikan dan maksiat.
    Menghalang-halangi kaum muslimin dari diennya dan menjauhkan mereka dari tauhidnya adalah lebih besar dari fitnah pembunuhan dan penumpahan darah.
    Dengan jihad untuk merealisasikan tauhid dan penghancuran syirik dan tandid... dengan jihad saja, dien ini bisa dijaga, darah terlindungi, kehormatan terjaga, kesatuan umat Islam terjaga dan jalan-jalan dijaga.
    Alloh ta’aalaa berfirman:
     •         •                                 
    “Sesungguhnya Alloh telah membeli dari orang-orang mu’min, diri dan harta mereka dengan memberikan surga untuk mereka. Mereka berperang pada jalan Alloh; mereka membunuh atau terbunuh....” (At Taubah: 111).
    Ya... (mereka membunuh atau terbunuh)...!!!
    Orang Arab berkata: “Pembunuhan lebih bisa meniadakan pembunuhan”
    Penyair mereka berkata:
    Dengan penumpahan darah wahai teman darah bisa dijaga
    Dan dengan membunuh selamatlah manusia dari pembunuhan.
    Alloh ta’aalaa berfirman:
    • •     •    
    “Maka cerai beraikanlah orang-orang yang di belakang mereka dengan (menumpas) mereka.” (Al Anfal: 57).
    Dan firman-Nya ta’aalaa:
                 •    
    “Hai orang-orang yang beriman, perangilah orang-orang kafir yang di sekitar kamu itu, dan hendaklah mereka menemui kekerasan daripadamu, dan ketahuilah, bahwasanya Alloh beserta orang-orang yang bertaqwa.” (At Taubah: 123)
    Dan firman-Nya ta’aalaa:
               
    “Perangilah mereka, niscaya Alloh akan menyiksa mereka dengan (perantaraan) tangan-tanganmu dan Alloh akan menghinakan mereka dan menolong kamu terhadap mereka, serta melegakan hati orang-orang yang beriman.” (At Taubah: 14).
    Ya inilah jalan yang dengannya Alloh melegakan hati orang-orang yang beriman, dan ialah jalan untuk melepaskan diri dari kaum murtaddin.
    “Mereka membunuh atau terbunuh”!!
                            
    “Katakanlah: Tiada yang kamu tunggu-tunggu bagi kami, kecuali salah satu daripada dua kebaikan. Dan kami menunggu-nunggu bagi kamu bahwa Alloh akan menampakkan kepadamu adzab (yang besar) dari sisi-Nya, atau (adzab) dengan tangan kami. Sebab itu tunggulah, sesungguhnya kami menunggu-nunggu bersama-sama.” (At Taubah: 52).
    Sesungguhnya ia salah satu dari dua kebaikan
    Kemenangan atau syahadah (mati syahid)...
    Bisa itu kemenangan di atas manusia
    Dan bisa (kembali) kepada Alloh bersama orang-orang yang kekal...
    Inilah jalan... Baik Ahlut Tajahhum Wal Irja suka atau tidak...
    Ya demi Alloh “apa kalian tidak berpikir wahai orang-orang yang menyelisihi”90!!!

    Tinjauan Terhadap Fatwa Al Al-Baniy
    Adapun fatwa Al Albaniy –semoga Alloh memberikan kami dan ia petunjuk kepada kebenaran yang nyata– masih terus dibagikan dalam bentuk rekaman dan cetakan di tengah barisan Ahlut Tajahhum Wal Irja di kawasan teluk. Dan diri ini selalu memaksa saya untuk segera membantah fatwa itu..., namun saya menangguhkan itu seraya mengedepankan atasnya hal lain yang saya pandang lebih penting dan lebih bermanfaat yaitu berupa tulisan-tulisan yang saya sibuk untuk merampungkannya, sampai pada akhirnya penjara menghalangi saya dari melanjutkan tulisan-tulisan itu, maka saya pun mendapatkan di dalamnya waktu kosong yang belum tentu orang mendapatkannya di luar. Kemudian sampai kepada saya –sebagaimana yang telah saya utarakan– dua cetakan yang berbeda dari fatwa ini... di mana saya ingin menulis bersamanya tinjauan-tinjauan yang cepat sebagai bentuk ketulusan bagi Alloh, dien-Nya, kaum muslimin seluruhnya dan bagi Syaikh secara khusus, semoga Alloh memberikannya manfaat dengan hal itu seraya mengingatkannya dengan ucapan Abdullah Ibnu Mas’ud radliallaahu’anhu: “Siapa orangnya datang kepadamu dengan membawa kebenaran maka terimalah darinya meskipun orang itu jauh lagi dibenci, dan siapa orangnya datang kepadamu dengan membawa kebatilan, maka tolaklah meskipun orang itu dicintai lagi dekat”91.
    Sebelum mulai dalam hal itu saya katakan: Pembaca telah melihat dalam uraian yang lalu dari bantahan kami terhadap Al Halabiy bahwa kami telah panjang lebar dalam mengoreksi hal-hal yang dianut oleh kaum Jahmiyyah dan Murji-ah secara umum pada zaman ini. Dan saya sengaja mengerahkan mayoritas apa yang ada dalam simpanan saya berupa catatan-catatan koreksian terhadap kerancuan-kerancuan terpenting mereka dalam koreksian saya terhadap muqaddimah Al Halabiy, agar saya tidak menyisakan dalam tinjauan saya terhadap (fatwa) Syaikh Al Albaniy, kecuali apa yang berkaitan dengan apa yang ada dalam fatwanya ini.
    Dan itu dalam rangka menjaga dari adanya hujjah bagi sebagian orang-orang bodoh dalam ucapan saya –bila saya berbicara lebar– pada sikap lancang mereka terhadap ilmu hadits dan para pakarnya...
    Atau dari keberadaan hal itu menjadi legalitas bagi kalangan pemula untuk tidak peduli dengan ilmu yang mulia ini atau menjadi pengajak untuk berpaling dari kitab-kitabnya dan kitab-kitab orang-orang yang menggelutinya.
    Dan itu bukan karena Al Halabiy datang dengan bid’ah-bid’ah dan kesesatan-kesesatan ini dari kantongnya atau dari diri pribadinya dan dia menggusur syaikhnya ke dalamnya begitu saja serta dia menisbatkan hal itu kepadanya secara zhalim, dusta dan mengada-ada, sebagaimana sebagian orang yang membantahnya berupaya memberikan image itu atau memahamkannya !!
    Tidak sekali-kali –meskipun terhadap saya dia tidak segan-segan dari berdusta dan mengada-ada sebagaimana yang telah lalu– karena mereka itu berasal dari satu sumber dalam paham Tajahhum dan Irja mereka yang mana hal itu diketahui oleh orang yang mentelaah tulisan-tulisan mereka dan mendengarkan ucapan-ucapan mereka. Dan engkau akan melihat dalil-dalil dan contoh-contoh atas hal itu dalam fatwa ini.
    Pertama-tama ketahuilah : Bahwa Al Albaniy dalam fatwanya yang direkam lagi dicetak ini telah menyerang kepada seorang laki-laki yang miskin akan ilmu syar’iy untuk ia ajak (dalam) diskusi yang ‘kurus’ ini, dan ia merekamnya sebagai suatu sikap yang dianggap oleh para muqallidnya sebagai bantahan terhadap setiap orang yang mengkafirkan para thaghut hukum92. Dan akan nampak di hadapan anda kejahilan orang yang telah mereka pilih itu dalam diskusi ini, yaitu pelontaran takfier tanpa batasan, dan ketidakmampuan akan dalil-dalil syar’iy serta kelemahan pengetahuan dia terhadap realita para thaghut hari ini. Oleh sebab itu dia dipermainkan oleh mereka dengan syubuhat-syubuhatnya, karena kalau tidak demikian, sesungguhnya seorang muwahhid bila dia mengetahui tauhidnya dengan pengetahuan yang benar dan dia melihat pada realita kaum musyrikin hari ini dengan mata hati, maka dia sama sekali tidak akan terpengaruh dengan syubuhat-syubuhat Ahlut Tajahhum wal Irja.
    Bahkan sesungguhnya bila dia mengetahui hal itu dan memiliki bashirah tentangnya, maka tidak akan tegak dalam berdebat di hadapannya Ahlut tajahhum wal Irja baik mereka itu kaum muqallid maupun para syaikh –walaupun dia itu orang awam–.
    Itu dikarenakan Ahlut tajahhum wal Irja pada zaman kita ini, mereka memiliki kekurangan yang besar dan ketimpangan yang jelas dalam memahami tauhid dan secara khusus darinya apa yang berkenaan dengan masalah-masalah tasyri’ dan tauhidullah ta’aalaa dengan ketaatan serta talaqqiy di dalamnya.
    Mereka menghina dan menyepelekan orang yang menulis dan menggembar-gemborkan seputar hal itu atau menjelaskan bahwa itu termasuk ushuluddien yang paling penting, dikarenakan ia termasuk sub-sub ibadah yang wajib dimurnikan dan ditauhidkan kepada Alloh ‘azza wa jalla, sebagaimana telah lalu dalam prihal (al hakimiyyah) seperti nama yang disandangkan sebagian orang. Dan mereka juga mencela orang yang berbicara tentang kekafiran para thaghut masa kini serta mereka tidak memandang dalam hal itu faidah yang diharapkan sebagaimana yang akan datang secara tegas dalam ucapan syaikh!! Hal 71.
    Kemudian bila hal ini ditambah dengan kejahilan mereka akan realita para thaghut hukum tasyri’iy hari ini, maka ketimpangan pada diri mereka itu berlapis, yang tidak memungkinkan mereka untuk sampai pada kebenaran dalam masalah yang besar ini.
    Dan itu sebagaimana dikatakan Al ‘Allamah Ibnul Qayyim Rahimahulloh: “Dan Mufti juga hakim tidak memungkinkan dari mengeluarkan fatwa dan vonis dengan al haq kecuali dengan dua macam pemahaman:
    Pertama: Paham realita (waqi’) dan mengerti di dalamnya serta menyimpulkan ilmu hakikat apa yang terjadi dengan qarinah-qarinah, tanda-tanda dan ciri-ciri sehingga ia menguasai ilmu itu secara penuh.
    Ke dua: Memahami apa yang mesti diterapkan pada realita itu, yaitu hukum Alloh yang Dia tetapkan dalam Kitab-Nya atau lewat lisan rasul-Nya terhadap realita ini, terus yang satu diterapkan pada yang lainnya”93 Selesai.
    Dan dengan sebab ketimpangan yang berlapis ini engkau melihat mereka menempatkan ucapan Ibnu ‘Abbas atau salaf lainnya tentang sebagian penguasa Bani Umayyah yang sama sekali tidak melakukan pembuatan hukum dan mereka tidak mengklaim bahwa itu adalah hak mereka dan tidak pula melimpahkan hak itu kepada selain Alloh94 serta mereka tidak bersepakat atas selain hukum-hukum Alloh, namun justru mereka itu berkomitmen terhadap hukum Alloh lagi tunduk terhadapnya!!
    Begitu pula ucapan Al Imam Ahmad tentang kekhilafahan Bani ‘Abbas –sebagaimana yang telah lalu– mereka menempatkannya pada thawaghit musyrikin yang membuat hukum lagi memerangi dienullah pada zaman ini...!!!
    Maka apa gerangan bila ketimpangan dan kebodohan berlapis ini ~ditambah apa yang telah engkau ketahui tentang mereka pada uraian yang lalu~ berupa sikap ngawur dalam masailul kufri wal iman dengan bentuk sikap mereka membatasi kekafiran pada juhud qalbiy (pengingkaran hati) saja. Sedangkan ini sebagaimana yang telah engkau ketahui adalah warisan Jahmiyyah dan saripati paham Irja.
    Oleh sebab itu kaum Murji-ah itu dan banyak para syaikh mereka ~mau tidak mau~ telah menjadi anshar bagi para thaghut, mereka membela-bela para thaghut itu dan membantah pengkafirannya dengan syubhat-syubhat mereka yang rapuh, serta dengan hal itu mereka menganggap ringan kebatilannya.
    Di sisi lain mereka menyerang orang yang mengkafirkannya atau orang yang berupaya menjihadinya dan merubah kebatilannya bahkan mereka mencapnya sebagai Khawarij, Takfiriy dan cap lainnya!!!
    Silahkan amati ucapan Syaikh Al Albaniy di depan fatwanya hal (52) setelah menyebutkan orang-orang yang dicap oleh para pemerintah kafir di zaman kita dengan cap (Jama’ah At Takfier), dia berkata: “Atau sebagian macam-macam jama’ah yang menisbatkan dirinya kepada jihad! Padahal ia pada hakikatnya adalah bagian dari pengusung takfier...!!!” Selesai.
    Dan berkata hal (56): “Dan di antara orang-orang yang menyimpang itu adalah: Khawarij, baik yang dulu maupun yang baru! Maka sesungguhnya asal fitnah takfier pada masa sekarang ini –bahkan semenjak dulu– adalah ayat yang selalu mereka dengung-dengungkan seputarnya, yaitu firman Alloh ta’aalaa: “Dan siapa yang tidak memutuskan dengan apa yang telah Alloh turunkan maka mereka itu adalah orang-orang kafir”95, terus mereka mengambilnya tanpa pemahaman yang dalam dan menuturkannya tanpa pengetahuan yang jeli...!!!” Selesai.
    Engkau telah mengetahui pada uraian yang lalu siapa sebenarnya orang-orang yang mengambilnya tanpa pemahaman yang dalam...!!! Dan menuturkannya tanpa pengetahuan yang jeli...!!!
    Kemudian ia berbicara panjang lebar dalam hal itu dan menuturkan ucapan-ucapan salaf seraya berupaya berdalil dengannya bahwa itu adalah kufrun duna kufrin... hingga akhir. Dan di antara hal itu adalah ucapannya sebagai komentar terhadap ucapan yang dinisbatkan kepada Ibnu ‘Abbas hal 59: “Seolah dia mengarahkan pendengarannya saat itu apa yang kami dengar persis hari ini bahwa di sana ada orang-orang yang memahami ayat ini secara kulit tanpa rincian...!!!” Selesai.
    Perhatikanlah pencampuradukan antara Khawarij yang mengkafirkan kaum muslimin dengan sekedar sebab maksiat dan mereka khuruj terhadap sebagian penyimpangan para pemimpin bahkan mereka khuruj terhadap para pemimpin yang adil, di mana awal kemunculan mereka adalah pada masa kekhilafahan Utsman kemudian mereka makin menjadi-jadi pada masa kekhilafahan Ali radliallaahu’anhu...!!!
    Dengan orang-orang yang mengkafirkan kaum musyrikin dari kalangan budak Undang-undang!! Atau orang-orang yang khuruj terhadap para thaghut syirik yang membuat hukum...!!! Dan mereka menjihadi para pemimpin kekafiran yang memerangi...!!!
    Dia berjalan ke arah timur sedang aku ke arah barat
    Sangat jauh antara yang ke timur dengan yang ke barat
    Bahkan sesungguhnya Al Halabiy memberikan komentar di catatan kaki di sini hal (56) terhadap ucapan Syaikh seraya menukil ucapan Abu Hayyan Al Andalusiy dalam Al Bahrul Muhith 3/493: “Dan Khawarij berhujjah dengan ayat ini bahwa setiap orang yang maksiat kepada Alloh maka dia kafir! Dan mereka berkata: Ia adalah nash dalam keberadaan (bahwa) setiap orang yang memutuskan dengan selain apa yang telah Alloh turunkan maka ia adalah kafir! Dan setiap orang yang berbuat dosa itu maka dia itu telah memutuskan dengan selain apa yang telah Alloh turunkan sehingga wajib ia itu menjadi kafir...!!!” Selesai.
    Syaikh dan muridnya sebenarnya mengetahui bahwa Khawarij itu saat berdalil dengan ayat ini ingin mengkafirkan orang-orang yang bermaksiat dari kalangan para penguasa dan yang lainnya; oleh sebab itu salaf mendebat mereka dan membantah ihtijaj mereka dengannya, dan berkatalah di antara salaf itu tentang maksiat-maksiat itu dan keadaan itu: (sesungguhnya ia adalah kufrun duna kufrin... dan bukanlah kekafiran yang kalian yakini), serta mereka mengingkari Khawarij atas sikap mereka menempatkan ayat-ayat tentang kuffar kepada kaum muslimin bukan dalam rangka tarhib dan ancaman sebagaimana yang dilakukan sebagian salaf, namun dalam rangka vonis dan takfier...
    Sebagaimana yang diriwayatkan Ath Thabari dalam Tahdzibul Autsar secara maushul lewat jalan Bukair Ibnu Abdillah Ibnul Asyajj bahwa ia bertanya kepada Nafi: “Bagaimana pendapat Ibnu Umar tentang Haruriyyah? Beliau berkata: (Beliau memandang mereka sebagai makhluk Alloh yang paling buruk, mereka mengambil ayat-ayat (tentang) orang-orang kafir terus menerapkannya pada kaum mu’minin...) Al Hafizh Ibnu Hajar berkata: “Isnadnya shahih”.
    Namun demikian Syaikh dan muridnya menisbatkan pendapat Khawarij itu kepada orang yang mengkafirkan thawaghit masa kini dengan sebab syirik yang nyata dan kekafiran yang jelas yang tidak samar –sebagaimana yang dikatakan Asy Syinqithiy– (kecuali terhadap orang yang telah Alloh hapus mata hatinya dan Dia butakan dari cahaya wahyu seperti mereka). Selesai.
    Ia (Syaikh) dan para muqallid-nya menempatkan ucapan-ucapan para sahabat dan bantahan mereka terhadap Khawarij dalam hal maksiat-maksiat itu, kepada realita syirik hari ini dan bencana para thaghut yang membuat undang-undang kafir...!!!
    Sehingga hasilnya...!!! Atau buahnya :
    Bahwa para thaghut itu menurut mereka pada keadaan yang paling jelek adalah seperti para penguasa Bani Umayyah...!!! Dan tidak boleh mengkafirkan mereka atau khuruj terhadap mereka karena (dunia ini dalam keadaan baik dan manusia di akhir kenikmatan)...!!!
    Dan dari itu siapa yang mengkafirkan kaum musyrikin undang-undang itu atau berlepas diri dari mereka atau menjihadinya maka dia itu tergolong takfieriyyin yang berjalan persis!! di atas jalan Khawarij. Dan mereka lalai dari pemuthlaqan ini di mana telah masuk di dalamnya banyak dari kalangan ulama mutaqqadimin dan muta’akhkhirin yang mana kami telah menukilkan di hadapanmu ucapan-ucapan mereka yang tegas dalam masalah-masalah tasyri’.
    Dan saya katakan: Bila sebagian celaan diarahkan kepada Syaikh dengan sebab pencampuradukan ini, maka sesungguhnya bagian terbesar dari celaan ini dialamatkan kepada orang yang menyeret ia ke dalam lingkaran seperti ini!! Dengan cara meminta fatwa dalam hal rentan seperti ini!! Dan menjadikannya sebagai bahan cemoohan dalam sikapnya mengarahkan hadits itu pada suatu yang tidak beliau kuasai ilmunya.
    Kasihanilah Syaikh!! Lembutlah terhadapnya hai kaum!! Janganlah kalian Ahlul bid’ah dari kalangan musuh-musuh hadits dan lawan-lawan sunnah mencibir terhadapnya.
    Begitulah sungguh Al Albaniy dalam fatwanya ini telah panjang lebar berbicara dalam pembagian kufur menjadi :
    - Kufur akbar yang mengeluarkan dari millah
    - Dan yang lain (kufur) ashghar yang tidak mengeluarkan darinya.
    Sedangkan ini tidak ada perselisihan di dalamnya, namun yang menjadi perselisihan dengan mereka hanyalah dalam menentukan hal itu… dan apakah realita para thaghut pembuat hukum hari ini tergolong yang pertama atau yang ke dua...???!!!
    Dan apakah kufur ‘amaliy seluruhnya adalah kufur ashghar yang tidak mengeluarkan dari millah atau justru di antaranya ada yang seperti itu dan di antaranya ada yang tergolong (kufur) akbar yang mengeluarkan darinya?
    Al Albaniy berkata hal (63) setelah ia membahas hadits (menghina orang muslim adalah kefasikan dan memeranginya adalah kekafiran): “Jadi memeranginya adalah kufrun duna kufrin sebagaimana perkataan Ibnu Abbas dalam penafsiran ayat yang lalu secara persis”. Selesai.
    Dan di sini kami memiliki tinjauan dan tanbih bagi pencari al haq: yaitu bahwa ucapan yang masyhur dan disandarkan kepada Ibnu Abbas seputar ayat ini adalah tidak sah bila dikatakan – sebagaimana yang dikatakan Syaikh – bahwa ia adalah penafsiran ayat tersebut, karena ayat itu berbicara tentang orang-orang kafir – sebagaimana akan datang dalam dari hadits Al Barra (berkenaan dengan orang-orang kafir semuanya). Dan ini disepakati, di mana ia turun berkenaan dengan orang-orang Yahudi, sedangkan tidak masuk akal bila Ibnu ‘Abbas mengatakan tentang orang-orang Yahudi bahwa kekafiran mereka itu (kufrun duna kufrin)!!.
    Oleh sebab itu sesungguhnya kami meyakini dan bertanggungjawab di hadapan Alloh bahwa ucapan yang disandarkan kepada Ibnu Abbas atau yang lainnya bukanlah penafsiran ayat ini... namun ia hanyalah bantahan terhadap orang yang keliru berdalil/dengannya dengan menempatkannya bukan pada tempatnya.
    Dan itu dibuktikan dengan ucapan Ibnu Abbas: “Kekafiran itu bukanlah yang kalian yakini...” jadi ucapan itu tentang Khawarij... sedangkan engkau telah mengetahui bahwa Khawarij memaksudkan dengan ayat itu setiap orang yang maksiat kepada Alloh sebagaimana yang telah lalu.
    Ini dibuktikan secara jelas dengan apa yang diriwayatkan oleh Ath Thabariy dengan isnad yang shahih dari Umran Ibnu Hudair, berkata: “Datang kepada Abu Mijlaz segolongan orang dari Bani ‘Amr Ibnu Sadus (dan mereka itu adalah sekelompok dari Khawarij Al Ibadliyyah sebagaimana dalam riwayat lain) mereka berkata: Hai Abu Mijlaz, apa pendapatmu tentang firman Alloh: “Dan siapa yang tidak memutuskan dengan apa yang telah Alloh turunkan maka mereka itu adalah orang-orang kafir...” apakah ia haq? Beliau menjawab: Ya. Mereka berkata: Dan siapa yang tidak memutuskan dengan apa yang telah Alloh turunkan maka mereka itu adalah orang-orang zhalim apakah ia haq? Beliau menjawab: Ya. Mereka berkata: Dan siapa yang tidak memutuskan dengan apa yang telah Alloh turunkan maka mereka orang-orang fasiq apakah ia haq? Beliau berkata: Ya. Mereka berkata: Hai Abu Mijlaz, apakah mereka memutuskan dengan apa yang telah Alloh turunkan? Beliau berkata: Ia adalah dien mereka yang mereka anut, dengannya mereka berbicara dan kepadanya mereka menyeru, kemudian bila mereka meninggalkan sesuatu darinya maka mereka mengetahui bahwa mereka itu telah melakukan dosa. Maka mereka berkata: Tidak, demi Alloh tapi kamu ini takut. Beliau berkata: Kalian yang lebih layak dengannya daripada saya, saya tidak memandang (itu) dan kalian memandang ini dan tidak merasa keberatan, akan tetapi ia diturunkan tentang Yahudi, Nashara dan Ahlusysyirki atau yang serupa ini”
    Ucapannya “...akan tetapi ia diturunkan tentang Yahudi dan Nashara dan ahlusy syirki atau yang serupa ini...” adalah bukti bahwa yang dimaksud dengannya adalah kufur akbar dan bukan kufrun duna kufrin.
    Dan yang mereka maksud dengan ucapannya (kufrun duna kufrin) hanyalah apa yang dilakukan para penguasa zaman mereka bila ada di dalamnya suatu dari kezhaliman atau maksiat atau penyimpangan... andai boleh mencap mereka karenanya bahwa mereka itu (tidak memutuskan dengan apa yang telah Alloh turunkan), akan tetapi ini bukan termasuk jenis perbuatan Yahudi, Nashara dan ahlusysyirki yaitu berupa kesepakatan dan kemufakatan atas hukum selain hukum Alloh sebagai pedoman hidup, sistem dan undang-undang yang mesti diikuti.
    Oleh sebab itu dikatakan (ia itu bukanlah kekafiran yang kalian pahami) atau (kufurn duna kufrin).96
    Inilah arahan yang shahih bagi ucapan Ibnu ‘Abbas dan salaf lainnya. Adapun klaim orang yang mengklaim bahwa mereka (kufrun duna kufrin) adalah tafsir ayat itu secara muthlaq maka ia adalah kekeliruan yang nyata dan ketergelinciran yang jelas.
    Dan siapa yang ingin penafsiran ayat-ayat itu maka sesungguhnya penafsiran yang paling utama adalah sebab nuzul dan ia adalah posisi yang sebenarnya. Siapa yang melakukan seperti sebab itu maka ia dicakup oleh vonis tersebut, dan adapun orang yang jatuh dalam sekedar maksiat yang tidak mengkafirkan maka ia tidak seperti itu...
    Dan inilah sebagian apa yang ada dalam sebab nuzul itu:
    Al Bukhari (2/131) dan Muslim (7/208) serta yang lainnya meriwayatkan dari Ibnu Umar radliallaahu’anhu, berkata: “Didatangkan kepada Rasululloh seorang Yahudi laki-laki dan seorang wanita Yahudi yang telah sama-sama berzina, maka Rasululloh berkata kepada mereka: Apa yang kalian dapatkan dalam kitab kalian? Mereka menjawab: Sesungguhnya alim ulama kami telah menciptakan (hukum) poles wajah dengan warna hitam (tahmim) dan tajbiyah. Abdullah Ibnu Salam berkata: Ajak mereka untuk mendatangkan Taurat wahai Rasululloh! Maka Tauratpun didatangkan, kemudian salah seorang di antara mereka meletakkan tangannya di atas ayat rajam dan dia membaca yang sebelumnya serta yang sesudahnya, maka Ibnu Salam berkata: Angkat tanganmu! Ternyata ada ayat rajam di bawah tangannya, maka Rasululloh shalallaahu ‘alaihi wa sallam memerintahkan keduanya dibawa dan terus dirajam”. Ini lafazh Al Bukhari.
    Al Imam Muslim dalam shahihnya meriwayatkan 11/209 dari Al Bara Ibnu ‘Azib, berkata: “Rasululloh shalallaahu ‘alaihi wa sallam dilewati seorang Yahudi yang telah dipoles hitam wajahnya lagi telah didera, maka Rasululloh shalallaahu ‘alaihi wa sallam memanggil mereka, terus berkata: Apa begini kalian mendapatkan had bagi pezina dalam kitab kalian? Mereka menjawab: Ya, kemudian beliau memanggil salah seorang dari ulama mereka dan terus berkata: Saya ingatkan kamu dengan Alloh yang telah menurunkan Taurat kepada Musa, apakah seperti ini kalian dapatkan had pezina dalam kitab kalian? Maka dia berkata: Tidak, seandainya engkau tidak mengingatkan saya dengan ini tentu saya tidak akan memberitahukanmu, kami mendapatkannya rajam, akan tetapi hal itu banyak terjadi di kalangan bangsawan kami, adalah kami bila mendapatkan orang bangsawan maka kami meninggalkannya dan bila kami mendapatkan orang lemah maka kami tegakkan had terhadapnya, kemudian kami berkata: Mari kita bersepakat terhadap suatu (hukuman) yang kita tegakkan terhadap orang bangsawan dan orang kalangan bawah, akhirnya kami jadikan hukum poles wajah dan dera sebagai pengganti rajam. Maka Rasululloh shalallaahu ‘alaihi wa sallam berkata: Ya Alloh sesungguhnya aku adalah orang pertama yang menghidupkan perintahmu di kala mereka telah mematikannya, terus beliau menyuruh orang itu untuk dibawa dan kemudian dirajam, kemudian Alloh ‘azza wa jalla menurunkan: “Wahai Rasul janganlah membuatmu bersedih orang-orang yang bergegas dalam kekafiran...” hingga firman-Nya: ”...Bila kalian diberi ini maka ambillah”. Dia berkata: Datanglah kalian kepada Muhammad shalallaahu ‘alaihi wa sallam, kemudian bila dia memerintahkan kalian dengan (hukum) poles wajah dan dera maka ambillah dan bila dia memfatwakan rajam maka hati-hatilah, maka Alloh ta’aalaa menurunkan: “Dan siapa yang tidak memutuskan dengan apa yang telah Alloh turunkan maka mereka itulah orang-orang kafir...” “...Dan siapa yang tidak memutuskan dengan apa yang telah Alloh turunkan meka mereka itulah orang-orang yang zhalim...” “...Dan siapa yang tidak memutuskan dengan apa yang telah Alloh turunkan maka mereka itulah orang-orang yang fasiq...” tentang orang-orang kafir seluruhnya.
    Dan di dalam hadits-hadits ini terdapat banyak faidah:
    Pertama: Perhatikan ucapan mereka: “Kami berkata: Mari kita bersepakat terhadap suatu (hukuman) yang kita tegakkan terhadap orang bangsawan dan orang kalangan bawah, akhirnya kami jadikan hukum poles wajah dan dera sebagai pengganti rajam”.
    Dan di dalam riwayat lain: “Sesungguhnya alim ulama kami telah menciptakan (hukum) poles wajah dengan warna hitam...”
    Di dalamnya sama sekali tidak ada indiaksi bahwa mereka menyatakan bahwa hukum (buatan) mereka itu lebih baik dari hukum Alloh, atau bahwa mereka berkata: “Sesungguhnya hukum Alloh itu kuno dan terbelakang, atau hal serupa itu yang disyaratkan Murji-ah untuk mengkafirkan para thaghut, akan tetapi yang ada pada mereka adalah penetapan hukuman yang mereka sepakati dan mereka komitmen untuk menerapkannya terhadap bangsawan dan kaum papa, karena had (sangsi hukum) yang ada dalam Taurat mereka membatasi penerapannya terhadap kaum papa.
    Ke dua: Di dalam hadits-hadits ini ada faidah, yaitu bahwa tasyri’ itu bukan terbatas pada tahlil dan tahrim saja... yaitu tidak terbatas pada masalah hukum-hukum taklifiy, berupa pengharaman atau pencegahan dan pembolehan serta pewajiban dan yang lainnya, akan tetapi masuk dalam hal itu hukum-hukum wadl’iy, hudud, ukuran-ukuran nishab yang telah Alloh tetapkan dalam warisan, zakat dan yang lainnya. Oleh sebab itu siapa yang mensyari’atkan asbab, mawani atau hudud (sanksi-sanksi hukuman) atau hukum-hukum yang tidak diizinkan oleh Alloh ta’aalaa, dan dia menjadikan manusia tunduk kepadanya dan dia memberikan sanksi atas dasar itu atau dengannya, maka perumpamaan dia adalah seperti orang yang menghalalkan hal yang haram atau mengharamkan hal yang halal.
    Karena di sini Yahudi tidaklah menghalalkan zina, bahkan justeru mereka meyakini bahwa itu haram, dan andaikata mereka menganggapnya halal tentulah mereka tidak menetapkan baginya sanksi apapun macamnya.
    Hadits-hadits ini menjelaskan dengan gamblang bahwa kesepakatan mereka terhadap sanksi selain sanksi (dari) Alloh padahal mereka itu meyakini bahwa zina itu haram adalah sebab turun firman-Nya ta’aalaa: “Dan siapa yang tidak memutuskan dengan apa yang telah Alloh turunkan maka mereka itulah orang-orang yang kafir” (Al Maa-idah: 44).
    Ke tiga: Ucapan kalangan awam mereka tatkala ditanya oleh Nabi shalallaahu ‘alaihi wa sallam: Apakah seperti ini kalian mendapatkan had pezina dalam Kitab kalian?) Mereka berkata: Ya, dan dalam satu riwayat: bahwa seorang di antara mereka menutupkan tangannya pada ayat rajam...
    Tidak ragu bahwa pengada-adaan atas nama Alloh ini dengan sendirinya adalah kufur akbar, sama saja baik dalam penisbatan kekafiran dan hukum thaghut kepada Alloh maupun dalam penisbatan maksiat dan kemungkaran atau kezhaliman kepada-Nya. Semua itu adalah mengada-ada dan dusta atas nama Alloh, sedangkan Alloh telah manjadikan itu lebih besar dari syirik dalam firman-Nya ta’ala:
        •                         
    “Katakanlah: Tuhanku hanya mengharamkan perbuatan yang keji, baik yang nampak maupun yang tersembunyi, dan perbuatan dosa, melanggar hak manusia tanpa alasan yang benar, (mengharamkan) mempersekutukan Alloh dengan sesuatu yang Alloh tidak menurunkan hujjah untuk itu dan (mengharamkan) mengada-adakan terhadap Alloh apa yang tidak kamu metahui”. (Al A’raaf: 33).
    Oleh sebab itu sesungguhnya apa yang dilakukan orang-orang Yahudi di sini adalah kekafiran yang berlapis dua:
    1- Pembuatan aturan yang tidak Alloh izinkan atau bersekongkol dan bermufakat terhadap aturan kafir.
    2- Penyandaran hukum yang batil ini kepada Alloh.
    Mengada-ada dan berdusta atas nama Alloh adalah kekafiran baik dalam bab pembuatan hukum atau dalam bab meninggalkan putusan atau dalam bab yang lainnya.
    Alloh ta’aalaa berfirman:
               
    “Sesungguhnya yang mengada-adakan kebohongan, hanyalah orang-orang yang tidak beriman kepada ayat-ayat Alloh.” (An Nahl: 105).
    Dan Dia Subhaanahu wa ta’aalaa berfirman:
                      
    “Dan siapakah yang lebih zhalim daripada orang-orang yang mengada-adakan kedustaan terhadap Alloh atau mendustakan yang hak tatkala yang hak itu datang kepadanya? Bukankah dalam neraka jahannam itu ada tempat bagi orang-orang yang kafir.” (Al ‘Ankabuut: 68).
    Dan Dia ‘azza wa jalla berfirman tentang status sebagian orang-orang yang membuat aturan:
                           
    “Alloh sekali-kali tidak pernah mensyari’atkan adanya bahirah, saaibah, washilah dan ham. Akan tetapi orang-orang kfir membuat-buat kedustaan terhadap Alloh, dan kebanyakan mereka tidak mengerti.” (Al-Maidah: 103).
    Orang yang sesekali meninggalkan putusan Alloh –karena syahwat atau hawa nafsu– dia itulah macam orang yang kami melakukan rincian di dalamnya, karena dia berkomitmen dengan aturan Alloh, dia menjadikannya sebagai acuan dan dia tidak berpaling darinya secara total; dan dia itulah orang yang tidak kami kafirkan kecuali bila dia mengingkari atau menganggap halal. Andaikata dia itu berkata: “Bahwa perbuatannya pada kasus itu adalah berasal dari Alloh atau ia itu adalah hukum Alloh”, tentulah dia kafir, karena dia telah menisbatkan kezhaliman dan aniaya serta hawa nafsu kepada Alloh, Maha Suci Alloh dari apa yang mereka sandarkan.
    Oleh sebab itu tidak boleh membatasi kekafiran yang nyata atau hukum thaghut tersebut dengan hal itu, di mana dia tidak mengkafirkan si pembuat hukum/undang-undang itu kecuali bila dia menisbatkan hukumnya yang kafir itu kepada Alloh sebagaimana yang disyaratkan sebagian Ahlut Tajahhum Wal Irja97. Akan tetapi pembuatan hukum thaghut itu dengan sendirinya adalah kekafiran sebagaimana yang telah engkau ketahui; sedangkan menisbatkan hal itu kepada Alloh adalah pengada-adaan atas nama-Nya dan tambahan dalam kekafiran... sebagaimana firman Alloh ta’aalaa : “Sesungguhnya mengundur-undur bulan haram itu adalah menambah kekafiran” (At Taubah: 37).
    Sehingga sahlah bahwa sebagian orang kadang mengumpulkan berbagai kekafiran, sehingga dia lebih parah dalam kekafirannya daripada orang yang hanya mengoleksi satu sebab dari sebab-sebab kekafiran. Dan tidak sah membatasi dan mensyaratkan dalam takfier keberadaan si orang itu mengoleksi dua atau lebih dari sebab-sebab kekafiran dan kalau tidak (demikian) maka tidak boleh mengkafirkannya; seperti keadaan di mana si pembuat hukum/UUD itu tidak dikafirkan kecuali bila dia menambahkan kepada kufur tasyri’ (pembuatan hukum) kufur iftira (kekafiran karena mengada-ada) dan menyandarkan hukum buatannya itu kepada Alloh!! Dan syarthiyyah (keberadaan suatu sebagai syarat) itu memiliki bentuk yang sudah terkenal dalam syari’at, sedangkan tidak setiap khabar itu memberikan faidah atau mengharuskan sebagai syarat, kecuali suatu yang datang dengan bentuk syarat yang terkenal yang mana ketidakadaannya berpengaruh pada ketidakadaannya yang disyaratkan.98
    Syaikhul Islam berkata: “Dan ketahuilah bahwa kekafiran itu sebagiannya lebih dahsyat dari yang lain. Orang kafir yang mendustakan lebih dahsyat kebejatannya dari orang kafir yang tidak mendustakan, karena dia itu mengumpulkan antara meninggalkan al iman yang diperintah dengan pendustaan yang memang dilarang. Siapa yang kafir dan mendustakan serta memerangi Alloh, Rasul-Nya dan kaum mu’minin dengan tangan dan lisannya adalah lebih dahsyat kebejatannya daripada orang yang hanya membatasi pada sekedar kekafiran dan pendustaan”99 Selesai.
    Ibnu Hazm berkata: “Sebagian kekafiran lebih besar dan lebih dahsyat dari sebagian yang lain, sedangkan seluruhnya adalah kekafiran. Dan Alloh ta’aalaa telah mengabarkan tentang sebagian kekafiran bahwa: “...Hampir-hampir langit pecah karena ucapan itu, dan bumi belah, dan gnung-gunung runtuh” dan Dia ‘azza wa jalla berfirman: “Sesungguhnya orang-orang munafiq itu berada di tingkatan yang paling bawah dari neraka” dan Dia ta’aalaa berfirman: “Masukkanlah Fir’aun dan kaumnya ke dalam ‘adzab yang sangat keras”100
    Dan beliau juga berkata dalam Al Fashl 3/245 saat menjelaskan firman Alloh ta’aalaa: “Sesungguhnya mengundur-undurkan bulan haram itu adalah menambah kekafiran”. “Dan sesuai ketentuan bahasa yang mana Al Qur’an turun dengannya bahwa tambahan dalam sesuatu tidak mungkin terjadi, kecuali bagian darinya bukan dari selainnya, sehingga sahlah bahwa pengundur-unduran bulan haram itu adalah kekafiran, sedangkan ia adalah ‘amal (perbuatan) dari banyak amalan, dan ia itu adalah penghalalan apa yang telah Alloh ta’aalaa haramkan, padahal siapa yang menghalalkan apa yang telah Alloh ta’aalaa haramkan sedang dia mengetahui bahwa Alloh ta’aalaa telah mengharamkannya maka dia itu kafir dengan perbuatan itu sendiri”. Selesai.
    Dan perhatikanlah penekanan beliau terhadap (perbuatan itu sendiri), karena yang beliau maksudkan adalah bantahan terhadap Ahlut Tajahhum Wal Irja yang tidak mengkafirkan kecuali dengan sebab pengingkaran hati dan keyakinannya. Dan perhatikanlah bahwa kaum msuyrikin itu tatkala mereka mengganti bulan haram dengan Shafar tidaklah mereka sandarkan tabdil (penggantian) atau tahrim atau tahlil itu kepada Alloh, bahkan justru seorang laki-laki dari Bani Kinanah datang di musim haji terus menyerukan: “Wahai manusia, sesungguhnya saya tidak dicela dan tidak disambut, sesungguhnya kita telah mengharamkan Shafar dan mengakhirkan bulan Muharram”.
    Dalam benaknya mereka mengetahui dan meyakini bahwa bulan-bulan yang Alloh haramkan adalah Rajab, Dzul Qa’dah, Dzul Hijjah dan Muharram, sedangkan penangguh-nangguhan bulan haram itu adalah kemufakatan dan kesepakatan dari mereka, agar mereka tetap menyelaraskan dan menjaga bilangan yang Alloh haramkan atas mereka, yaitu empat bulan, namun demikian sungguh Alloh telah memvonis atas hal itu dengan vonis kafir karena kemufakatan dan kesepakatan mereka atas tabdil itu.
    Maka ini adalah kekafiran lain di atas kekafiran mereka terhadap Islam dan kekafiran mereka terhadap kenabian Muhammad shalallaahu ‘alaihi wa sallam serta kemusyrikan mereka terhadap Alloh.
    Dan sudah ma’lum bahwa mengada-ada atas Alloh dengan cara menyandarkan hukum-hukum buatan kepada-Nya adalah tidak ada pada Ahlul Kitab seluruhnya, namun ia adalah perbuatan segolongan dari mereka, sebagaimana firman Alloh ta’aalaa: “Sesungguhnya di antara mereka ada segolongan yang memutar-mutar lidahnya membaca Al Kitab, supaya kamu menyangka yang dibacanya itu sebagian dari Al Kitab, padahal ia bukan dari Al Kitab dan mereka mengatakan: Ia (yang dibaca itu datang) dari sisi Alloh, padahal ia bukan dari sisi Alloh. Mereka berkata dusta terhadap Alloh, sedang mereka mengetahui.” (Ali ‘Imran: 78).
    Ucapan kaum awam Yahudi dalam hadits Al Barra tatkala mereka ditanya Nabi shalallaahu ‘alaihi wa sallam tentang had zina yang diganti: “Apakah seperti ini kalian dapatkan had pezina dalam kitab kalian? Mereka menjawab: Ya...” adalah termasuk jenis itu, maka ia adalah mengada-ada atas Alloh dan ia adalah kekafiran di atas kekafiran, yaitu kufur dusta dan pengada-adaan atas Alloh, sedangkan pemberlakuan mereka terhadap hukum yang diada-adakan adalah kekafiran yang ke tiga.
    Adapun ucapan orang alim mereka setelah itu tentang had zina dalam Taurat: “Kami mendapatkannya rajam, akan tetapi hal itu (zina) banyak terjadi di kalangan bangsawan kami... sampai ucapannya... kami berkata: Mari kita bersepakat terhadap suatu (hukuman) yang kita tegakkan terhadap orang bangsawan dan orang kalangan bawah. Akhirnya kami jadikan hukuman pada wajah dan dera sebagai pengganti rajam...” Ditegaskan bahwa had yang mana Rasululloh shalallaahu ‘alaihi wa sallam bertanya kepada mereka tentangnya adalah hasil buatan mereka dan produk para pendahulu mereka dan (orang alim) itu tidak menyandarkannya kepada Alloh sebagaimana yang dilakukan oleh kalangan awam (bodoh) mereka.
    Kekafiran ini tergolong bab tasyri’ (pembuatan hukum) atau pemufakatan terhadap aturan-aturan thaghut, sedangkan ia adalah kufur akbar meskipun mereka tidak menyandarkannya kepada Alloh, kemudian bila mereka memutuskan dengannya dan mengharuskan manusia untuk mengikutinya, maka mereka telah menggabungkan kepadanya kekafiran lain.
    Dan dalam itu semua Alloh ta’aalaa menurunkan: “Dan siapa yang tidak memutuskan dengan apa yang telah Alloh turunkan maka mereka itu adalah orang-orang kafir...”, sebagaimana yang dikatakan Al Bara di akhir hadits.
    Dan sesuatupun darinya tidak datang sebagai bentuk pensyaratan dan pembatasan, sehingga siapa yang membatasi ayat-ayat itu terhadap suatu makna –dari itu semuanya– tanpa yang lainnya, maka dia dituntut mendatangkan dalil.
    Dan siapa yang mengaitkan tasyri’ (pembuatan hukum) dengan iftira (pengada-adaan) penyandarannya kepada Alloh, dan dia mensyaratkan pengaitan itu dalam takfier para pembuat hukum/aturan/UU/UUD, maka berarti dia telah mensyaratkan syarat yang tidak pernah Alloh syaratkan, sedangkan setiap syarat yang tidak ada dalam kitab Alloh maka ia adalah batil.
    Ini makin jelas dengan apa yang telah kami ketengahkan dari Asy Syinqithiy dan yang lainnya bahwa penyekutuan Alloh dalam hukum-Nya adalah seperti penyekutuan terhadap dalam ibadah-Nya dan bahwa orang yang memberlakukan Qawanin (undang-undang) adalah seperti penyembah berhala, dan ini dibuktikan oleh firman Alloh suhaanahu wa ta’aalaa sebagaimana dalam qira’ah Ibnu ‘Amir sedang ia tergolong qira’ah sab’ah: “Dan janganlah kamu menyekutukan seorangpun dalam hukum-Nya” dengan shighat (bentuk kalimat) larangan, di mana ia menjelaskan dengan sangat gamblang bahwa penyekutuan Alloh sebagaimana ia ada dalam macam-macam ibadah, maka begitu juga ada dalam bab hukum dan tasyri’, dan itu terjadi dengan menerima sebagian tasyri’ (aturan) dari Alloh dan sebagiannya dari apa yang tidak Alloh izinkan dari selain-Nya subhaanahu wa ta’aalaa. Dan untuk menjadi musyrik itu tidak disyaratkan dia menyandarkan hukum selain-Nya tersebut kepada Alloh, persis seperti orang yang beribadah kepada Alloh dan juga beribadah kepada selainnya, maka dia musyrik dan untuk dikafirkan dan menjadi musyrik tidaklah mesti dia mengkalim bahwa yang dia ibadati selain Alloh itu adalah Alloh subhaanahu.
    Ke empat: Dan untuk menambah penjelasan perbedaan antara meninggalkan memutuskan dengan apa yang telah Alloh turunkan dengan memutuskan dengan selain apa yang telah Alloh ta’aalaa turunkan (dengan makna tasyri’nya)... Perhatikan ucapan orang alim Yahudi dalam hadits Al Barra “...Kami mendapatkannya rajam), akan tetapi hal itu banyak terjadi di kalangan bangsawan kami, adalah kami bila mendapatkan orang bangsawan maka kami membiarkannya, dan bila kami mendapatkan orang lemah, maka kami menegakkan had terhadapnya...”
    Maka sampai di sini, kebejatan mereka dalam bidang hukum adalah (meninggalkan pemutusan dengan apa yang telah Alloh turunkan) sesekali terhadap sebagian manusia tanpa mereka menghukumi dengan hukum yang lain dan tanpa mereka berpaling dari hukum Alloh ta’aalaa secara total. Dan gambaran inilah yang disebutkan oleh sebagian ulama saat mereka membuat rincian dalam masalah al hukmu bi ghairi ma anzalAlloh antara orang yang mengingkari atau menganggap halal dengan yang lainnya. Dan ia adalah gambaran yang mana Murji-atul ‘Ashri melakukan pengkaburan di dalamnya dan mereka menempatkannya terhadap realita pembuatan hukum hari ini.
    Kemudian perhatikan ucapan orang alim mereka setelah itu: “Kami berkata: “Mari kita untuk bersepakat atas sesuatu yang kita terapkan terhadap orang bangsawan dan kalangan bawah, kemudian kami jadikan poles wajah dan dera sebagai pengganti rajam” Selesai. Nah di sinilah mereka berpaling dari had Alloh ta’aalaa dalam zina secara total dan mereka bermufakat dan bersepakat atas pembuatan had (sanksi) selain syari’at Alloh ta’aalaa, yaitu (mereka memutuskan dengan selain apa yang diturunkan Alloh) atau [mereka menggulirkan bagi manusia dari dien (ajaran) ini apa yang tidak Alloh izinkan] atau mereka mengikuti para pembuat hukum (yaitu mereka berhakim kepada thaghut). Dan gambaran ini dengan disertai upaya mereka mendatangi Nabi shalallaahu ‘alaihi wa sallam dengan harapan beliau mengakui mereka atas hukum buatannya, adalah sebab turun firman Alloh ta’aalaa: “Dan siapa yang tidak memutuskan dengan apa yang telah Alloh turunkan maka mereka itu adalah orang-orang kafir”, sebagaimana dalam hadits Al Barra Ibnu ‘Azib...
    Jadi ia adalah nash dalam macam pembuatan hukum thaghut ini, dan inilah penafsirannya dan yang dimaksud darinya, yaitu kufur akbar yang mengeluarkan dari millah. Oleh sebab itu Al Barra berkata setelah membaca tiga ayat itu: (tentang orang-orang kafir semuanya), “maka setiap orang yang melakukan perbuatan mereka walau dalam satu masalah, karena gambaran sebab nuzul adalah mencakupnya sedangkan ayat itu adalah nash yang tegas dalam hal itu”.
    Dan zhahir ayat itu adalah umum mencakup kedua macam pemutusan tersebut, sehingga masuk di bawah keumuman lafazhnya macam pertama, akan tetapi sesungguhnya jumhur salaf mentakwilnya dan memalingkannya dari zhahirnya pada orang yang iltizam (komitmen) dengan syari’at Alloh dan meninggalkan penerapan syari’at sesekali sebagai maksiat, maka berkatalah sebagian mereka (kufrun duna kufrin) atau (bukanlah kekafiran yang mengeluarkan dari millah), dan di antara mereka ada yang membiarkannya sesuai zhahirnya seperti Ibnu Mas’ud tentang putusan dengan risywah (suap).
    Dan ini tidak penting bagi kami karena ia bukan termasuk realita kita, namun yang penting bagi kita adalah macam pembuatan hukum thaghut yang ada di zaman kita, oleh sebab itu engkau jarang melihat kami berdalil dengan ayat ini yang mana Ahlut Tajahhum Wal Irja ngawur memahaminya dan serabutan dalam memposisikannya, karena zhahir ayat ini mengandung dua makna. Dan kami mencukupkan untuk mengkafirkan para penguasa zaman kita ini dengan nash-nash yang tegas yang mencakup para pembuat hukum dan mentaati mereka dalam hukum apa yang tidak Alloh izinkan atau (dengan) ayat-ayat yang berbicara tentang tahakum kepada thaghut dan mencari selain Alloh sebagai rab, musyarri’ (pembuat hukum/UU/UUD) dan pemutus serta yang lainnya.
    Kemudian perhatikan ucapan Al Albaniy hal (64): “Bila kita kembali kepada (Jama’atut Takfier) atau orang yang mencabang dari mereka!! dan vonis-vonis mereka terhadap para penguasa!! Serta terhadap orang-orang yang hidup di bawah panji mereka... dan berkumpul di bawah kekuasaan mereka dan pencapan mereka kafir dan murtad, maka sesungguhnya hal itu dari mereka terbangun di atas pandangan mereka yang rusak yang berdiri di atas (pemahaman) bahwa mereka itu telah melakukan maksiat, sehingga mereka kafir dengannya” Selesai.
    Andaikata Syaikh membatasi ucapannya pada jama’ah yang ia namakan (Jama’atut Takfier) tentulah kami tidak akan mengomentari ucapannya ini, karena sesungguhnya ucapan ini tidak ada kaitannya sama sekali dengan kami, di mana Ushul Jama’ah ini bertentangan dengan Ushul Ahlus Sunnah terutama takfier dengan sebab maksiat secara muthlaq, karena ini adalah ‘Aqidah Khawarij, sedangkan kami berlepas diri darinya.
    Tapi dia –semoga Alloh memberinya hidayah– telah menambahkannya seraya berkata: “...atau orang yang mencabang dari mereka..”, dan ia memaksudkan dengan ini setiap orang yang mengkafirkan para thaghut atau keluar menjihadi mereka dalam rangka merealisasikan tauhid dan menghancurkan syirik dan tandid.
    Hal itu dijelaskan dengan ucapannya yang telah lalu sebelumnya: “Jama’ah takfier atau sebagian macam jama’ah-jama’ah yang menisbatkan dirinya kepada jihad, Sedangkan ia pada hakikatnya termasuk fulul takfier” Selesai.
    Oleh sebab itu kami katakan: Adapun kritikan Syaikh (vonis mereka terhadap para penguasa dengan kufur dan riddah) maka ini adalah yang kami tidak berlepas diri darinya, akan tetapi kami adalah para pelakunya dan kami tidak memiliki dari amal perbuatan suatu yang kami berharap itu mendekatkan diri kami kepada Alloh pada zaman ini sepertinya, oleh sebab itu kami tidak malu dari melontarkannya bahkan kami mengumumkannya dan tidak menyembunyikannya. Kami bangga dengannya dan mengajak kepadanya dalam tulisan-tulisan kami, kajian-kajian kami dan ceramah-ceramah kami, kami meneriakannya dalam setiap pertemuan dan kesempatan, dan kami memuji Alloh ta’aalaa karena Dia telah memberi kami hidayah dan memberikan bashirah akannya, jadi ia adalah dien yang kami anut.
    Sedangkan dalil-dalilnya adalah lebih kokoh di dalam hati kami daripada gunung-gunung yang terpancang dan lebih terang daripada matahari di siang bolong, dan telah kami ketengahkan kepada engkau dalam uraian yang lalu sebagian dari hal itu; dan engkau mendapatkannya dalam tulisan-tulisan kami yang telah kami tuangkan dalam bab ini.
    Silahkan kembali ke sana, tentu engkau akan mendapatkan dengan sangat jelas bahwa hal ini tidak dibangun –sebagaimana yang diklaim Syaikh dalam lontarannya– di atas pemahaman bahwa mereka itu telah melakukan maksiat...!!!.
    Akan tetapi ia dibangun di atas pemahaman bahwa mereka itu telah menghancurkan tauhid, mereka menegakkan dan menyiarkan syirik dan tandid.
    Adapun apa yang dituturkan Syaikh berupa vonis mereka dengan vonis (kafir dan riddah terhadap orang-orang yang hidup di bawah panji mereka dan bergabung di bawah kekuasaan dan penguasaan mereka) maka ini tidak benar.
    Dan syaikh di dalamnya telah ngawur dan menyelisihi al haq dan kebenaran, terutama sesungguhnya ia –sebagaimana yang telah engkau lihat– telah melontarkan itu terhadap orang yang kafir terhadap thaghut dan menjihadi mereka. Dan ia tidak mengkhususkannya pada orang-orang yang ia namakan sebagai jama’ah takfier.101 Sedangkan setiap orang yang memiliki pengetahuan akan jama’ah-jama’ah jihad di dunia hari ini atau ia membaca sedikit dari tulisan-tulisan mereka, tentu dia mengetahui bahwa jama’ah-jama’ah ini tidak mengatakan pendapat yang dituduhkan Syaikh ini.
    Kami juga tidak mengatakan vonis muthlaq semacam yang dituturkan Syaikh tadi, karena mayoritas manusia pada zaman kita ini mau tidak mau hidup dengan sebab ketertindasan di bawah panji pemerintah-pemerintah syirik dan tandid, dan mereka tinggal di payung kekuasaan pemerintah-pemerintah diktator ini. Sedangkan kami hanyalah mengkafirkan dari mereka orang yang menghancurkan tauhid dan membela syirik dan tandid secara suka rela tanpa dipaksa, atau orang yang membela kaum musyrikin atas kaum muwahhidin yang kafir terhadap pemerintah-pemerintahnya dan para thaghutnya.
    Adapun orang yang beriman kepada Alloh dan menjauhi thaghut dengan makna bahwa ia menjauhi peribadatan terhadapnya dan menjauhi pembelaan terhadap hukum dan kemusyrikannya serta pembelaan terhadap auliyanya atas kaum muwahhidin, maka ia itu telah merealisasikan tauhid yang mana ia adalah hak Alloh atas hamba-Nya, dan orang macam ini sama sekali kami tidak menyinggung pengkafirannya walaupun dia itu pegawai di pemerintahan-pemerintahan ini.
    Kami telah merinci pembahasan tentang hukum pekerjaan di pemerintahan-pemerintahan ini di tempat lain, dan telah kami jelaskan bahwa kami tidak mengatakan bahwa itu semuanya adalah kekafiran, dan kami tidak mengharamkannya semuanya juga, akan tetapi di dalamnya ada yang merupakan kekafiran, ada juga yang haram serta ada yang tidak seperti itu.102
    Lontaran Syaikh ini dan penisbatannya kepada jama’ah-jama’ah jihad atau yang lainnya tanpa mencari kejelasan dan tabayyun adalah sikap ngawur dan menyeleisihi kebenaran. Dan di sini saya mengingatkannya dengan firman Alloh ta’aalaa :
     •            •        

    “Dan janganlah sekali-kali kebencianmuterhadap suatu kaum, mendorong kamu untuk berlaku tidak adil. Berlaku adillah, karenaadil itu lebih dekat kepada taqwa”. (Al-Maaidah : 48)
    Syaikhul Islam berkata: “Dan ayat ini turun dengan sebab kebencian mereka terhadap (orang) kafir, sedangkan ia adalah kebencian yang diperintahkan, bila saja kebencian yang Alloh perintahkan kepada kita ini telah melarang orangnya dari menzhalimi orang yang dia benci, maka apa gerangan dengan kebencian muslim dengan sebab syubhat dan takwil atau dengan hawa nafsu?! Maka ia lebih berhak untuk tidak dizhalimi namun diperlakukan secara adil”. Selesai (Minhajus Sunnah 5/127).
    Saya berkata: Maka apa gerangan dengan menzhaliminya karena sebab kemurnian dakwah tauhidnya atau karena bara’ahnya dia syirik dan tandid?!
    Bila engkau telah mengetahui apa yang telah lalu, maka nampak bagimu bahwa tidak ada hubungannya dengan kami atau muwahhid mana saja yang mengkafirkan para thaghut dan berupaya untuk menjihadinya perbincangan yang dilakukan oleh Al Albaniy dengan laki-laki yang ia cap bahwa dia berasal dari jama’ah takfier kemudian Alloh memberinya hidayah.
    Karena kami tidak mengatakan sebagaimana yang diklaim oleh dia bahwa manusia telah rela dengan hukum para penguasa yang tidak berhukum dengan apa yang telah Alloh turunkan.
    Dan orang yang kami kafirkan dari kalangan manusia maka sesungguhnya kami tidak membelah dadanya untuk mengetahui sikap ridla dan tidaknya dia, namun kami hanya mengkafirkannya dikarenakan dia telah menampakkan suatu yang lebih besar dari sekedar ridla/rela, yaitu nushrah, dukungan dan tawalliy.
    Siapa yang tawalliy kepada para thaghut itu dan membela dien (ajaran) mereka yang syirik dan hukum mereka yang batil serta undang-undang mereka yang kufur, dan membantu mereka atas kaum muwahhidin, maka kami mengkafirkannya. Berdasarkan firman Alloh ta’ala: “Dan siapa yang tawalliy kepada mereka di antara kalian, maka sesungguhnya ia termasuk golongan mereka” (Al Maidah: 51)
    Ibnu Hazm telah menuturkan ijma bahwa ayat ini sesuai zhahirnya, dan bahwa setiap orang yang tawalliy kepada orang-orang kafir, maka ia kafir seperti mereka. Alloh ta’aalaa:
        •           
    “Dan seandainya mereka beriman kepada Alloh, Nabi dan apa yang diturunkan kepadanya tentulah mereka tidak menjadikan mereka (kuffar) sebagai auliya akan tetapi banyak dari mereka itu fasiq” (Al Maa-idah: 81).
    Ini adalah vonis dari Alloh terhadap orang yang tawalliy kepada mereka, dan ia itu bukan batasan bagi hukum (vonis) itu.
    Dan kami maksudkan dengan tawalliy adalah nushrah (pembelaan) terhadap kemusyrikan mereka dan undang-undang mereka yang kafir atau membela mereka atas kaum muwahhidin)... dan kami tidak memaksudkan dengan hal itu mudahanah atau membantu terhadap kezhaliman atau memperbanyak jumlah kezhaliman dan yang lainnya... berupa hal-hal yang dituturkan sebagian ulama dalam muwaalah sebagai bentuk penganggapan besar akan keberadaan jalan-jalan yang bisa menghantarkan kepada kekafiran dan sebagai bentuk penutupan akan seluruh jalan-jalannya yang menghantarkan kepadanya.
    Dan kami tidak mengatakan sebagaimana yang disyaratkan Murji-ah : Mesti tawalliy kepada mereka dengan hatinya, atau menghalalkan tawalliy itu. Namun justeru ini menurut Ahlus Sunnah adalah tambahan dalam kekafiran.
    Kita tidak diperintahkan untuk mengorek isi hati manusia, namun kita hanya diperintahkan untuk menghukumi berdasarkan apa yang mereka tampakkan kepada kita, oleh sebab itu siapa yang menampakkan di hadapan kita bahwa ia termasuk barisan thaghut, golongannya, kelompoknya, elemennya dan ansharnya, maka orang ini belum merealisasikan tauhid dan tidak merealisasikan penafian yang telah Alloh sebutkan dalam syahadat (laa ilaaha illAlloh)...
    Dia itu belum menjauhi thaghut dan tidak berlepas dari syirik dan tandid, dan dia belum berkomitmen dengan apa yang menjadi inti dakwah semua rasul:
        •        
    “Dan sesungguhnya Kami telah mengutus pada setiap umat seorang rasul (mereka berkata): “Ibadahlah kalian kepada Alloh dan jauhilah thaghut.” (An Nahl: 36).
    Namun justeru dia berkomitmen dengan lawan dan kebalikannya:
           
    “Maka orang-orang yang zhalim itu mengganti ucapan yang tidak dikatakan kepada mereka”. (Al Baqarah: 59)
    Yang seharusnya dia kafir terhadap thaghut dan menjauhinya, dia malah melindunginya, membelanya dan mengokohkan dien thaghut yang batil dan aturannya yang kafir, dia memerangi serta memusuhi setiap orang yang berlepas diri darinya atau menantangnya atau berupaya untuk merubahnya serta menghancurkannya...!!!
    Kemudian dikatakan: Mereka itu Khawarij!! Dan ini adalah takfier dengan sebab maksiat!!
    Padahal sesungguhnya Rasululloh shalallaahu ‘alaihi wa sallam berkata dalam hadits yang diriwayatkan Muslim dari Abu Malik Al Asyja’iy dari ayahnya: “Siapa yang mengucapkan laa ilaaha illallaah dan dia kafir terhadap segala yang diibadati selain Alloh maka haramlah harta dan darahnya sedangkan penghisabannya atas Alloh ‘azza wa jalla”.
    Syaikh Muhammad Ibnu Abdil Wahhab Rahimahulloh berkata dalam rangka berkomentar atas hadits ini: “Dan ini tergolong hal terbesar yang menjelaskan makna laa ilaaha illAlloh, karena sesungguhnya Dia tidak menjadikan pelafalan terhadapnya sebagai penjaga darah dan harta, bahkan tidak pula (menjadikan pengetahuan akan) maknanya bersama lafazhnya, bahkan tidak pula pengakuan terhadapnya, dan tidak pula keberadaan dia tidak menyeru kecuali Alloh saja tidak ada sekutu bagi-Nya, bahkan harta dan darahnya tidak haram sampai dia menambahkannya dengan kufur terhadap segala yang diibadati selain Alloh. Bila dia ragu atau tawaqquf maka harta dan darahnya tidak haram”. Selesai dari Qurratu ‘Uyunil Muwahhidin (Bab Tafsir Tauhid dan Syahadat laa ilaaha illAlloh).
    Sungguh masalah yang amat besar dan agung, dan sungguh penjelasan yang sangat nyata dan hujjah yang sangat pemungkas bagi yang menentang.
    Dan ringakasnya bahwa kami tidak mengkafirkan dengan sekadar maksiat sebagaimana yang dilakukan Khawarij dan Ghulatul Mukaffirah pada zaman ini, namun kami hanya mengkafirkan orang yang membatalkan tauhid dan membela syirik juga tandid. Maka silahkan Syaikh dan para muqallid-nya mendebat kami bila mereka mau dalam hal ini –tidak yang lain–, oleh sebab itu pengarahan Syaikh dalam diskusinya dengan orang itu terhadap kekafiran orang-orang yang di bawah kekuasaannya secara muthlaq adalah tidak ada kaitannya dengan kami, karena kami bara darinya.
    Yang penting bagi kita dari ucapan Syaikh hanyalah sikap pembelaannya terhadap para thaghut-thaghut itu dan serangannya terhadap orang yang mengkafirkannya serta orang yang berupaya merubah mereka dan menjihadinya.
    Seperti ucapannya hal 66: “Kalian terlebih dahulu tidak mampu menghukumi terhadap setiap orang yang memutuskan dengan qawanin barat yang kafir –atau dengan banyak darinya– bahwa seandainya ia ditanya tentang al hukmu bi ghairi ma anzalAlloh! Tentu ia menjawab: bahwa pemutusan dengan undang-undang ini adalah kebenaran dan yang layak pada masa kini! Dan bahwasanya tidak boleh memutuskan dengan (hukum) Islam!! Karena mereka seandainya mengatakan itu tentulah mereka kafir –dengan sebenarnya– tanpa ragu atau bimbang” Selesai.
    Maka kami katakan: Kami tidak mensyaratkan hal seperti ini, karena kami meyakini sebagaimana yang telah kami ketengahkan kepada engkau bahwa pembuatan hukum di samping Alloh adalah kufur akbar dan syirik yang nyata yang tidak berbeda dari penyembahan berhala... sebagaimana yang sudah lalu dari Syaikh Asy Syinqithiy dan Syaikh Muhammad Ibnu Ibrahim serta yang lainnya.
    Tidak seorang pun dari Ahlus Sunnah mensyaratkan dalam takfier penyembah berhala keberadaan orang itu berkata: Bahwa penyembahannya adalah benar dan pantas, dan bahwa tidak boleh mentauhidkan Alloh dalam ibadah atau tasyri’, akan tetapi dia itu kafir, baik menyatakan itu ataupun tidak, sedangkan pengucapannya ini bila dia mengatakannya tidak lain adalah tambahan dalam kekafiran menurut kami.
    Dan siapa yang mensyaratkan hal itu maka dialah yang dituntut untuk mendatangkan dalil, dan kalau tidak bisa maka setiap syarat yang tidak ada dalam Kitabullah adalah batil.
    Adapun ucapan Syaikh hal 67: “Kapan vonis diterapkan kepada orang muslim yang bersaksi laa ilaaha illAlloh dan Muhammad Rasululloh –dan bisa jadi dia itu sholat– bahwa dia itu telah murtad dari diennya? Apakah itu cukup satu kali? Atau bahwa ia wajib menyatakan bahwa ia murtad dari dien ini? Sesungguhnya mereka tidak mengetahui jawaban! Dan tidak mengetahui kebenaran!!” Selesai.
    Maka kami katakan: Tapi kami Insya Alloh memiliki jawaban dan kebenaran.
    Syarat-syarat ini adalah syarat-syarat yang tidak pernah dikatakan oleh seorangpun dari para imam yang kokoh ilmunya sebelum Syaikh. Ya kami mendengar semisal itu pada zaman ini dari para pengekor syaikh atau dari orang-orang yang tergabung dalam jama’ah-jama’ah Tajahhum wal Irja modern, sedangkan ia adalah syarat-syarat yang tidak pernah Alloh turunkan satu keterangan pun tentangnya.
    Berapa banyak orang yang telah Alloh jelaskan kekafirannya dalam Al Qur’an sedangkan mereka itu mengira mendapat petunjuk.
    Dan banyak sekali Dia sebutkan orang-orang yang rugi, di dunia dan di akhirat sedang mereka menduga telah berbuat baik.
    Berapa banyak orang yang telah Alloh kafirkan di dalam Kitab-Nya tanpa mereka menyatakan bahwa diri mereka itu murtad dari dien ini dan tanpa mereka berlepas diri dari ajaran-ajaran-Nya.
    Di antara contoh itu adalah apa yang telah Alloh turunkan tentang orang-orang yang keluar berjihad bersama Rasululloh shalallaahu ‘alaihi wa sallam dalam peperangan terbesar Nabi shalallaahu ‘alaihi wa sallam, mereka bersyahadat laa ilaaha illAlloh, mereka shalat dan shaum serta mereka itu dinyatakan dengan nash Al Qur’an bahwa mereka itu asalnya kaum mu’minin, kemudian Alloh kafirkan mereka setelah keimanannya itu dengan sebab kalimat-kalimat yang mereka ucapkan dalam rangka perolok-olokkan terhadap para penghapal Kitabullah ta’aalaa; Alloh berfirman: “Dan seandainya kamu bertanya kepada mereka tentulah mereka menyatakan: Kami hanyalah bersenda gurau dan bermain-main, Kataknalah: Apakah dengan Alloh, ayat-ayat-Nya dan Rasul-Nya kamu memperolok-olok? Jangan kamu mencari alasan, sungguh kamu telah kafir setelah kamu beriman”.103
    Ath Thabari dan ahli tafsir lainnya telah menuturkan atsar-atsar tentang sebab nuzul, yang sebagiannya datang dari Abdullah Ibnu Umar ucapannya tentang sebagian orang-orang yang Alloh kafirkan itu: “Saya melihat dia menggelayuti pelana unta Rasululloh shalallaahu ‘alaihi wa sallam sedang bebatuan membenturi dia dan dia berkata: Wahai Rasululloh kami ini hanya bersenda gurau dan bermain-main...”
    Dan dalam sebagian riwayat: “Kami ini hanya berbincang-bincang ucapan yang biasa diucapkan para pengendara yang dengannya kami menghilangkan kejenuhan di jalan...”
    Yaitu artinya wahai Syaikh: Mereka itu tidak menyatakan murtad sebagaimana yang engkau syaratkan...!!!
    Maka tsabit-lah dengan penegasan firman Alloh bahwa orang muslim yang bersaksi laa ilaaha illAlloh dan Muhammad Rasululloh serta shalat bisa saja kafir setelah keimanannya bila dia terjatuh pada suatu dari pembatal-pembatal keIslaman tanpa dia menyatakan murtad.
    Dan bahwa tidak wajib –sebagaimana yang dikatakan Syaikh– bagi setiap orang agar menjadi kafir; dia itu menyatakan bahwa ia murtad dari dien ini, atau bersengaja dan bermaksud keluar darinya.
    Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah berkata dalam Ash Sharimul Maslul hal (370): “Dan tujuan di sini sesungguhnya sebagaimana riddah itu bisa kosong dari hinaan (kepada Alloh), maka begitu juga ia kosong dari maksud ganti agama dan (dari) keinginan mendustakan risalah, sebagaimana halnya kekafiran iblis kosong dari tujuan mendustakan Rububiyyah, namun ketidakadaan maksud ini tidaklah bermanfaat bagi dia, sebagaimana tidak bermanfaat bagi orang yang mengatakan kekufuran sikap dia tidak bermaksud untuk kafir” Selesai.
    Alloh ta’aalaa telah mengabarkan tentang mayoritas orang-orang kafir bahwa mereka itu menduga bahwa mereka berbuat baik, bahkan mereka memandang bahwa mereka lebih lurus jalannya daripada orang-orang yang beriman.
    Di antaranya firman Alloh ta’aalaa:
           •       •  •                
    “Katakanlah: Apakah akan kami beritahukan kepadamu tentang orang-orang yang paling merugi perbuatannya. Yaitu orang-orang yang telah sia-sia perbuatannya dalam kehidupan dunia ini, sedangkan mereka menyangka bahwa mereka berbuat sebaik-baiknya. Mereka itulah orang-orang yang kufur terhadap ayat-ayat Tuhan mereka dan (kufur terhadap) perjumpaan dengan Dia, maka hapuslah amlan-amalan mereka, dan kami tidak mengadakan sautu penilaian bagi (amalan) mereka pada hari kiamat”. (Al Kahfi: 103-105).
    Ibnu Jarir Ath Thabariy berkata dalam tafsirnya: “Dan ini tergolong dalil yang paling menunjukkan atas kekeliruan orang yang mengklaim bahwa tidak seorang pun kafir terhadap Alloh, kecuali bila dia bermaksud kafir setelah mengetahui akan kekuasaan-Nya...” hingga ucapannya “...dan seandainya pendapat (yang benar) itu sebagaimana yang dikatakan oleh orang-orang yang mengklaim bahwa tidak seorang pun kafir terhadap Alloh, kecuali dari sisi dia mengetahui, tentulah wajib orang-orang yang dalam amalannya yang Alloh kabarkan tentang mereka bahwa mereka itu mengira di dalamnya bahwa mereka itu berbuat baik (tentulah wajib mereka itu) diberi balasan dan pahala di dalamnya, akan tetapi pendapat (yang benar) adalah berbeda dengan apa yang mereka katakan, di mana Alloh Yang Maha Terpuji mengabarkan tentang mereka bahwa mereka itu kafir terhadap Alloh dan bahwa amalannya itu sia-sia”. Selesai hal 44-45 cet. Darul Fikr.
    Beliau Rahimahulloh berkata dalam Tahdzibil Atsar setelah menuturkan sebagian hadits-hadits yang menyebutkan Khawarij: “Di dalamnya ada bantahan terhadap pendapat orang yang berkata: Tidak seorang pun dari ahlul kiblat dikeluarkan dari Islam setelah dia berhak mendapatkan hukumnya, kecuali dengan maksud keluar darinya seraya mengetahui”. Selesai, dinukil dari Fathul Bari Kitab Istitabatil Murtaddin Bab Man Taraka Qitalal Khawarij…
    Dan Ibnu Hajar berkata dalam bab yang sama: “Dan di dalamnya (ada faidah) bahwa di antara kaum muslimin ada orang yang keluar dari dien ini, tanpa dia bermaksud keluar darinya dan tanpa dia memilih dien lain selain Islam”. Selesai.
    Dan juga Alloh telah menuturkan dalam Kitab-Nya bahwa sejumlah orang pada zaman Nabi shalallaahu ‘alaihi wa sallam telah menampakkan iman dan Islam terus mereka berpaling dari putusan dengan apa yang Alloh turunkan dan dari putusan Rasul dan mereka malah ingin berhakim kepada thaghut, maka Alloh ta’aalaa mendustakan klaim iman mereka itu dan Dia namakannya sebagai klaim, Dia berfirman:
                                  
    “Apa kamu tidak memperhatikan kepada orang-orang yang mengklaim bahwa mereka itu telah beriman terhadap apa yang diturunkan kepadamu dan apa yang diturunkan sebelummu, mereka ingin berhakim kepada thaghut padahal mereka telah diperintahkan untuk kafir terhadapnya...” (An Nisaa’: 60).
    Perhatikanlah bagaimana Alloh mendustakan klaim iman mereka, di mana Dia menamakan hal itu sebagai klaim, padahal mereka itu tidak menyatakan murtad secara terang-terangan, namun justeru mereka sebagaimana yang Alloh subhaanahu firmankan setelah itu: “Mereka bersumpah dengan (nama) Alloh: Kami tidak ada maksud kecuali berbuat baik dan penyelarasan”104
    Syaikh Abdurrahman Ibnu Hasan Ibnu Syaikh Muhammad Ibnu Abdil Wahhab berkata: “Siapa yang menyalahi apa yang diperintahkan Alloh dan Rasul-Nya ‘alaihissalam (yaitu) dengan (cara) memutuskan di antara manusia dengan selain apa yang telah Alloh turunkan, atau meminta hal itu karena mengikuti apa yang dia sukai dan dia inginkan, maka dia itu telah melepas ikatan Islam dan iman dari lehernya meskipun dia mengklaim bahwa ia mu’min, karena Alloh ta’aalaa mengingkari terhadap orang yang ingin (melakukan) itu dan Dia dustakan mereka dalam klaim imannya, di mana dalam firman-Nya “mengklaim” terdapat penafian keamanan mereka, karena sesungguhnya “mengkalim” biasanya hanya dipakai pada orang yang mengklaim suatu hal yang mana ia dusta di dalamnya, karena sebab dia menyelisihi konsekuensinya dan melakukan suatu yang menggugurkannya. Hal ini dibuktikan dengan firman-Nya: “Padahal mereka telah diperintahkan untuk kafir terhadapnya” karena kufur terhadap thaghut adalah rukun tauhid sebagaimana dalam Surat Al Baqarah, sehingga bila rukun ini tidak terealisasi maka orang itu bukan muwahhid”. Selesai (Fathul Majid hal 329).
    Dan juga firman Alloh ta’aalaa:
            •              
    “Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu meninggikan suaramu lebih dari suara Nabi, dan janganlah kamu berkata kepadanya dengan suara keras sebagaimana kerasnya (suara) sebahagian kamu kepada sebahagian yang lain, supaya tidak hapus (pahala) amalanmu sedangkan kamu tidak menyadari”. (Al Hujuraat: 2).
    Ibnu Hazm berkata: “Ini adalah penegasan yang jelas dan khithab bagi orang-orang mu’min bahwa iman mereka batal secara total dan bahwa amalan mereka hapus dengan sebab mereka meninggikan suara mereka lebih dari suara Nabi shalallaahu ‘alaihi wa sallam tanpa ada pengingkaran sama sekali dari mereka, dan seandainya ada pengingkaran dari mereka tentulah mereka menyadarinya, sedangkan Alloh ta’aalaa telah mengabarkan kepada kita bahwa itu terjadi sedangkan mereka tidak menyadari, sehingga sah-lah bahwa di antara amalan jasad itu ada yang merupakan kekafiran yang menggugurkan keimanan pelakunya secara total, dan di antaranya ada yang bukan merupakan kekafiran, akan tetapi sesuai apa yang Alloh ta’aalaa tetapkan dalam itu semuanya dan tidak boleh ditambah”. Selesai, dari Al Fashl 3/262.
    Saya berkata: Syaikhul Islam telah menuturkan dalam Ash Sharimul Maslul hal yang serupa dengan ucapan Ibnu Hazm, dan beliau menuturkan bahwa hapusnya amalan secara keseluruhan hanyalah terjadi bersama kekafiran, serta beliau menyebutkan dalil-dalil atas hal itu...
    Dan berkata hal 177-178: “Dan secara umum siapa yang mengucapkan atau melakukan suatu yang merupakan kekafiran maka ia kafir dengan hal itu, meskipun tidak bermaksud untuk kafir karena tidak ada yang maksud untuk kafir seorangpun, kecuali apa yang Alloh kehendaki”.
    Maka sah-lah bahwa orang bisa jadi kafir dan amalannya hapus tanpa dia menyatakan murtad terang-terangan.
    Ini bisa disaksikan dalam realita, berapa banyak orang kafir dalam dienullah, mencela Alloh dan Rasul-Nya, memerangi wali-wali Alloh dan terjatuh di dalam berbagai pembatal keIslaman dan mukaffirat yang beraneka ragam, namun demikian ia mengira bahwa ia berada di atas sesuatu, bahkan dia marah sekali bila divonis kafir, dia melakukan bantahan dalam hal ini dan ia mengaku bahwa ia muslim mu’min yang tidak menyatakan riddah atau bara’ah dari Islam...!!!
    Maka apa yang dikatakan Ahlut Tajahhum Wal Irja tentang hal seperti ini...???!!!
    “Sesungguhnya mereka tidak mengetahui jawaban dan tidak akan mendapatkan kebenaran...!!!” begitu Syaikh mengatakan.
    Saya memohon kepada Alloh ta’aalaa hidayah bagi mereka...
    Adapun hikayat yang selalu diulang-ulang oleh Syaikh itu, dan ia mengira bahwa dengannya ia mampu membungkam orang-orang yang menyelisihinya dalam masalah takfier para penguasa, dan para muqallid-nya mengikuti ia dalam hal itu.
    Dan di antaranya adalah Al Halabiy itu105
    Yaitu ucapannya hal (67): “Qadli menghukumi dengan syari’at begitulah kebiasaan dia dan sistemnya, akan tetapi dalam satu kasus dia tergelincir terus dia memutuskan dengan hal yang menyelisihi syari’at; yaitu dia memberikan hak kepada orang yang zhalim dan menghalanginya dari yang dizhalimi. Maka ini –secara pasti– adalah putusan dengan selain apa yang telah Alloh turunkan! Maka apakah kalian mengatakan bahwa ia: adalah telah kafir dengan kufur riddah?.
    Mereka akan mengatakan: Tidak, karena ini muncul darinya sekali saja”. Maka kita katakan: Bila putusan yang sama muncul darinya untuk kedua kalinya atau putusan lain, dan ia menyelisihi syari’at maka apakah ia kafir?. Kemudian kita mengulang-ulang (pertanyaan) atas mereka: tiga kali! Empat kali! Kapan kalian mengatakan bahwa ia telah kafir? Mereka tidak akan mampu meletakkan batasan dengan menghitung hukum-hukum yang di dalamnya ia menyelisihi syari’at, kemudian mereka tidak mengkafirkannya”. Selesai.
    Maka kami katakan:
    Pertama: Hal ini hanyalah terjatuh di dalamnya orang yang terjatuh, terus dia membatasi (sekali) atau berkata: (dalam suatu kasus) sebagai bentuk mutaba’ah darinya terhadap ahlul ilmi yang telah lampau, karena mereka tidak pernah membayangkan: (seorang qadli memutuskan dengan syari’at begitulah kebiasaannya!! dan sistemnya), sebagaimana yang disifati Syaikh!! Kemudian kebiasaannya (memutuskan dengan yang menyelisihi syari’at yaitu dia memberikan hak kepada orang yang zhalim dan menghalanginya dari yang dizhalimi)!! Berulang kali dan berulang kali...!!!
    Karena banyak dari mereka membedakan antara meninggalkan bagian amal dengan (meninggalkan) jenis amal secara total, di mana mereka memasukkan yang terakhir ini di bawah cakupan (kufur tawalliy), sebagaimana yang telah lalu, oleh sebab itu nash-nash ucapan mereka dalam pemberian contoh dengan suatu kasus adalah sangat banyak. Dan inilah yang bisa saya utarakan saat ini di dalam penjara :
    Pensyarah Ath Thahawiyyah berkata: “Bila dia meyakini wajibnya memutuskan dengan apa yang telah Alloh turunkan dan ia mengetahuinya dalam kejadian ini serta dia berpaling darinya dengan disertai pengakuannya bahwa dia berhak akan sanksi, maka kufurnya adalah kufur ashgar”106
    Dan Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah berkata: “Sesungguhnya seorang hakim bila dia itu berkomitmen dengan dien (Islam), akan tetapi dia memutuskan tanpa dasar ilmu maka ia tergolong calon penghuni neraka. Dan bila dia memutuskan tanpa keadilan dan tanpa ilmu, maka ia lebih pantas menjadi ahli neraka, dan ini bila ia memutuskan dalam kasus tertentu kepada seseorang...”107
    Ibnul Qayyim berkata: “Bila ia meyakini wajibnya memutuskan dengan apa yang telah Alloh turunkan dalam kasus ini dan ia berpaling darinya sebagai bentuk maksiat disertai pengakuannya bahwa ia berhak mendapatkan sanksi, maka ini adalah kufur ashgar...” Selesai.
    Syaikh Muhammad Ibnu Ibrahim berkata dalam fatwanya seputar Tahkimul Qawanin dalam bagian kedua dari 2 bagian al hakim bi ghairi ma anzalAlloh yang tidak mengeluarkan dari millah: “Dan itu dia dibawa oleh syahwatnya dan hawa nafsunya untuk memutuskan dalam kasus tertentu dengan selain apa yang telah Alloh turunkan, dengan disertai keyakinannya bahwa hukum Alloh dan Rasul-Nya adalah al haq dan pengakuan bersalah atas dirinya serta menyelisihi petunjuk yang benar” Selesai.
    Dan berkata juga: “Dan adapun yang dikatakan padanya: kufrun duna kufrin; adalah bila ia mengacu kepada selain Alloh dengan keyakinan bahwa ia maksiat dan bahwa hukum Alloh adalah al haq, maka inilah yang muncul darinya sekali dan yang serupa. Adapun bila ia menjadikannya sebagai qawanin (undang-undang) dengan dikemas dan rapi, maka ia adalah kekafiran meskipun mereka berkata: Kami telah keliru dan hukum syari’at adalah lebih adil,” maka berbeda antara orang yang mengakui, menetapkan dan merujuk108, mereka menjadikannya sebagai acuan (rujukan), sehingga ini adalah kekafiran yang mengeluarkan dari millah”. Selesai dari Fatawa wa Rasaail Asy Syaikh 12/280 fatwa no (4060).
    Ke dua: Bila pertanyaan seperti ini dialamatkan kepada kami...
    Maka kami akan menjawab : Bahwa hal seperti ini adalah zhalim lagi aniaya tidak kafir dengan kufur yang mengeluarkan dari millah, walau ia melakukan hal itu berpuluh-puluh bahkan beratus-ratus kali selagi inti dien yang dia anut dan dia berhakim kepadanya adalah dien Alloh dan syari’at-Nya... dan selagi ia sesuai gambaran yang diandai-andaikan Syaikh (dia tergelincir, terus ia memberikan hak kepada orang yang zhalim dan menghalanginya dari yang dizhalimi...) ia itu bukan perujukan hukum kepada aturan-aturan kufur atau (tahakum kepada thaghut) dan ia bukan pula berpaling dari hukum Alloh ta’aalaa secara total, akan tetapi ia melakukannya sebagai maksiat dan kadang mengikuti hawa nafsu, maka ini tidak kafir kecuali bila dia menghalalkan hal itu, statusnya seperti status dosa-dosa yang tidak mengkafirkan seperti zina, minum khamr dan mencuri.
    Dan di sini ada koreksi juga dalam ucapan Syaikh: “Ini sudah barang tentu putusan dengan selain apa yang Alloh turunkan” dalam keadaan ini, karena ia telah menjadikan hawa nafsu atau syahwat sebagai hakim; sedangkan itu secara pasti selain apa yang telah Alloh turunkan, akan tetapi ia bukan pembuatan hukum thaghutiy yang kami maksudkan dan kami kafirkan para pelakunya...
    Oleh sebab itu kami mengoreksi di sini, kami katakan: Sesungguhnya hal yang dijadikan contoh oleh Syaikh bukanlah realita kita hari ini...!!! Maka kenapa pengkaburan dan talbis ini dilakukan...???!!!
    Pada masa kita hari ini tidak ada apa yang dikatakan Syaikh: “Qadli memutuskan dengan syari’at begitulah kebiasaannya dan sistemnya”.
    Ya mungkin ia mendapatkan hal-hal yang serupa di masa Ibnu ‘Abbas radliallaahu’anhuma, dan itu ada pada kekhilafahan Bani Umayyah, Abbasiyyah dan yang serupa dengan mereka. Dan bolehlah bagi mereka mendebat orang yang mengkafirkan orang-orang yang serupa dengannya dengan thariqah yang diinginkan Syaikh dan para pengekornya ini.
    Adapun apa yang ada pada masa kita sekarang ini maka ia adalah: “Qadli yang memutuskan dengan undang-undang positif yang kafir, begitulah kebiasaan dia dan sistemnya”!!
    Maka silahkan Syaikh bertanya kepada kami tentang orang-orang semacam ini bila mau...!!!
    Kita tidak berada di masa Khilafah Bani Umayyah dan tidak pula di masa Bani Al ‘Abbas...!!!
    Dan orang yang masih tidur dan lalai hendaklah ia cepat bangun dan sadar...!!!
    Yang ada pada masa kita hari ini adalah: “tidak ada sanksi kecuali dengan penegasan dari undang-undang” dan “kewenangan pembuatan undang-undang berada di tangan raja atau amir atau presiden sesuai ketentuan UUD” dan “Ketiga kekuasaan –di antaranya yudikatif– melaksanakan kekuasaannya sesuai ketentuan UUD”109
    Qadli (hakim) di kita pada hari ini tidak melaksanakan kekuasaan (kewenangan hukumnya) kecuali sesuai (menurut) point-point (ketentuan) UUD dan undang-undang kafir, dan ia tidak memiliki hak kecuali itu; yaitu: “begitulah kebisaaan dia dan sistemnya...!! Wahai Syaikh...!!!”
    Dan orang semacam ini adalah kafir dengan sebab komitmen dia atas hal ini dan dengan sekedar penerimaannya akan jabatan hakim sesuai cara kebisaaan dan sistem ini...!!! Walaupun dia itu tidak menerapkan undang-undang tersebut dan tidak memutuskan dengannya sama sekali, karena dengan perbuatan itu dia telah membatalkan tauhid dan jatuh dalam syirik dan tandid, dengan keinginannya dan penerimaannya akan tahakum (perujukan hukum) kepada aturan thaghut, dan bahasan tentang ini telah lalu dalam firman-Nya ta’aalaa: “Apa kamu tidak memperhatikan kepada orang-orang yang mengklaim bahwa mereka itu telah beriman kepada apa yang sudah diturunkan kepadamu dan apa yang diturunkan sebelummu, mereka itu ingin berhakim kepada thaghut padahal mereka sudah diperintahkan untuk kafir terhadapnya”, dan untuk lebih jelasnya, sesungguhnya keumuman para Syaikh hari ini –sangat disayangkan– tidak memahami apa itu qanun (undang-undang)...!!! namun demikian mereka mengeluarkan fatwa dalam masalah-masalah ini tanpa dasar ilmu, petunjuk dan bashirah.
    Kami bertanya kepada Syaikh dan para muqallid-nya pertanyaan yang jelas, yaitu:
    Andaikata jabatan qadli (hakim) pada hari ini tidak memutuskan hukum kecuali dengan ajaran Injil yang sudah dihapus...!!! Dan si qadli atau si hakim tidak menjabat posisinya itu kecuali dengan terlebih dahulu bersumpah atas Nama Alloh Yang Maha Agung serta berjanji untuk menerapkan dalam putusannya dan sistem hukumnya teks-teks Injil...!!! Dan ia (berjanji) untuk setia kepadanya...!!! Dan hal itu diterima oleh orang yang mengaku Islam serta ia menjabat sebagai qadli di atas syari’at ini...!!!
    Maka orang semacam ini, apakah kalian di dalam hal itu membedakan antara orang yang menerapkan itu dan menghukumi dengannya sekali atau dua kali atau tiga kali... dst...???!!!
    Saya tidak ingin terus mengulang-ulang apa yang dikatakan Syaikh tentang orang-orang yang menyelisihinya: “(bahwa) mereka itu tidak akan mengetahui jawaban! Dan tidak akan mendapatkan kebenaran”
    Akan tetapi saya katakan: Sesungguhnya qadli semacam ini menurut kami dan menurut ‘aqidah kami adalah kafir dan lepas dari millah dengan sekedar penerimaan dia terhadap jabatan itu dan komitmen dengannya atas dasar syarat dan ketentuan itu serta kebisaaan dan cara itu, meskipun dia tidak memutuskan dengan hal itu dan tidak menerapkannya sama sekali...!!!
    Adapun orang yang memutuskan dengannya!!! Maka orang ini telah disebutkan oleh Ibnu Hazm bahwa dia kafir dengan ijma kaum muslimin... di mana beliau berkata dalam Al Ihkam Fi Ushulil Ahkam: “Tidak ada perbedaan antara dua orang dari kaum muslimin bahwa orang yang memutuskan dengan hukum Injil berupa suatu yang tidak datang wahyu dengan nash terhadapnya dalam syari’at Islam, maka sesungguhnya dia itu kafir musyrik lagi keluar dari Islam”. Selesai 2/958
    Dan hal seperti itu kami katakan pula pada orang yang melimpahkan pada dirinya atau pada orang lain kewenangan pembuatan hukum yang muthlaq, sebagaimana yang telah lalu dalam teks UUD mereka bahwa mereka “Menyandarkan kewenangan pembuatan hukum kepada raja atau amir atau presiden dan para anggota parlemen”, maka ini adalah kekafiran kepada Alloh Yang Maha Agung... baik –orang yang melimpahkan hal itu kepada dirinya atau kepada orang lain itu– melakukan pembuatan hukum ataupun tidak.
    Karena ia itu seperti orang yang berkata “Aku adalah tuhan kalian tertinggi”, maka ia itu kafir, baik ia meminta dari manusia agar mengibadatinya ataupun tidak meminta, dan baik mereka mengibadatinya ataupun tidak mengibadatinya. Dan bagi hal seperti itu tidak boleh dikatakan apakah dia menganggap halal ataupun tidak menganggap halal...!!!
    Oleh sebab itu kami –wahai Syaikh– sebagaimana yang telah lalu tidak berhujjah saat kami mengkafirkan orang-orang semcam mereka itu dengan firman Alloh ta’aalaa: “Dan siapa yang tidak memutuskan dengan apa yang telah Alloh turunkan maka mereka itu adalah orang-orang kafir” (Al Maa-idah: 44) yang zhahirnya mencakup dua macam pemutusan yang telah lalu yang mana Murji-ah modern mencampuradukkan di antara keduanya.
    Sama sekali tidak... dan kami tidak menceburkan diri bersama kalian dalam debat dan tarik ulur seputar ayat ini...
    Meskipun pada hakikatnya ia adalah hujjah bagi kami dalam realita zaman kita ini, karena sesungguhnya penempatan aslinya sebagaimana yang telah lalu adalah pada macam para penguasa zaman kita ini.
    Namun kami tidak berhujjah terhadap macam realita pembuatan hukum syirik ini kecuali dengan firman-Nya ta’aalaa:
                       •     
    “Apakah mereka memiliki sembahan-sembahan yang menetapkan bagi mereka dari dien ini apa yang tidak Alloh izinkan” (Asy Syuuraa: 21).
    Dan firman-Nya subhaanahu wa ta’aalaa:
               •           
    “Dan sesungguhnya syaitan-syaitan itu membisikkan kepada wali-wali mereka untuk membantah kamu. Dan bila kamu menuruti mereka maka sesungguhnya kamu adalah orang-orang musyrik” (Al An‘aam: 121)110
    Dan firman-Nya ta’aalaa:
                             
    “Mereka menajdikan alim ulama dan para rahib mereka sebagai arbab selain Alloh...” (At Taubah: 31).
    Dan firman-Nya ta’aalaa:
                              
    “...Dan Dia tidak menyertakan seorangpun dalam hukum-Nya” (Al Kahfi: 26).
    Dan dengan firman-Nya ta’aalaa:
     •          
    “Maka apakah hukum Jahiliyyah yang mereka cari, dan siapakah yang lebih baikhukumnya daripada (hukum) Alloh bagi orang-orang yang meyakini” (Al Maa-idah: 50)111.
    Dan dengan firman-Nya ta’aalaa
                                  
    “Apakah engkau tidak memperhatikan orang-orang yang mengklaim bahwa mereka itu telah beriman kepada apa yang diturunkan kepadamu dan apa yang diturunkan sebelummu. Mereka ingin berhakim kepada thaghut, padahal mereka sudah diperintahkan untuk kafir kepadanya...” (An Nisaa’: 60).
    Dan hal-hal serupa itu, agar kita memperkenalkan kepada orang yang diajak bicara bahwa realita hukum hari ini adalah pembuatan hukum thaghut yang syirik lagi kafir yang menggugurkan kalimah tauhid, sehingga dia tidak menyibukkan diri dengan penyulapan dan pengkaburan serta pembauran Ahlut Tajahhum Wal Irja seputar ayat pertama tadi.
    Adapun ucapan Syaikh setelah itu: “di waktu mereka mampu melakukan kebalikan itu secara pasti, bila diketahui darinya bahwa ia dalam putusan pertama telah menganggap baik pemutusan dengan selain apa yang Alloh turunkan –seraya meyakini kehalalannya– dan menganggap buruk hukum syar’i, maka saat itulah vonis murtad atas dia itu shahih dan dari kali yang pertama”. Selesai hal 67-68.
    Maka kami katakan: Bahkan tanpa kali yang pertama dan sebelum dia melakukan kali yang pertama...!!!
    Dan di sini adalah kekafiran akbar yang berlapis-lapis...
    Karena menganggap halal al hukmu bighairi ma anzalAlloh adalah kufur akbar, dan menganggap buruk hukum Alloh adalah kufur akbar, serta begitu juga menganggap baik al hukmu bighairi ma anzalAlloh terutama bila kita memperhatikan bahwa mereka itu menempatkan ucapan ini pada realita undang-undang buatan thaghut hari ini...!!! Jadi menganggap bagus hukum thaghut yang mana kita diperintahkan untuk bara darinya dan kafir terhadapnya adalah kekafiran juga...
    Sedangkan Syaikh tidak memfatwakan murtadnya si hakim, kecuali bila dia menggabungkan itu semuanya...!!!
    Padahal sesungguhnya masing-masing dari tiga hal ini adalah kekafiran, baik si hakim itu memutuskan dengan selain yang telah Alloh turunkan ataupun tidak.
    Bahkan andaikata si hakim itu memutuskan dengan Islam yaitu (dengan apa yang telah Alloh turunkan); sedangkan ia menganggap bagus selain hukum Alloh dan memandang bahwa hukum selain-Nya adalah lebih utama, makanya tentulah ia kafir.
    Dan andaikata ia memutuskan dengan Islam sedang dia meyakini kehalalan pemutusan dengan selainnya tentulah dia itu kafir.
    Dan andaikata ia memutuskan dengan Islam sedang dia menganggap buruk hukum Alloh tentulah dia kafir.
    Sehingga tidaklah butuh pada syarat-syarat seperti ini yang mana ia pada hakikatnya adalah ungkapan murahan yang tidak berfaidah sama sekali...!!!
    Sungguh ini adalah pembelokan dari kenyataan, karena pembicaraan kami adalah tentang pemberlakuan (hukum) thaghut dan tahakum kepadanya serta pembuatan hukum di samping Alloh dalam apa yang tidak Dia izinkan. Dan masing-masing dari perbuatan ini adalah telah divonis sebagai kekafiran dengan sendirinya oleh Alloh, dan Dia mendustakan iman para pelakunya, maka kenapa kalian membelok darinya dan malah mengembalikan masalahnya kepada hati, penghalalannya dan keyakinannya...???!!!
    Bukankah ini adalah hakikat madzhab Jahmiyyah dan Murji-ah dalam Bab Al Iman...!!!???
    Dan ketahuilah bahwa saya setelah menulis ungkapan ini tertuju kepada realita bahwa Syaikh Ibnu Utsaimin sesudah tempat ini beberapa halaman, yaitu hal 72-73 dari (Kitab At Tahdzir) telah memberikan komentar terhadap ucapan Al Albaniy seraya mengoreksi sesuatu yang serupa ini,... ia berkata: “Akan tetapi kami (bisa jadi)112 menyelisihinya dalam masalah bahwa ia tidak memvonis kafir mereka, kecuali bila meyakini kehalalan hal itu. Masalah ini membutuhkan pengamatan, karena kami mengatakan: Siapa yang memutuskan dengan hukum Alloh sedang ia meyakini bahwa hukum selain Alloh adalah lebih utama maka ia kafir –meskipun ia memutuskan dengan hukum Alloh– dan kekafirannya adalah kufur keyakinan, akan tetapi pembicaraan kita adalah tentang amal. Dan dalam (perkiraan saya), bahwa tidak mungkin bagi seseorang menerapkan qanun (undang-undang) yang menyelisihi syari’at; di dalamnya dia menghukumi hamba-hamba Alloh kecuali dia itu menghalalkannya dan meyakini bahwa ia lebih baik dari hukum syari’at, maka dia itu kafir. Inilah yang zhahir, dan kalau tidak demikian maka apa gerangan yang membawa dia untuk melakukan itu?”. Selesai hal 73113
    Dan perkataannya itu masih memiliki sisa yang akan kami komentari nanti.
    Kemudian Syaikh (Al Baniy) berkata hal 71-72: “Telah saya katakan –dan saya masih mengatakannya– kepada mereka orang-orang yang mendengung-dengungkan pengkafiran para pemimpin kaum muslimin :
    Taruhlah para penguasa itu kuffar dengan kufur riddah! Dan taruhlah –juga– bahwa di sana ada pemimpin yang lebih tinggi di atas mereka !!
    Maka suatu yang wajib –sedang keadaannya seperti ini– adalah si pemimpin yang tertinggi ini menerapkan had terhadap mereka. Akan tetapi sekarang: Apa yang kalian petik dari sisi ‘amaliyyah andaikata –saja– kami terima bahwa para pemimpin itu kuffar dengan kufur riddah? Apa yang bisa kalian lakukan dan kalian perbuat?.
    Bila mereka berkata: Wala dan Bara!! Maka kami katakan: Wala dan Bara itu berkaitan dengan muwalah dan mu’adah (permusuhan) –qalbiyyah (hati) dan ‘amaliyyah (praktek)– dan sesuai kemampuan, sehingga tidak disyaratkan untuk keberadaan keduanya pernyataan takfier secara terang-terangan dan vonis murtad di hadapan umum... Bahkan sesungguhnya al wala dan al bara kadang diterapkan kepada ahli bid’ah atau ahli maksiat atau orang zhalim.
    Kemudian saya katakan kepada mereka itu: Ini mereka orang-orang kafir telah menjajah banyak tempat dari negeri Islam! –sedang kita sayang sekali telah mendapat bencana dengan penjajahan Yahudi terhadap Palestina– maka apa yang kami dan kalian bisa lakukan terhadap mereka, sehingga kalianpun hanya berdiri menghadapi para penguasa yang kalian kira dan kalian klaim bahwa mereka itu kuffar?” Selesai.
    Adapun ucapannya: “Akan tetapi sekarang: apa yang kalian petik dari sisi amaliyyah andaikata –saja– kami terima bahwa para pemimpin itu kuffar dengan riddah? Apa yang bisa kalian lakukan dan kalian perbuat?”
    Maka saya katakan: “Sesungguhnya di antara hal yang sangat menyakitkan adalah pertanyaan semacam itu muncul dari orang yang terkenal dan sejumlah besar manusia memandang kepadanya bahwa ia adalah seorang ulama dari ulama kaum muslimin yang mana mereka mencontoh kepadanya dan mengikuti fatwa-fatwanya.
    Apa engkau tidak mengetahui wahai Syaikh apa yang kami petik dari sisi ‘amaliyyah...???!!!
    Atau itu hanya sekedar debat...???!!!
    Bukankah di sana ada perbedaan yang jauh antara prilaku muslim dan keadaan-keadaannya, hidupnya, bahkan dakwahnya, jihadnya dan banyak dari perlakuan-perlakuannya bila dia hidup di bawah payung negara kafir atau di bawah kekuasaan yang kafir... dengan keadaan semua itu bila dia hidup di bawah kekuasaan yang muslim atau khilafah rasyidah..???
    Saya tidak mengira samar atas orang-orang semacam engkau apa yang telah kami utarakan –sebagai contoh– berupa pemilahan para ulama antara sikap amaliy terhadap penguasa muslim bila ia zhalim dan aniaya, dengan sikapnya terhadap penguasa bila dia murtad atau menampakkan kekafiran yang nyata.
    Dan nash-nash syar’iyyah dalam bab ini adalah banyak...
    Hadits-hadits tentang (anjuran) sabar terhadap pemimpin, tabah atas kezhaliman mereka dan tidak membangkang atau memberontak terhadap mereka adalah lebih banyak daripada yang bisa dicakup oleh tempat ini.
    Namun nash-nash tentang orang yang menampakkan kekafiran yang nyata adalah lain.
    Apakah tidak berbeda perilaku amaliy orang muslim antara orang yang turun nash berkenaan dengan mereka –umpamanya–;
    Firman-Nya ta’aalaa:
              
    “Hai orang-orang yang beriman ta’atilah Alloh, ta’atilah Rasul dan para pemimpin di antara kalian...” (An Nisaa’: 59).
    Dan sabda Nabi shalallaahu ‘alaihi wa sallam:
    – “Kamu mendengar dan patuh kepada amir, meskipun dia memukul punggungmu dan mengambil hartamu, maka dengar dan patuhlah kamu”. (HR. Muslim).
    – “Wajib atas orang muslim mendengar dan patuh dalam apa yang dia sukai dan dia benci kecuali bila ia perintahkan untuk maksiat...” Muttafaq ‘alaih dari hadits Ibnu Umar.
    – “Siapa yang mencopot tangan dari ketaatan, maka dia berjumpa dengan Alloh di hari kiamat sedang dia tidak memiliki hujjah. Dan siapa yang mati sedang di lehernya tidak ada bai’at maka ia mati jahiliyyah”. (HR. Muslim dari Ibnu Umar juga).
    – “Mendengarlah dan ta’atlah walaupun kalian dipimpin oleh seorang budak Habsyiy yang seolah-olah kepalanya adalah anggur kering”. (HR. Al Bukhari dari hadits Anas).
    – “Wajib atas kamu mendengar dan ta’at pada saat situasi susah dan mudah kamu, pada saat giat kamu dan kebencianmu serta saat kamu tidak dihiraukan” (HR. Muslim dari hadits Abu Hurairah).
    – “Siapa yang membai’at imam terus dia memberikan keta’atan dan kesetiaannya, maka hendaklah dia mentaatinya bila dia mampu, kemudian bila datang yang lain menyainginya, maka penggAlloh leher yang menyainginya” (HR. Muslim dari Hadits Ibnu Umar).
    – “Siapa yang mentaatiku maka ia telah mentaati Alloh, dan siapa yang maksiat kepadaku maka ia telah maksiat kepada Alloh, dan siapa yang mentaati amir maka ia telah mentaatiku dan siapa yang maksiat kepada amir maka ia telah maksiat kepadaku” (Muttafaq ‘alaih dari Hadits Abu Hurairah).
    Dan tatkala beliau ditanya oleh Usamah Ibnu Zaid: “Wahai Nabiyyullah, bila memimpin atas kami para pemimpin yang meminta hak mereka kepada kami dan mereka menahan hak kami, maka apa yang engkau perintahkan kepada kami? Maka beliau berpaling darinya, lalu Usamah ibnu Zaid bertanya lagi kepadanya, maka Rasululloh shalallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Mendengar dan taatlah, karena atas mereka apa yang mereka pikul dan atas kalian apa yang kalian pikul” (HR. Muslim).
    Dari Abdullah Ibnu Mas’ud radliallaahu’anhu, berkata: “Rasululloh shalallaahu ‘alaihi wa sallam berkata: (Sesungguhnya setelahku akan ada pemonopolian dan hal-hal yang kalian ingkari, maka mereka berkata: Wahai Rasululloh, apa yang engkau perintahkan kepada orang di antara kami yang mendapatkan itu? Beliau berkata: Kalian tunaikan hak yang jadi kewajiban kalian, dan kalian meminta kepada Alloh hak kalian”. (Muttafaq ‘alaih).
    Dan hadits Ibnu Abbas radliallaahu’anhu bahwa Rasululloh shalallaahu ‘alaihi wa sallam: “Siapa yang membenci sesuatu dari amirnya, maka hendaklah dia bersabar, maka sesungguhnya siapa yang keluar sejengkal dari penguasa, maka ia mati dengan mati jahiliyyah”. (Muttafaq ‘alaih).
    Dan hadits-hadits semacam ini yang berbicara tentang penguasa muslim yang tidak keluar dari lingkungan muwalah imaniyyah dan menghati-hatikan dari membangkang terhadapnya serta menganjurkan untuk bertahan atsa kezhalimannya dan sabar atas penindasannya, demi menjaga pertumpahan darah dan menghindari fitnah yang lebih besar dan lebih dahsyat.
    Dan karena itu, masihlah boleh mengajukan perkara ke peradilan-peradilan mereka dan menunaikan hak kepada mereka, berupa zakat, seperlima ghanimah, ketaatan dan yang lainnya, sebagaimana boleh shalat di belakang mereka serta jihad bersama mereka dan di bawah panji dan kepemimpinan mereka. Oleh sebab itu Ahlus Sunnah mencantumkan ini dalam Aqaid mereka dalam rangka membedakan manhaj Ahlus Sunnah dari Manhaj Ahlul Bid’ah dari kalangan Khawarij dan yang lainnya, mereka berkata: “Dan kami memandang shalat, haji dan jihad bersama para imam kita, sama saja mereka itu orang-orang baik ataupun jahat…”104
    Apakah tidak berbeda sikap ‘amaliy orang muslim terhadap para penguasa macam itu, dengan sikapnya terhadap orang-orang yang Alloh firmankan tentang mereka: “Maka perangilah para pemimpin kekafiran itu, sesungguhnya mereka tidak bisa dipegang janjinya, agar supaya berhenti”105
    Dan firman-Nya ta’aalaa: “Dan perangilah mereka sampai tidak ada fitnah dan dien seluruhnya hanya milik Alloh”106
    Ibnu ‘Abbas dan yang lainnya berkata: “Dan perangilah mereka sampai tidak ada fitnah”: yaitu syirik107
    Dan firman-Nya: “Kebenaran telah nyata dari kesesatan, maka siapa yang kafir terhadap thaghut dan beriman kepada Alloh, maka sesungguhnya dia telah berpegang pada buhul tali yang amat kokoh”108
    Dan firman-Nya ta’aalaa: “Dan Alloh tidak akan menjadikan bagi orang-orang kafir jalan untuk menguasai orang-orang mu’min”109
    Dan di antaranya arahan Nabi shalallaahu ‘alaihi wa sallam kepada umatnya agar memberontak dan memerangi orang yang tidak menegakkan dien dari kalangan para pemimpin110. Dan Nabi shalallaahu ‘alaihi wa sallam telah mengambil itu dalam bai’at atas mereka agar tidak merampas kepemimpinan dari pemiliknya [kecuali kalian melihat kekafiran yang nyata yang pada kalian di dalamnya ada keterangan dari Alloh) (HR. Al Bukhari dan Muslim].
    Dan sabdanya shalallaahu ‘alaihi wa sallam: “Siapa yang mengganti diennya maka bunuhlah” (HR. Al Bukhari).
    Dan nash-nash lainnya yang menganjurkan untuk memerangi para pemimpin kekafiran, menghantam tokoh-tokoh kemurtadan, menentang mereka, memberontak mereka dan menyatakan bara’ah dari para thaghut serta kafir terhadap mereka dan kemusyrikan-kemusyrikan mereka, dan bahwa mereka itu tidak boleh dibantu, tidak boleh berjihad bersama mereka, bahkan mereka itu harus dijihadi dan diperangi sampai dien (ketundukan) ini seluruhnya kepada Alloh. Dan bila sebagian dien (ketundukan) atau tasyri’ (hukum) kepada Alloh sedangkan sebagiannya kepada thaghut, maka wajib memerangi mereka sebagai pemenuhan akan perintah Alloh untuk mengeluarkan manusia dari peribadatan kepada manusia, dan agar dien seluruhnya milik Alloh. Dan tidak boleh mengakui pemerintahan dan kekuasaan mereka atas kaum muslimin, baik umum maupun khusus, sehingga tidak boleh shalat di belakang mereka kecuali sebagai bentuk taqiyyah111, tidak boleh menyerahkan zakat, shadaqah dan seperlima ghanimah kepada mereka, kecuali bila mereka memungut itu dan mengambilnya dengan cara kekerasan, ghashab dan ikrah (paksaan)112. Putusan-putusan mereka dan perjanjian-perjanjian mereka tidak berlaku, kesepakatan-kesepakatan mereka satu sama lain tidak mengikat kita113, kita tidak rela dengan aturan-aturan kafir mereka, serta kita tidak memiliki kewajiban untuk mendengar dan patuh kepada mereka... dan hal lainnya yang dipaparkan lagi terkenal berupa banyak perbedaan dalam kitab-kitab Fiqh.
    Apa yang telah Alloh ta’aalaa syari’atkan bagi kita lewat lisan Rasul-Nya shalallaahu ‘alaihi wa sallam berupa menentang para penguasa yang kafir dengan sebab yang nyata ini (pengubahan dien/ajaran) atau (kalian melihat kekafiran yang nyata), bukan hanya terbatas pada pemberontakan dan perang, akan tetapi penentangan itu lebih umum dan lebih luas dari itu, sedang suatu yang tidak bisa didapatkan seluruhnya tidaklah boleh ditinggalkan seluruhnya. Siapa yang gugur darinya kewajiban memberontak dan memerangi para penguasa itu karena ketidakmampuan, maka tidak gugur darinya (kewajiban) i’dad dalam batasan istitha’ah, atau (kewajiban) ajakan terhadap hal itu, menyemangati terhadapnya, menghalang-halangi dan menggembosi darinya, karena hal yang mudah terjangkau tidak bisa gugur dengan hal yang susah.
    Ibnul Qayyim Rahimahulloh berkata:
    Inilah sungguh membela dien adalah keharusan yang mesti
    Bukan fardlu kifayah namun atas semua individu
    Dengan tangan atau dengan lisan, kemudian bila kamu tak mampu
    Maka dengan memohon dan doa dengan lisan...

    Maka apa Syaikh dan para muqallid-nya tidak membedakan antara sikap Al Imam Ahmad terhadap para penguasa zamannya secara umum dengan sikap Syaikhul Islam terhadap Tartar yang memberlakukan Yasiq (hukum-hukum Buatan)... Dan juga sikap ulama Ahlus Sunnah terhadap Banu ‘Ubaid Al Qadah yang menguasai Mesir dan Maghrib (wilayah-wilayah sebelah Barat Mesir) dan mereka menampakkan di dalamnya kekafiran yang nyata...
    Apa Syaikh dan para muqallid-nya tidak membedakan antara menjabat sebagai hukum (qadli) –sebagai contoh– di sisi penguasa kafir di bawah payung hukum dan qanun (undang-undang) kafir yang mana ia tidak bisa memutuskan kecuali dengannya...!!! Dengan memangku jabatan itu di bawah payung sistem Islamiy yang tidak mengacu kecuali terhadap hukum syari’at, bukankah ini semuanya amal dan sikap-sikap amaliyyah...???
    Kemudian Syaikh dan para pengikutnya malah mengatakan: “Apa yang kalian petik dari sisi amaliyyah...??”
    Apa Syaikh dan para muqallid-nya tidak membedakan antara iqamah (menetap) di darul kufri dan di bawah kekuasaan kuffar serta hukum hijrah dalam keadaan seperti ini dengan iqamah di darul Islam dan di bawah payung hukum kaum muslimin...???
    Atau Syaikh dan para muqallid-nya ini menyangka bahwa masalah takfir para penguasa itu hanya sekedar aksesori keilmuan yang tidak dibangun amalan di atasnya...???
    Maka atas dasar apa kalau begitu kami dan jama’ah Tajahhum Wal Irja berpisah dalam manhaj, dakwah, metode dan jalan...???
    Atas dasar apa kami menjadi musuh dan lawan bagi para thaghut, kami mengintai mereka dan mereka mengintai kami... padahal di sisi lain sesungguhnya mayoritas mereka –kecuali yang dirahmati Rabb kami– telah menjadi anshar, kekasih, auliya dan tentara yang setia buat para thaghut itu...???
    Bukankah ini semuanya buah dan salah satu hasil serta efek dari sekian efek amaliy yang dibangun di atas vonis kafir terhadap para thaghut itu...???
    Orang yang memandang para thaghut itu –dengan pandangannya yang sesat– sebagai kaum muslimin, maka dia tergelincir dalam sikap loyal terhadap mereka, membela mereka dan mendukung mereka... dan menurutnya tidak ada halangan untuk menjadi bagian dari tentara mereka atau tawalliy kepada mereka.
    Adapun orang yang mengetahui kekafiran mereka, dan dia memiliki bashirah akan kemurtadan mereka serta nyata jelas baginya kebatilan mereka, maka dia tidak akan menganggap boleh suatupun dari itu semuanya bagi dirinya, dan justeru engkau bisa melihat dia itu mengibarkan genderang perang dengan lisan dan panah terhadap mereka, atau mendapatkan dia menjauhkan diri dari mereka lagi menghindari mereka seraya mendidik anak cucunya untuk membenci mereka, serta membisikkan dirinya untuk menjihadi mereka sebagai tingkatan iman paling lemah.
    Jadi masalahnya bukanlah sekedar royal (tarof) pemikiran, akan tetapi dibangun di atasnya banyak hal dari amalan.
    Dan andaikata kami menelusuri seluruh konsekuensi amaliyyahnya tentulah tempat ini menjadi lebar, akan tetapi dalam apa yang kami contohkan terdapat kadar cukup bagi orang yang menginginkan hidayah.
    Adapun ucapan Syaikh: “Apa yang bisa kalian lakukan dan kalian perbuat?”
    Maka kami katakan: Sesungguhnya suatu yang wajib kami lakukan bila sudah jelas si penguasa itu kafir atau murtad, adalah banyak.
    Sungguh ini adalah kemungkaran besar yang tidak boleh diakui atau dibiarkan. Karena Alloh subhaanahu wa ta’aalaa berfirman: “Dan hendaklah di antara kalian ada segolongan orang-orang yang mengajak kepada kebaikan dan memerintahkan terhadap yang ma’ruf serta melarang dari yang mungkar. Dan mereka itulah orang-orang yang beruntung”.
    Dan Nabi shalallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Siapa di antara kalian melihat kemungkaran maka hendaklah merubahnya dengan tangannya, kemudian bila tidak mampu maka hendaklah merubahnya dengan lisannya, kemudian bila tidak mampu maka hendaklah dengan hatinya, dan itu adalah iman yang paling lemah.” (HR. Muslim dari hadits Abu Sa’id Al Khudriy).
    Dan beliau shalallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Ketahuilah sesungguhnya saya hampir dipanggil terus saya memenuhi panggilan (itu), terus memimpin kalian setelahku para pemimpin yang mengatakan apa yang mereka ketahui dan mengamalkan apa yang mereka ketahui. Mentaati mereka itu adalah ketaatan, terus kalian berada seperti itu beberapa lama, kemudian memimpin kalian setelah mereka para pemimpin yang mengatakan apa yang tidak mereka ketahui dan mengamalkan apa yang mereka tidak ketahui, maka siapa yang menjadi penasehat mereka dan menjadi pendamping mereka serta menjadi penopang mereka, maka mereka itu telah binasa dan telah membinasakan. Baurilah mereka dengan jasad kalian dan memisahkan dirilah (dari) mereka dengan amalan kalian, dan persaksikanlah terhadap orang yang baik bahwa ia itu baik dan terhadap orang yang berbuat buruk bahwa ia itu buruk”. (HR. Ath Thabrani dalam Al Ausath dari Abu Sa’id Al Khudriy sedang ia itu shahih).
    Perhatikanlah perbedaan dalam mu’amalah antara aneka ragam penguasa, pemerintah dan umara...!!!
    Oleh sebab itu para ulama berkata bahwa wajib atas muslim untuk mengetahui keadaan pemerintah di zamannya, kemudian perhatikan sabda Nabi shalallaahu ‘alaihi wa sallam dalam hadits ini: “...dan persaksikanlah terhadap orang yang baik bahwa ia itu baik dan terhadap orang yang berbuat buruk bahwa itu buruk...” karena sesungguhnya ia adalah nash dalam tempat perselisihan... dan kemudian terapkan pada ucapan Al Albaniy dan yang lainnya dari kalangan yang mengklaim bahwa tidak ada faidah dari sisi amaliyyah dalam takfier para penguasa hari ini...!!!
    Andaikata dalam hal itu tidak ada kecuali ta’at kepada Nabi shalallaahu ‘alaihi wa sallam dan merealisasikan perintahnya untuk memberikan kesaksian terhadap orang yang baik di antara mereka bahwa ia baik dan yang buruk bahwa ia buruk, tentulah cukup dengan hal itu sebagai faidah, qurbah dan ta’at yang dengannya kita mendekatkan diri kepada Alloh tabaraka wa ta’aalaa. Maka bagaimana gerangan sedangkan Nabi shalallaahu ‘alaihi wa sallam telah menjelaskan kebinasaan dan pembinasaan orang yang menyamakan dalam mu’amalah antara aneka ragam para penguasa, baik yang kafir di antara mereka maupun yang muslim, dan bahwa orang-orang yang selamat adalah orang-orang yang mengetahui benar keadaan-keadaan para penguasa, lagi membedakan antara orang yang baik dan orang yang buruk.
    Dan sudah ma’lum bahwa membedakan antara auliyaurrahman dengan auliyausysyaithan ini tidak bisa terealisasi, kecuali dengan memilah-milah keadaan mereka dan mendudukkan hukum syari’at pada mereka untuk mengetahui orang yang baik dari yang buruk di antara mereka.
    Dan beliau shalallaahu ‘alaihi wa sallam: “Tidak ada seorang nabipun yang telah Alloh utus di tengah umat sebelumku melainkan ia dari umatnya memiliki hawariyyin dan para sahabat, yang memegang tuntunannya dan mencontoh perintahnya, kemudian datang setelah mereka generasi pengganti yang mengatakan apa yang tidak mereka lakukan dan melakukan apa yang tidak diperintahkan. Siapa yang menjihadi mereka dengan tangannya maka dia mu’min, dan siapa yang menjihadi mereka dengan lisannya maka dia mu’min, dan siapa yang menjihadi mereka dengan hatinya maka dia mu’min, dan di belakang itu tidak ada sebesar biji khardal pun dari keimanan” (HR. Muslim dari hadits Abdullah Ibnu Mas’ud).
    Inilah Rasululloh shalallaahu ‘alaihi wa sallam telah memberikan batasan bagi kita apa yang mungkin kita lakukan masing-masing sesuai kemampuannya, baik dengan tangan dan senjata atau dengan pena dan lisan atau dengan i’dad dan bantuan atau yang lainnya... yang penting tidak membela kemungkaran ini atau mengakui kekuasaan orang kafir... atau tunduk kepada hukumnya dan kekafirannya, atau kita ridla dengan pemberlakuannya akan undang-undangnya yang rusak, ajarannya yang bathil pada agama manusia, jiwa mereka, darah mereka, kemaluan mereka, kehormatan mereka dan harta mereka.
    Dan telah kami ketengahkan kepada engkau ucapan para ulama tentang kewajiban menentang penguasa kafir dan berupaya untuk mencopotnya dan merubahnya, serta mengangkat imam yang mengayomi Ahlul Islam yang menghukumi dengan syari’at dan menjaga keutuhan, menghidupkan jihad, menegakkan hududullah dan memimpin umat untuk mengembalikan kejayaannya.
    Di antaranya ucapan Al Qadli ‘Iyadl yang mana beliau berkata di dalamnya: “Wajib atas kaum muslimin bangkit menentangnya dan mencopotnya serta mengangkat imam yang adil bila itu memungkinkan mereka. Dan bila itu tidak terealisasi kecuali bagi segolongan orang maka wajib atas mereka mencopot orang kafir itu”. Selesai.
    Dan ini dibenarkan oleh hadits Nabi shalallaahu ‘alaihi wa sallam yang diriwayatkan dari sekian belas sahabat: “Senantiasa segolongan dari umatku berperang di atas al haq, mereka tidak terpengaruh dengan orang yang menyelisihi mereka dan tidak pula dengan orang yang menggembosi mereka sampai datang urusan Alloh”.
    Dan dalam satu riwayat: “Sampai orang-orang akhir mereka memerangi Dajjal”.
    Dan sudah ma’lum bahwa sabdanya shalallaahu ‘alaihi wa sallam (senantiasa) menunjukkan kesinambungan dan bahwa itu tidak putus sampai hari kiamat.
    Bila kita tidak mampu mengkudeta dan memberontak mereka sekarang, maka sama sekali tidak boleh bagi kita mengakui kekuasaan orang kafir dan melapangkan baginya jalan untuk mendikte kaum mu’minin; yaitu menjadikannya sebagai waliyyul amri (pemimpin) dan imam kaum mu’minin, atau menambali kebatilannya serta membela-belanya dengan syubhat-syubhat yang rapuh, atau menabuh genderang perang terhadap orang yang kafir terhadapnya, bara’ darinya serta berupaya untuk menjihadinya dan merubah kebatilannya, dan menamakan mereka sebagai Khawarij dan Takfiriyyin...!!!
    Akan tetapi kita wajib berupaya optimal mempersiapkan para pemuda untuk hal itu, menyemangati mereka terhadapnya serta menyiapkan segala perlengkapan untuknya, karena Alloh ta’aalaa berfirman:
                    
    “Dan jika mereka mau berangkat tentulah mereka menyiapkan persiapan untuk keberangkatan itu...” (At Taubah: 46).
    Dan juga sesungguhnya kemampuan dan istitha’ah adalah syarat untuk kewajiban menurut ahli ilmu, dan bukan syarat untuk pensyari’atan dan kebolehan, karena jihad adalah ibadah dan qurbah yang disyari’atkan bagi umat ini seperti ibadah lainnya, sehingga boleh memerangi orang-orang kafir untuk mengingkari kemungkaran dan mendatangkan pukulan terhadap mereka dan menghidupkan kefardluan jihad yang lenyap, meskipun tidak terealisasi dari hal itu pencopotan penguasa kafir tersebut. Semuanya ini tergolong penentangan yang disyari’atkan dan khuruj terhadap para thaghut; yang mana ia adalah tergolong tanda dan pengaruh bara’ah dari mereka dan kufur akan kebatilannya. Dan bahasan ini telah kami rinci di tempat lain.
    Adapun orang yang menganggap bahwa penguasa ini adalah muslim, maka dia tidak akan menyiapkan persiapan dan tidak akan berfikir untuk memberontak dan menentang [tetapi Alloh tidak menyukai keberangkatan mereka, maka Alloh melemahkan keinginan mereka; dan dikatakan kepada mereka: “TinggAlloh kamu bersama orang-orang yang tinggal itu” (At Taubah: 46).
    Bahkan menurut banyak orang-orang semacam itu tidak ada halangan untuk membai’atnya, tawalliy kepadanya, nushrah kepadanya dan membela-belanya. Oleh sebab itu engkau melihat banyak dari murid Syaikh, para pengikutnya dan para muqallid-nya tawalliy kepada orang-orang kafir, dan di antara mereka ada yang menjabat di sisi para thaghut sebagai menteri, anggota parlemen dan para penasehat, karena para penguasa itu menurut mereka adalah muslimin... sebab mereka tidak mengingkari...!!! tidak istihlal...!!! dan tidak meyakini...!!! serta tidak mengklaim bahwa undang-undang buatannya lebih baik dari hukum Alloh...!!! Oleh sebab itu mereka menjadi tentara yang setia dan anshar yang tulus bagi para thaghut.
    Bahkan tidak ada halangan bagi banyak mereka untuk menjadi mata-mata, intel, spionase dan penyampai berita (informan,ed.) yang melaporkan kegiatan para muwahhidin kepada para thaghut.114
    Karena para thaghut menurut mereka adalah muslimin...!!!
    Sedangkan para muwahhidin itu adalah Khawarij mubtadi’ah dan orang yang terbunuh paling buruk di kolong langit ini...!!! Yang keluar dari dien ini sebagaimana panah melesat dari busurnya...!!!
    Selamat buat para thaghut dengan keberadaan Afrakhul Murji-ah dan Jahmiyyah itu yang melunakkan dien ini untuk berkhidmat kepada mereka, dan menjinakkannya untuk melegalkan kebatilan mereka dan (untuk) membungkam lawan dan musuh mereka dari kalangan muwahhidin.
    Wa laa haula wa laa quwwata illaa billaahil ‘aliyyil ‘azhim.
    Adapun ucapan Syaikh: “Bila mereka berkata: Wala dan bara’, Maka kami katakan: Wala dan bara itu berkaitan dengan muwalah dan mu’adah –qalbiyyah dan amaliyyah– dan sesuai kemampuan, sehingga tidak disyaratkan untuk keberadaan keduanya pernyataan takfier secara terang-terangan dan vonis murtad di hadapan umum, bahkan sesungguhnya al wala dan al bara kadang diterapkan kepada ahli bid’ah atau ahli maksiat atau orang zhalim”. Selesai hal (71).
    Maka kami katakan: Semoga Alloh memperbaiki Syaikh... dan siapa yang tidak mengetahui bahwa al wala dan al bara’ itu dilakukan terhadap ahli bid’ah, ahli maksiat dan orang zhalim...???
    Akan tetapi tidak samar atas Syaikh bahwa bara’ah dari ahli bid’ah, ahli maksiat dan orang zhalim yang tidak keluar dari lingkaran Islam, tidak boleh terjadi dengan bentuk bara’ah yang total seperti bara’ah dari orang kafir dan murtad.
    Orang kafir dan murtad, kita bara’ darinya dan dari kekafiran serta kemusyrikannya dengan bara’ah yang total, dan kita menampakkan kepada mereka permusuhan dan kebencian selamanya sampai mereka beriman kepada Alloh saja.
    Alloh ta’aalaa berfirman:
                                        •                 
    “Sungguh telah ada bagi kalian suri tauladan yang baik pada diri Ibrahim dan orang-orang yang bersamanya, saat mereka berkata kepada kaumnya: Sesungguhnya kami berlepas diri dari kalian dan dari apa yang kalian ibadahi selain Alloh, kami ingkari (kekafiran) kalian, dan tampak antara kami dengan kalian permusuhan dan kebencian selama-lamanya sampai kalian beriman kepada Alloh saja”. (Al Mumtahanah: 4).
    Syaikh Hamd Ibnu ‘Atiq berkata dalam Kitabnya Sabilun Najah Wal Fikak: “Dan di sini ada faidah yang sangat indah yaitu bahwa Alloh Subhaanahu wa ta’aalaa mendahulukan sikap bara’ah dari kaum musyrikin yang beribadah kepada selain Alloh terhadap sikap bara’ah dari berhala-berhala yang diibadati selain Alloh, karena yang pertama adalah lebih penting dari yang ke dua, karena sesungguhnya bila ia bara’ dari berhala-berhala dan tidak bara’ dari orang yang beribadah kepadanya maka ia itu tidak merealisasikan hal yang menjadi kewajiban dia. Dan ini seperti firman-Nya: “Dan aku tinggalkan kalian dan apa yang kalian seru selain Alloh...” Alloh mendahulukan sikap meninggalkan mereka terhadap sikap meninggalkan sembahan-sembahan mereka, dan begitu juga firman-Nya: “Tatkala dia meninggalkan mereka dan apa yang mereka ibadati selain Alloh...” juga firman-Nya: “Dan apabila kamu meninggalkan mereka dan apa yang mereka ibadati selain Alloh...” Maka camkanlah faidah ini, karena sesungguhnya ia membuka bagimu pintu untuk memusuhi musuh-musuh Alloh, berapa banyak orang yang tidak muncul kemusyrikan darinya, akan tetapi dia tidak memusuhi para pelakunya115, maka dia tidak menjadi muslim dengan sebab itu karena ia telah meninggalkan dien seluruh rasul” Selesai.
    Dan karena orang itu kafir dan murtad, kita bara’ darinya dan dari pahamnya dengan sikap bara’ yang total, oleh sebab itu Alloh memutuskan antara kita dengan dia hubungan-hubungan pewarisan, nushrah, jalinan cinta kasih, sebagaimana ia dalam firman-Nya ta’aalaa: “Sesungguhnya kami berlepas diri dari kalian...” dan firman-Nya subhanahu wa ta’aalaa: “Kamu tidak akan mendapatkan orang-orang yang beriman kepada Alloh dan hari akhir menjalin kasih sayang dengan orang yang menentang Alloh dan Rasul-Nya walaupun mereka itu bapak-bapak mereka...”
    Padahal orang muslim yang maksiat dan zhalim serta ahli bid’ah –bid’ah ghair mukaffirah– kita tidak bara’ kecuali dari maksiatnya, dosanya dan bid’ahnya, dan kita tidak bara’ darinya secara total, akan tetapi ia tetap di dalam muwalah imaniyyah selama ia muslim; sehingga pewarisan dan pembelaan dia atas al haq tidak terputus, dan ia tidak boleh dibenci secara total, akan tetapi dia dicintai karena keIslamannya dan dia dibenci karena maksiatnya.
    Alloh ta’aalaa berfirman:
       •           
    “Dan rendahkanlah dirimu terhadap orang-orang yang mengikutimu, yaitu orang-orang yang beriman. Jika mereka mendurhakaimu maka katakanlah: Sesungguhnya aku berlepas diri dari apa yang kalian kerjakan” (Asy Syu’araa: 215-216).
    Dan perbedaan sangat nampak dan jelas antara firman-Nya ta’aalaa di sini “Sesungguhnya aku berlepas diri dari apa yang kalian kerjakan” dengan firman-Nya ta’aalaa tentang kuffar: “Sesungguhnya kami berlepas diri dari kalian”
    Oleh sebab itu Nabi shalallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Ya Alloh, sesungguhnya saya berlepas diri kepada-Mu dari apa yang telah dilakukan Khalid”.116
    Dan beliau tidak berkata: “Ya Alloh, sesungguhnya saya berlepas diri kepada-Mu dari Khalid...”
    Perbedaan ini sangatlah nyata jelas, antara wala dan bara’, juga muwalah dan mu’adah terhadap kaum muslimin meskipun mereka itu para pelaku maksiat, bid’ah, kezhaliman dan kebejatan, dengan itu semua terhadap kuffar dan murtaddin.
    Oleh sebab itu wajib mengetahui orang muslim dengan keIslamannya dan orang kafir dengan kekafiran dan kemurtadannya, untuk membedakan dalam perlakuan antara ini dan itu karena tidak boleh mencampuradukkan dan menyamakan sama sekali.
    Alloh subhaanahu wa ta’aalaa telah berfirman seraya mengingkari orang yang menyamakan antara keduanya:
            
    “Maka apakah patut Kami menjadikan orang-orang Islam itu sama dengan orang-orang yang berdosa (orang kafir). Mengapa kamu (berbuat demikian); bagaimanakah kamu mengambil keputusan?” (Al Qalam: 35-36).
    Dengan sebab tidak ada furqan (pemilah) antara auliyaurrahman dengan auliyausysyaithan pada banyak dari jama’ah-jama’ah Irja pada hari ini, maka timpanglah timbangan-timbangan mereka dan menyimpanglah sikap amaliy mereka serta terjadi pada mereka pencampuradukkan dalam ta’amul antara ansharuttauhid dengan ansharusysyirki wat tandid. Dan engkau dalam uraian yang lalu telah melihat beberapa gambaran dari hal itu, dan bagaimana gerangan sesungguhnya mereka itu telah jauh dibawa hawa nafsu sampai mereka sampai pada keadaan yang mana mereka mengobarkan perang di dalamnya terhadap ahlul Islam, dan mereka membiarkan –bahkan mereka melindungi– para penyembah berhala!!
    Adapun ucapan Syaikh hal (71-72): “Kemudian saya katakan kepada mereka itu: Ini mereka ~orang-orang kafir~ telah menjajah banyak tempat dari negeri Islam! –sedang kita sayang sekali telah mendapat bencana dengan penjajahan Yahudi terhadap Palestina– maka apa yang kami dan kalian bisa lakuakn terhadap mereka? Sehingga kalian –saja– berdiri menghadapi para penguasa yang kalian kira dan kalian klaim bahwa mereka itu kuffar?” Selesai.
    Maka kami katakan:
    Pertama: Kami tidak mengira-ngira belaka dan tidak mengklaim saja, akan tetapi kami meyakini itu dengan keyakinan yang mantap yang menghasilkan buah-buah amaliy di hati, lisan dan jawarih (anggota badan).
    Dan terhadap hal itu telah kami ketengahkan kepada anda sesuatu dari dalil-dalil yang jelas yang tidak bisa ditolak, kecuali dengan suatu dari pemalingan ucapan dari tempat yang sebenarnya.
    Dan siapa yang ingin mendapatkan bahasan tambahan maka silahkan merujuk kitab-kitab kami yang khusus membahas ini...
    Kemudian kami katakan: Sesungguhnya bencana kita dengan penguasaan para pemerintah murtad, pemberlakuan hukum-hukum kafir kepada kaum muslimin, pemaksaan manusia untuk masuk dalam dien (hukum/sistim/ideologi/undang-undang) thaghut, pengharusan mereka untuk tahakum kepadanya, serta memasukkan mereka dalam peribadatan kepada manusia dan hukum-hukum mereka; adalah lebih dahsyat dari bencana kita dengan penjajahan Yahudi terhadap Palestina...117
    Sungguh sudah baku menurut setiap orang yang telah mengetahui hakikat dienil Islam, bahwa mafsadah syirik yang menggugurkan tauhid, merobohkan dien, menghapuskan amalan, mengharamkan surga serta mengekalkan dalam neraka adalah mafsadah terbesar dalam realita kehidupan ini.
    Ia adalah lebih besar dari mafsadah penjajahan kuffar ashliyyin terhadap sebagian negeri Islam. Dan penjajahan ini tidak lain pada dasarnya adalah salah satu pengaruh dari pengaruh-pengaruh kaum murtaddin di atas leher kaum muslimin, pembudakan kaum muslimin terhadap kemusyrikan mereka dan menggusur mereka terhadap aturan mereka dan kebatilan mereka yang mana ia adalah hasil dari sampah-sampah dan pahatan-pahatan Yahudi dan Nashara, oleh sebab itu ia datang melindungi mereka, mengharamkan untuk memerangi mereka lagi menjaga hak-hak mereka...!!!
    Bahkan orang yang ‘alim lagi mengetahui akan dienul Islam, dia mengetahui bahwa penguasaan Yahudi –sedang mereka itu adalah ahli kitab– atas leher kaum muslimin adalah lebih ringan keburukannya daripada penguasaan kaum murtaddin.
    Perbedaan ini sangatlah nampak di hadapanmu bila engkau mengetahui ucapan ulama tentang perbedaan antara kafir ashli ahli kitab dengan orang murtad yang mengetahui dienullah atau mengaku (Islam) kemudian dia memeranginya dan berupaya dalam menghancurkannya.
    Dan bagaimana keadaannya sungguh Dia ta’aalaa telah berfirman sedangkan firman-Nya adalah ucapan pemungkas: “Perangilah orang-orang kafir yang di sekitar kamu itu, dan hendaklah mereka menemui kekerasan daripadamu” (At Taubah: 123). Yaitu perangilah orang-orang yang paling dekat dengan kalian kemudian yang setelahnya...
    Dan tidak ragu bahwa musuh yang menguasai leher (kaum muslimin) yang menghalangi dari menjihadi Yahudi dan yang lainnya, yang menjaga lagi melindungi aturan-aturan mereka dengan bala tentaranya, dan ia pula pada dasarnya yang melenggangkan jalan bagi mereka untuk menduduki negeri kaum muslimin dan menjajahnya, adalah musuh yang paling dekat dan paling berhak serta paling utama untuk dijihadi dan ditanggulangi…
    Oh semoga kaumku mengetahui…!!
    Dan Ibnu Utsaimin di sini telah mengomentari hal (72) terhadap ucapan Al Albaniy pada catatan kaki, ia berkata di dalamnya : “Ucapan ini bagus, yaitu bahwa orang-orang yang memvonis kafir para pemimpin muslim! Apa faidah yang mereka petik bila mereka memvonis kafir mereka”. Selesai.
    Dan dia menuturkan semacam ucapan Al Albaniy tentang Palestina dan sebagiannya telah kami ketengahkan kepada anda... hingga kemudian ia mengulangi ucapannya lagi seraya berkata : “Ucapan Syaikh Al Albaniy ini bagus sekali” Selesai.
    Kami katakan: Ya, ucapannya dan ucapanmu sangat bagus sekali!! Untuk menggembosi penentangan terhadap para thaghut kekafiran.
    Dan bagus sekali untuk membius para pemuda dan memalingkan mereka dari sekedar berfikir untuk i’dad atau melakukan upaya serius untuk merubah realita kufur yang busuk ini...!!!
    Dan bagus sekali menurut para thaghut kekafiran, mereka membelinya dengan emas, dan oleh karena itu mereka gembira dengan tulisan-tulisan kalian macam ini, serta mereka membantu penyebaran dan pendistribusiannya. Dan mereka tidak mengganggu si penulisnya, penerbitnya serta pencetaknya.
    Silahkan kaum kuffar dan para penguasa murtad bergembira dengan paham Irja, dan silahkan mereka berdendang dengan buah-buahnya ini. Benar sekali apa yang dikatakan An Nadlr Ibnu Syumail Rahimahulloh saat beliau berkata tentang Irja: “(Ia) adalah dien yang sejalan dengan para raja, mereka dengannya mendapatkan (bagian) dari dunianya, dan mengurangi dengannya dari dien mereka!!”118
    Syaikh hal (78-79): “Orang-orang ghuluww itu yang tidak memiliki keinginan kecuali penampakan takfier para penguasa! Kemudian tidak suatupun (hasilnya)!! Dan mereka akan senantiasa menampakkan takfierul hukkam, kemudian tidak muncul dari mereka, kecuali kekacauan dan huru hara...!!!
    Dan realita di tahun-tahun terakhir ini lewat tangan-tangan (mereka itu) –mulai dari tragedi Al Haram Al Makkiy sampai kekacauan Mesir dan pembunuhan (Anwar) Sadat, dan akhirnya di Suriah kemudian sekarang di Mesir dan Aljazair– bisa disaksikan oleh setiap orang: Pertumpahan darah banyak kaum muslimin yang tak berdosa dengan sebab kekacauan-kekacauan dan bencana serta terjadinya banyak huru-hara dan keonaran...
    Semua ini dengan sebab penyelisihan (mereka) terhadap banyak nash-nash Al Kitab dan As Sunnah, dan yang paling penting adalah firman-Nya ta’aalaa:
                     
    “Sungguh telah ada bagi kalian pada diri Rasululloh suri tauladan yang baik (yaitu) bagi orang yang mengharapkan Alloh dan hari akhir serta ia banyak mengingat Alloh.” (Al Ahzab: 21)
    Bila kita ingin menegakkan hukum Alloh di muka bumi ini -dengan sebenar-benarnya bukan sekedar klaim– maka apakah kita memulai dengan takfier para penguasa sedangkan kita tidak mampu menghadapi mereka, apalagi dari memeranginya...??? Atau kita memulai –sebagai hal wajib– dengan apa yang dimulai oleh Rasululloh shalallaahu ‘alaihi wa sallam” Selesai.
    Maka saya katakan:
    Adapun ucapannya: “Orang-orang ghuluww itu yang tidak memiliki keinginan kecuali penampakkan takfier para penguasa kemudian tidak suatupun (hasilnya)” Selesai.
    Maka sungguh telah shahih hadits dari Nabi shalallaahu ‘alaihi wa sallam bahwa beliau berkata: “Siapa yang beriman kepada Alloh dan hari akhir, maka hendaklah ia berkata baik atau hendaklah diam”. (Muttafaq ‘alaih dari hadits Abu Hurairah).
    Takfier para penguasa serta menampakkan bara’ah dari mereka dan dari qawanin mereka, menghati-hatikan manusia dari kemusyrikan dan kebathilan mereka, terang-terangan dengan tauhid ini dan menyatakannya di hadapan umum sebagaimana yang telah dilakukan oleh Ibrahim dan orang-orang yang bersamanya dan di atas jalannya dari kalangan para rasul sampai penutup para nabi dan rasul.... Kemudian tidak suatupun (hasilnya)...!!! Adalah tidak ragu dan tidak samar lagi bahwa itu lebih baik dari apa yang dilakukan oleh orang yang mengaburkan al haq dengan al bathil, di mana ia menganggap enteng kemusyrikan dan tahkimul qawanin, dan dia menamakan tahakum kepada thawaghit serta pembuatan hukum menurut UUD sebagai (kufrun duna kufrin) dan dia menegakkan syubhat-syubhat yang batil untuk menjadikan hal itu sebagai maksiat ghair mukaffirah seperti layaknya dosa-dosa lainnya, terus dia mencap Khawarij orang yang mengkafirkan dengan sebabnya... kemudian bersama ini semua tidak suatupun (hasilnya)...!!!
    Tidak ada satupun (hasil) orang-orang yang pertama adalah lebih baik daripada tiada suatupun (hasil) orang-orang yang terakhir... tanpa ragu atau samar... bukankah demikian wahai Syaikh??
    Adapun ucapannya: “...dan mereka akan senantiasa menampakkan takfier para penguasa, kemudian tidak muncul dari mereka kecuali kekacauan dan huru-hara...!!!” Selesai.
    Maka ini adalah menerka-nerka hal yang ghaib, sedangkan tidak ada yang mengetahui hal yang gaib kecuali Alloh...!!!
    Andai saja hal ini muncul dari muridnya Al Halabiy, maka tidaklah aneh dan asing, adapun Syaikh maka kami menganggap jauh hal seperti ini dari Syaikh...!!!
    Mereka telah persiapkanmu untuk suatu hal andai kamu mengetahuinya
    Maka jauhkan dirimu dari bermain-main dengan orang-orang yang hina.
    Adapun kekacauan dan huru-hara, maka itu tidak muncul dengan sebab atau dari para muwahhidin yang meniti jalan para Nabi dalam dakwah kepada tauhid dan upaya untuk menghancurkan syirik.
    Sedangkan para penebar kekacauan, huru-hara, kezhaliman dan kegelapan adalah kaum musyrikin dari kalangan para thaghut kekafiran yang telah mendatangkan kekacauan, huru-hara dan marabahaya terbesar terhadap umat dengan cara memalingkan mereka dari diennya yang haq dan menjerumuskannya kepada kemusyrikan, menggusurnya dan menyeretnya serta memaksanya kepada kebatilan dan aturan-aturan kafir.
    Dan begitulah perlakuan umat-umat terdahulu terhadap rasul-rasul mereka.
    Maka apakah Nabi shalallaahu ‘alaihi wa sallam dan para sahabatnya dicela dengan sebab apa yang menimpa mereka dan menimpa orang-orang yang tertindas berupa perlakuan yang menyakitkan, intimidasi dan ujian, terus mereka meninggalkan negeri dan harta mereka serta darah-darah yang suci ditumpahkan. Semua itu adalah bagian dari imbas sikap terang-terangan mereka dengan tauhid, bara’ah mereka dari syirik dan tandid serta takfier mereka terhadap para pelakunya, maka apakah mereka dicela karenanya... atau dikatakan bahwa mereka itu adalah penyebab di dalamnya, atau dikatakan bahwa kekacauan dan bencana ini muncul dari mereka...???!!!
    Atau bahwa kebenaran dan kejujuran itu adalah bahwa mereka dipuji karena keteguhannya di atas al haq dan layak dipuji atas sikap mereka menampakkan dien semua para rasul...???!!!
    Dan orang-orang kafir serta para thaghut dicela karenanya...!!!
    Dan begitulah setiap ujian dan fitnah yang muncul dari kezhaliman dan kekafiran musuh-musuh Alloh, kebejatan mereka dan penganiayaan mereka terhadap ahlul haq yang memerintahkan kepada yang ma’ruf dan yang melarang dari yang munkar, adalah dengan sebabnya ahlul haq tidak dicela dan tidak disandarkan kepada mereka selama mereka berada di atas manhaj kenabian.
    Dan ini adalah hikmah Alloh ta’aalaa, dan ketentuan-Nya yang pasti berlaku pada hamba-hamba-Nya, Dia menguji hamba-hamba pilihan-Nya dengan hal seperti itu lewat tangan-tangan musuh-musuh-Nya, untuk memilah yang buruk dari yang baik, terus Dia memilih buat surga calon penghuninya yang mukhlis dan berjihad dari kalangan para syuhada, ash shiddiqin dan ash shaalihin, serta Dia memilih buat neraka calon-calon penghuninya dari kalangan kaum durjana yang membangkang serta para thaghut yang memerangi dien dan syari’atnya.
    Adapun ucapan Syaikh: “...dan realita di tahun-tahun terakhir ini...” sampai ucapannya: “...pertumpahan darah kaum muslimin yang tak berdosa dengan sebab kekacauan-kekacauan dan bencana serta terjadinya banyak huru-hara dan keonaran...” Selesai.
    Telah lalu bahasan terhadap hal seperti ini dalam bantahan kami terhadap Al Halabiy tentang masalah Khuruj dan darah.119
    Dan bagaimanapun keadaannya sesungguhnya penganiayaan dan penindasan yang mana Syaikh tidak suka terhadapnya, itulah hakikat jalan ini dan sunnahnya, sebagaimana firman-Nya ta’aalaa:
       ••     •      •           
    “Alif laam miim. Apakah manusia itu mengira bahwa mereka dibiarkan (saja) mengatakan: “Kami telah beriman,” sedang mereka tidak diuji lagi. Dan sesungguhnya Kami telah menguji orang-orang yang sebelum mereka, maka sesungguhnya Alloh mengetahui orang-orang yang benar dan sesungguhnya Dia mengetahui orang-orang yang dusta.” (Al ‘Ankabuut: 1-3).
    Dan firman-Nya ta’aalaa:
            
    “Dan sesungguhnya Kami benar-benar akan menguji kami agar Kami mengetahui orang-orang yang berjihad dan bersabar di antara kamu, dan agar Kami menyatakan (baik buruknya) hal ihwalmu.” (Muhammad: 31).
    Dan Nabi shalallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Manusia diuji sesuai kadar dien mereka, maka orang yang paling berat ujiannya adalah para nabi kemudian yang paling serupa kemudian yang paling serupa” (HR. Al Imam Ahmad, AT Tirmidzi, Ibnu Majah dll).
    Dan beliau shalallaahu ‘alaihi wa sallam berkata saat sebagian sahabatnya mengadukan kepadanya apa yang mereka dapatkan berupa penyiksaan, intimidasi dan cobaan dari orang-orang kafir: “Sungguh telah terjadi pada umat sebelum kalian, seorang laki-laki ditangkap terus dibuatkan lubang di tanah kemudian dia dimasukkan di dalamnya terus didatangkan gergaji dan diletakkan di atas kepalanya dan kemudian ia dibelah dua, dan antara daging dan tulangnya dicabikkan sisir-sisir besi namun itu tidak memalingkan dia dari diennya. Demi Alloh, Alloh sungguh akan menyempurnakan urusan (dien) ini sehingga pengendara dari Sana’ berjalan menuju Hadramaut, ia tidak takut kecuali kepada Alloh dan tidak (mengkhawatirkan kecuali) dari serigala mengganggu kambing-kambingnya, akan tetapi kalian ini tergesa-gesa” (HR. Al Bukhari dan yang lainnya dari hadits Khabbab).
    Dan ini adalah hal yang tidak samar terhadap Syaikh, namun demikian ia telah menjadikannya sebagai salah satu sebab dari sebab-sebab vonisnya dengan sikap kasar terhadap para pemegang manhaj ini yang mana berupaya merealisasikan tauhid dengan menjihadi para thaghut...!!!
    Padahal sesungguhnya dia berkata dalam mensifati dakwah Nabi shalallaahu ‘alaihi wa sallam hal (79) “Kemudian terjadi setelah itu penyiksaan dan penindasan yang menimpa orang-orang muslim itu di Mekkah...” Selesai dari At Tahdzir.
    Maka apakah Rasululloh shalallaahu ‘alaihi wa sallam meninggalkan jalan ini dengan sebab penindasan-penindasan dan ujian-ujian itu. Dan apakah ada seorang dari manusia mencela para sahabat Nabi dan dakwah mereka dengan sebab ujian-ujian dan intimidasi-intimidasi yang mereka alami itu!? Dan apakah mereka mencelanya atas hal itu dan menjadikannya hal “yang muncul dari mereka”...!!!
    Kemudian kenapa Syaikh dan para muqallid-nya tidak memperkenalkan kepada kami sebab-sebab penyiksaan dan penindasan itu...???!!!
    Syaikh Hamd Ibnu ‘Atiq: “Hendaklah orang yang berakal memperhatikan dan hendaklah orang yang jujur pada dirinya mencari tentang sebab yang mendorong orang-orang Quraisy untuk mengusir Rasululloh shalallaahu ‘alaihi wa sallam dan para sahabatnya dari Mekkah sedang ia itu adalah tempat termulia. Sesungguhnya tergolong hal yang ma’lum bahwa mereka tidak mengusirnya, kecuali setelah (Rasululloh dan para sahabatnya) terang-terangan mencela dien mereka dan kesesatan nenek moyang mereka, terus mereka (Quraisy) menginginkan dari Nabi shalallaahu ‘alaihi wa sallam sikap menahan diri dari hal itu, dan mereka mengancamnya dan para sahabatnya dengan pengusiran, dan para sahabatnya mengadukan kepada beliau kerasnya penindasan kaum musyrikin terhadap mereka, maka beliau menyuruh mereka untuk bersabar dan mencontoh terhadap orang-orang sebelum mereka yang telah disakiti, dan beliau tidak mengatakan kepada mereka: “Tinggalkan celaan terhadap dien kaum musyrikin dan pembodohan pemikiran-pemikiran mereka,” maka beliau memilih keluar bersama para sahabatnya dan meninggalkan tanah air padahal sesungguhnya ia adalah tempat yang paling mulia di muka bumi. “Sesungguhnya telah ada bagi kalian pada diri Rasululloh suri tauladan yang baik bagi orang yang mengharapkan Alloh dan hari akhir dan ia banyak mengingat Alloh” Selesai.120
    Ya... sungguh telah ada pada diri Rasululloh bagi kita suri tauladan yang baik...!!!
    Ayat itu sendiri yang selalu didengung-dengungkan oleh Al Albaniy... tapi...!!!
    Syaikh Abdurrahman Ibnu Hasan berkata setelah menuturkan sebagian sikap-sikap keterusterangan dan keteguhan para sahabat Nabi shalallaahu ‘alaihi wa sallam: “Dan ini adalah keadaan para sahabat Rasululloh shalallaahu ‘alaihi wa sallam dan apa yang mereka dapatkan dari kaum musyrikin berupa penindasan yang dahsyat. Maka mana posisi hal ini bila dibandingkan dengan keadaan orang-orang yang disesatkan itu yang bersegera menghampiri kebatilan dan menyelinap di dalamnya, mereka maju dan mundur, mereka bercengkrama (dengan kaum musyrikin), ber-mudahanah, mereka cenderung (kepadanya), mengagungkan(nya) dan memuji(nya)? Sehingga mereka itu sangat serupa dengan apa yang Alloh ta’aalaa firmankan: “Kalau (Yatsrib/Madinah) diserang dari segala penjuru, kemudian diminta dari mereka supaya murtad, niscaya mereka mengerjakannya, dan mereka tiada akan menunda untuk murtad itu melainkan dalam waktu yang singkat.” (Al Ahzab: 41), kami memohon kepada Alloh ta’aalaa keteguhan di atas Islam dan kami berlindung kepada-Nya dari kesesatan-kesesatan fitnah baik yang nampak maupun yang tersembunyi darinya. Dan sudah ma’lum bahwa orang-orang yang telah masuk Islam dan beriman kepada Nabi shalallaahu ‘alaihi wa sallam dan kepada apa yang beliau bawa, seandainya mereka tidak berlepas diri syirik dan para pelakunya dan (tidak) memulai kaum musyrikin dengan mencela dien mereka dan menghina tuhan-tuhan mereka tentulah mereka (kaum musyrikin) tidak menindak mereka dengan berbagai penindasan...” Selesai.121
    Syaikh Hamd Ibnu ‘Atiq berkata saat menjelaskan surat (Bara’ah dari kemusyrikan)122: “Alloh memerintahkan Rasul-Nya shalallaahu ‘alaihi wa sallam untuk mengatakan kepada orang-orang kafir : Dien kalian yang kalian pegang, saya berlepas diri darinya, dan dien saya yang saya pegang, kalian berlepas diri darinya. Dan yang dimaksud adalah terang-terangan menyatakan terhadap mereka bahwa mereka itu di atas kekafiran dan bahwa saya berlepas diri dari mereka dan dari dien mereka. Sehingga wajib atas setiap orang yang mengikuti Nabi shalallaahu ‘alaihi wa sallam untuk mengatakan hal itu, dan dia tidak dinyatakan telah menampakkan diennya kecuali dengan hal itu. Oleh sebab itu tatkala para sahabat mengamalkan hal itu dan kaum musyrikin menindas mereka maka Rasululloh shalallaahu ‘alaihi wa sallam memerintahkan mereka untuk hijrah ke Habasyah, dan andaikata beliau mendapatkan rukhshah bagi mereka untuk diam dari kaum musyrikin tentulah beliau tidak memerintahkan mereka untuk hijrah ke negeri yang asing” Selesai.123
    Jadi siapa yang ingin mencontoh Nabi shalallaahu ‘alaihi wa sallam dan meniti jalan kaum mu’minin yang diingatkan kepadanya oleh Syaikh di awal fatwanya, maka ia harus menampakkan bara’ah dari kaum musyrikin, takfier mereka, penganggapan bodoh kemusyrikan-kemusyrikan mereka, serta penelanjangan berhala-berhala mereka, undang-undang mereka dan UUD mereka.
    Dari sana dia wajib bersabar atas penindasan di jalan dakwah ini, dan inilah sikap saling mewasiatkan dengan kebenaran dan saling mewasiatkan dengan kesabaran yang telah Alloh ta’aalaa perintahkan kepada kita dalam Kitab-Nya.
    Oleh sebab itu datang perintah untuk sabar atas penindasan dan ujian yang dibarengi dengan amar ma’ruf dan nahi munkar sebagaimana dalam firman Alloh tabaraka wa ta’aalaa:
                 •     
    “Dan perintahkanlah kepada yang ma’ruf dan laranglah dari yang mungkar serta bersabarlah terhadap apa yang menimpamu. Sesungguhnya itu tergolong hal-hal yang diperintahkan” (Luqman: 17)
    Dan ini adalah jalan para Nabi semuanya... dan dien tidak bisa ditegakkan kecuali dengan menitinya, dan bila Syaikh menginginkan “memulai dengan apa yang mana Rasul shalallaahu ‘alaihi wa sallam memulai dengannya” -sebagaimana yang ia katakan– maka begitulah dan dengan hal ini Rasul shalallaahu ‘alaihi wa sallam memulai, oleh sebab itu terjadi padanya dan pada sahabatnya penyiksaan dan ujian yang telah diisyaratkan kepadanya oleh Syaikh...!!!
    Andaikata beliau membatasi (kegiatannya) pada pengajaran hadits saja atau pada pendidikan para sahabatnya atas akhlaq-akhlaq yang mulia saja tanpa menyinggung terhadap orang-orang kafir dengan sikap bara’ah dan takfier serta tanpa menampakkan permusuhan dan kebencian terhadap mereka dan terhadap kemusyrikan-kemusyrikan mereka, berhala-berhala mereka dan aturan-aturan mereka yang batil tentu mereka tidak menyakitinya dan tidak akan mengintimidasi para sahabatnya... serta tentu mereka tidak mendesaknya untuk hijrah dan tentu beliau dan para sahabatnya menetap di negeri mereka dan rumah-rumah mereka dengan aman.
    Dan sungguh Waraqah Ibnu Naufal telah memahami apa yang tidak dipahami syaikh dan para muqallidnya, di mana ia berkata kepada Nabi shalallaahu ‘alaihi wa sallam di awal fajar kenabiannya: “Tidak seorangpun datang dengan seperti apa yang engkau datang dengannya melainkan ia dimusuhi”. (HR. Al Bukhari).
    Inilah tabiat jalan ini... ditaburi hal-hal yang dibenci, karena ia adalah jalan yang menghantarkan ke surga, oleh sebab itu siapa yang tidak mengkafirkan orang-orang kafir dan tidak memusuhi mereka serta ia tidak dimusuhi mereka hendaklah ia merujuk kembali dakwahnya serta meneliti manhajnya, karena sudah pasti dia itu tidak membawa seperti apa yang dibawa Nabi shalallaahu ‘alaihi wa sallam, dan ia tidak menjadikan beliau sebagai tauladan yang baik dalam dakwah dan jihad...!!!
    Adapun (darah kaum muslimin yang ditumpahkan) dan Syaikh menjadikannya sebagai bagian dari sebab-sebab penilaian salah terhadap para penganut manhaj ini, maka sudah ma’lum bahwa darah-darah itu senantiasa ditumpahkan semenjak para thaghut itu menggugurkan syari’at Alloh.
    Dan selagi hukum qanun kafir yang berlaku dan yang mengendalikan, maka pelecehan terhadap darah-darah kaum muwahhidin akan tetap terjadi.
    Dan selagi kekuasaan serta perintah dan larangan berada di tangan para thaghut itu maka darah-darah kaum musyrikinlah yang dilindungi, sedang darah setiap muwahhid adalah halal lagi tak berharga...!!!
    Maka hal seperti ini, yang mesti diingkari dan dikecam dengannya adalah para thaghut yang telah menganggap halal darah dan kehormatan kaum muslimin bukan karena suatu dosapun, kecuali karena mereka mentauhidkan Alloh dan kafir terhadap para thaghut, sebagaimana ia sangat dikenal dalam undang-undang dan lembaga-lembaga hukum mereka berkenaan dengan setiap orang yang menentang terhadap mereka, kafir terhadapnya serta berlepas diri dari kemusyrikan-kemusyrikan mereka.124
    Adapun Ahlul haq dari kalangan mujahidin, maka mereka itu tidak menumpahkan darah kaum muslimin dan tidak mengganggu orang-orang yang tidak berdosa. Akan tetapi mereka hanya mengganggu orang-orang bejat dan kaum musyrikin dari kalangan para thaghut atau anshar mereka dan kekuatan militer mereka dan abdi-abdi (negara) mereka yang memerangi dien ini, merobohkan syari’atnya, melindungi kemusyrikannya, menjadi tameng baginya, dan menjaganya serta rela mati di jalannya...!!!
    Dan bila Syaikh dan para pengekornya memaksudkan dengan (darah kaum muslimin) itu adalah kaum musyrikin tadi, anshar mereka, tentara mereka dan abdi-abdi mereka –karena mereka menurut Syaikh dan para pengekornya adalah muslimin..!!!– maka kami membersihkan lembaran-lembaran ini dari upaya membantah hal seperti ini di dalamnya...
    Kemudian Syaikh mengajak kaum muslimin untuk berbuat –dengan haq– dalam rangka mengembalikan hukum Islam dan ia menuturkan firman-Nya ta’aalaa:
                  
    “Dialah yang telah mengutus Rasul-Nya (dengan membawa) petunjuk (Al Qur’an) dan agama yang benar untuk dimenangkan-Nya atas segala agama, walaupun orang-orang musyrik tidak menyukai” (At Taubah: 33).
    Tapi bagaimana...!!!
    Berkata di halaman (77): “Agar kaum muslimin bisa merealisasikan nash Qur’aniy dan janji ilahiy ini maka harus ada jalan yang jelas, gamblang dan nyata. Maka apakah jalan itu dengan menyatakan revolusi/ perubahan total (penentangan) terhadap para penguasa itu yang (mereka) duga bahwa kekafirannya adalah kufur riddah? Kemudian dengan dugaan mereka ini –sedangkan ia adalah dugaan yang salah lagi keliru–, mereka tidak mampu melakukan sesuatu” Selesai.
    Kami katakan: Jasa...!!! Dalam hal ini sebagiannya kembali kepada ulama...!!! Yang seharusnya mereka itu memimpin kaum muslimin dan berada di depan barisan-barisan mereka untuk merubah realita yang kelam ini dan kemungkaran yang dahsyat ini.
    Mereka malah menyibukkan diri dengan sikap menggembosi (para mujahidin) dan menyerang terhadap mereka dan dakwah mereka, seraya men-tahdzir dan manhaj dan jalan mereka, dan melakukan dalam menghadang mujahidin segala yang mereka mampu berupa terror pemikiran, di mana mereka mencap para mujahidin sebagai Khawarij dan Takfiriy untuk menghalangi dari takfier dan menjihadi para thaghut, dan membantah dari sikap bara’ah dari syirik masa kini yang busuk...!!!
    Adapun kemenangan dan perubahan maka ia itu bukan kembali kepada kita, namun yang wajib atas kita adalah berupaya keras dan ikhlash untuk mengingkari dan merubah kemungkaran yang besar ini, dan kita mempersiapkan apa yang kita mampu berupa kekuatan untuk menjihadi para thaghut dalam rangka merealisasikan tauhid dan menghancurkan syirik dan tandid serta mengeluarkan manusia dari peribadatan terhadap makhluq, sebagaimana yang dilakukan para nabi, hawariyyin mereka dan para pengikut mereka. Adapun hasilnya maka bukan kembali kepada kita... Dan bila kita memurnikan niat, ucapan dan amalan maka kita tidak akan ditanya tentang hasil itu. Dan Nabi shalallaahu ‘alaihi wa sallam telah mengabarkan dalam hadits shahih bahwa ada Nabi datang di hari kiamat dengan pengikut satu dua orang, dan ada nabi yang datang tanpa punya pengikut seorangpun...!!!
    Maka apa ia dicela karena hal seperti itu...!!!
    Tidak dan seribu tidak... kewajiban dia hanyalah istiqamah di atas perintah Rabbnya.
                 “Dan cukuplah Tuhanmu sebagai Pemberi petunjuk dan Penolong” (Al-Furqan : 31).

    Dan dalam hadits yang diriwayatkan An-Nasa’i dengan isnad shahih dari Salamah Ibnu Nufail AL Kindiy tatkala Nabi shalallaahu ‘alaihi wa sallam diberi kabar bahwa orang-orang telah melepaskan kuda dan meletakkan senjata dan berkata: “Tidak ada jihad...!!!” Maka beliau shalallaahu ‘alaihi wa sallam berkata: “Mereka salah (dusta), sekarang datang giliran perang, dan akan senantiasa ada dari umatku ini segolongan orang yang berperang di atas al haq, Alloh memalingkan bagi mereka hati banyak kaum serta Dia memberikan mereka rizqi dari mereka sampai kiamat tiba, dan sampai datang janji Alloh, sedangkan kuda itu diikatkan kebaikan di ubun-ubunnya sampai hari kiamat...”
    Kewajiban kita hanyalah meniti jalan ini yang telah ditunjukan terhadapnya oleh Nabi shalallaahu ‘alaihi wa sallam, dan beliau jelaskan pensyari’atannya hingga hari kiamat.
    Dan itu dengan upaya yang serius, i’dad, jihad, serta nushrah dien ini dengan tinta, darah dan bantuan harta, juga dengan lisan, nyawa dan senjata.125
    Dan Alloh-lah yang menolong kita, sedang Dia subhaanahu mengizinkan dengan kemenangan kapan Dia mau.
    Jadi ucapan Syaikh: “Mereka tidak mampu melakukan sesuatu” itu tidaklah membuat mereka buruk dan mereka tidak dicela dengannya, namun yang membuat buruk mereka adalah duduk-duduk (tidak jihad) ~bila mereka melakukannya~ dan yang menjadi aib bagi mereka adalah bila mereka menggembosi, menganggap sesat dan menghalang-halangi dari jihad, menutup-nutupi (kekafiran) para thaghut dan mencela-cela para mujahidin muwahhidin andai mereka melakukannya...!!!
    Kemudian setelah Syaikh menduga bahwa ia telah menggugurkan ~dengan ucapannya yang lalu itu~ jalan khuruj terhadap para penguasa kafir, dan ia menganggap vonis kafir murtad terhadap para penguasa itu sebagai dugaan yang salah lagi keliru...!!! Ia bertanya di hal 77 dengan pertanyaannya seraya berkata: “Jadi, apa manhaj yang sebenarnya? Dan apa jalan itu?!”.
    Dan ia menjawabnya sendiri di hal 78 seraya berkata: “Kita meringkasnya dengan dua kata yang ringan : Tashfiyah dan Tarbiyah”
    Terus ia menjelaskan maksudnya dari Tashfiyah dan Tarbiyah di hal 80, di mana ia menjelaskan bahwa Tashfiyah: “Adalah mengajari manusia Islam –yang haq– dan itu dengan membersihkan Islam dari parasit-parasit yang masuk ke dalamnya berupa bid’ah-bid’ah dan hal-hal yang baru serta apa yang menggantung di dalamnya yang sama sekali tidak ada kaitan”.
    Adapun Tarbiyah: “Yaitu Tashfiyah itu disertai dengan mendidik pemuda muslim yang tumbuh di atas Islam yang sudah dibersihkan ini”.
    Ini adalah ringkasan apa yang Syaikh maksudkan dari dua kata ini, sedangkan kami menerima al haq dari siapapun orangnya.
    Maka kami katakan: Ini adalah haq, dan begitu juga apa yang ia keritikkan setelah itu terhadap sebagian jama’ah-jama’ah yang mendengung-dengungkan penegakkan negara dan pemerintah Islamiyyah sedang mereka itu membawa aqidah-aqidah yang menyelisihi Al Kitab dan As Sunnah, serta amalan-amalan yang menafikan Al Kitab dan As Sunnah, ini juga adalah kritikan yang tepat; maka tidak ragu bahwa harus ada pembenahan ‘aqidah serta mesti dari adanya tashfiyah dan tarbiyah.
    Akan tetapi apakah ini layak, cukup dan bermanfaat...??? Dengan disertai jidal dan membela-bela para musuh syari’at dan dien ini dari kalangan para thaghut murtaddin...???!!! Dan menambali (kekafiran) mereka serta menganggap kemusyrikan dan kekafiran mereka yang nyata sebagai (kufrun duna kufrin)...??? Dan mencap orang yang mengkafirkan mereka atau memberontak terhadap mereka sebagai Khawarij dan Takfiriyyin, serta menghalang-halangi dari jalan mereka dan menggembosi dakwah dan jihad mereka...???!!!
    Oleh sebab itu kami katakan: Kami tidak takut Insya Alloh di (jalan) Alloh celaan orang yang mencela; karena sesungguhnya kami selalu mendengar kata (tarbiyah) ini dari Syaikh semenjak dulu, akan tetapi kami sangat menyayangkan (sehingga) kami katakan tanpa ragu; bahwa Syaikh ini belum mentarbiyah orang-orang yang (mau) membela dien ini dengan menegakkannya dengan sebenar-benarnya.
    Ini buktinya mereka dari kalangan yang mengaku sebagai murid-muridnya dan mengikuti dakwahnya –semacam Al Halabiy– berputar-putar pada jejaknya dan menempelkan nama pada kemasyhurannya serta menyandarkan diri mereka pada ilmunya, orang yang mengenal mereka akan mengetahui bahwa mereka itu tidak berlomba-lomba, dan tidak bersaing serta tidak saling hasud, kecuali terhadap penjualan kertas dan penerbitan.
    Dan itu dengan mengulang-ulang penerbitan dan pentahqiqan banyak kitab yang mana ia sudah ditahqiq dan diterbitkan, dan mereka memberikan image kepada orang-orang bahwa tujuannya ‘not money’ alias nuqud... mana mungkin...!!! Akan tetapi dengan dalih bahwa mereka itu lebih tulus kepada umat dan lebih berkhidmat kepada sunnah daripada orang yang menerbitkannya atau mentahqiqnya dan mencetaknya sebelum mereka; padahal sesungguhnya mayoritas para pengikutnya -sebagaimana telah engkau lihat dari keadaan Al Halabiy– adalah tergolong para pencopet teks-teks (ucapan orang lain) dan para pakar dalam memalingkan ucapan dari posisi-posisi yang sebenarnya, mereka tidak memiliki hasrat kecuali tarqi’ (penambalan kekafiran) musuh-musuh dien ini dari kalangan para thaghut yang telah menghancurkan tauhid serta menegakkan syirik dan tandid, baik dengan menegakkan syubhat-syubhat yang busuk untuk memperenteng kekafiran mereka dan menjadikannya sebagai kufrun duna kufrin atau dengan memalingkan ucapan dari posisi yang sebenarnya dan memenggal perkataan ulama dan memaksakan muatan makna yang tidak ada di dalamnya serta menempatkannya bukan pada realita dan posisinya.
    Dan tidak ada kesibukan bagi mereka setelah itu, kecuali gunjingan, umpatan, celaan dan hinaan –sebagaimana yang telah engkau lihat dalam uraian yang lalu– terhadap setiap orang yang membangkang terhadap para thghut itu seraya mengingkari kemungkaran-kemungkaran mereka atau berupaya untuk merubah kemusyrikan-kemusyrikan mereka atau menjihadi kekafiran mereka. Dan tidak ada perbuatan bagi mereka yang paling mereka sukai dan paling mereka cintai daripada menghalang-halangi dari jalan mereka (para muwahhidin mujahidin)...!!! Dan mencap mereka dengan lebel Khawarij dan Takfiriy...!!!
    “...Kemudian... tidak ada sesuatupun...”126
    Mana tarbiyah yang selalu didengung-dengungkan oleh Syaikh...???!!!
    Adapun tashfiyah maka kami terima dengan senang hati.
    Kebencian kepada mereka tidaklah membawa kami untuk mengingkari upaya Syaikh dalam bab ini.
    Akan tetapi apakah dengan membersihkan sunnah dari hal-hal yang menempel padanya berupa hadits dla’if, bid’ah-bid’ah dan hal-hal yang diada-adakan, apakah dengan ini saja syirik masa kini yang dahsyat dan kebatilan para thaghut yang kelam bisa dirubah serta tauhid bisa direalisasikan...???
    Atau mesti ditambahkan dengan hal-hal yang banyak...???
    Yang diantaranya mengenal benar akan realita kemusyrikan ini dan mengetahui rukun-rukunnya, serta kemudian istinbath hukum syar’iy yang shahih di dalamnya dan menahan diri dari menqiyaskannya terhadap realita dan keadaan-keadaan para penguasa muslim di masa-masa khilafah dan penaklukan...!!!
    Dan kemudian menghati-hatikan (tahdzir) manusia dari kemusyrikan yang nyata dan kekafiran yang terang ini127, serta upaya yang serius untuk mengeluarkan mereka dari peribadatan terhadap makhluq kepada peribadatan terhadap Alloh Rabbul ‘Ibad dengan merealisasikan tauhidullah dalam ibadah, tha’ah dan tasyri’, serta menyiapkan para pemuda dan menyemangati mereka terhadap jihad dalam rangka itu untuk merubah syirik para penguasa dan menjatuhkan para thaghut yang diibadati selain Alloh ta’aalaa.
    Dan dengan makna lain bahwa tashfiyah yang didengung-dengungkan Syaikh tidak akan membuahkan hasilnya sehingga dilakukan tashfiyah pada semua aspek; bukan tashfiyah yang terbatas pada pemilahan hadits shahih dari yang dla’if, tanpa disertai pemilahan auliyaurrahman dari auliyausysyaihan serta tanpa disertai perealisasian tauhid dengan seluruh macam-macamnya dan bara’ah dari syirik dan tandid, atau tashfiyah yang kaku pada pemberantasan bid’ah shufiyyah dan syirik kuburan tanpa disertai pemberantasan syirik undang-undang dan aturan...!!!
    Kemudian Syaikh menutup ucapannya hal (81) dengan ucapan seorang du’at128, ia berkata: “Saya berangan-angan dari para pengikutnya andai mereka komitmen dengannya dan merealisasikannya, yaitu: Tegakkanlah negara Islam di hati kalian tentu ia ditegakkan di atas bumi kalian” Selesai.
    Ibnu Utsaimin telah mengomentari kalimat itu pada catatan kaki dengan ucapannya: “Ucapan yang bagus, WAllohul Musta’aan...!!!” Selesai.
    Dan saya katakan: Alloh lah tempat memohon pertolongan atas apa yang kalian sifatkan.
    Sudah sewajarnya kalian terkagum dengan ucapan ini dan wajar pula bila kalian mensifatinya bahwa ia bagus, karena ia termasuk warisan jama’ah-jama’ah Irja.
    Bau busuk Irja menebar darinya... apa engkau tidak melihat bahwa orang yang mengatakannya telah mengembalikan masalah kepada hati kemudian ia membangun penegakkan amaliyyah akan negara di atas bumi realita terhadap hal yang majhul (tidak diketahui): (ditegakkan).
    Seolah negara itu ditegakkan dengan hal-hal yang majhul tanpa amal, pengorbanan, jihad dan ijtihad... dan tanpa ada penindasan, intimidasi, ujian dan (pertumpahan) darah yang ditakutkan oleh Ahlut Tajahhum Wal Irja...!!
    Seandainya mereka berkata: “Tegakkanlah negara Islam di hati kalian, lisan kalian dan amal perbuatan kalian”, tentulah mereka selaras dengan jalan Ahlus Sunnah, dan tentu mencakup hal itu karena penegakkannya di hati, lisan dan anggota badan... rumah, keluarga, anak, realita, dakwah dan jihad.
    Dan begitulah mereka menegakkannya di atas bumi mereka dan mereka tidak menunggu (ditegakkan) bagi mereka begitu saja –dengan impian sebagaimana yang dikatakan Al Halabiy– tanpa amal...
    Bagaimanapun keadaannya, maka untuk obyektifitas kami katakan, setelah kalimat ini Syaikh berkata: “Karena orang muslim bila telah meluruskan ‘aqidahnya berlandaskan Al Kitab dan As Sunnah, maka tidak ragu bahwa ia dengan hal itu akan benar ibadahnya, akan benar akhlaqnya dan akan benar perilakunya...” Selesai.
    Akan tetapi susunan ungkapan ini juga tidak jauh berbeda dari ucapan itu, seolah yang dituntut dari orang muslim itu adalah pembenahan ‘aqidah saja.
    Dan di atas dasar ini ibadahnya akan benar, akhlaqnya akan benar dan perilakunya akan benar serta begitulah daulah ditegakkan.
    Sedangkan ini adalah tidak benar dan tidak selaras dengan realita, karena berapa banyak kami melihat orang-orang yang membawa ‘aqidah shahihah...!!! Dengan pemahaman ‘aqidah menurut Ahlut Tajahhum Wal Irja –yaitu bab Asma Wa Shifat dan masalah-masalah pengetahuan saja yang lain– kemudian tidak ada ibadah, akhlaq dan perilaku di atas minhajunnubuwwah...!!! Malah mereka menjadi tentara yang setia bagi musuh-musuh syari’at, menjadi lawan dan msuuh yang selalu mencela bagi para muwahhid, membuat pengkaburan dan manipulasi terhadap al haq dan petunjuk, serta mengganti dan memalingkan ucapan ulama.
    Dan yang shahih adalah bahwa wajib atas orang muslim untuk meluruskan ‘aqidahnya dan memurnikan tauhidnya, dan meluruskan pandangan-pandangan dan ibadahnya, meluruskan akhlaknya, meluruskan dakwahnya, meluruskan dan menegakkan jihadnya sesuai manhaj nubuwwah, dan itu dengan usaha serius dan berkesinambungan, serta i’dad, pembakaran semangat dan jihad untuk menegakkan dienullah dan perealiasian tauhid dengan menjihadi para thaghut.
    Kemudian bila kita telah melakukan hal itu dan negara tegak lewat tangan kita maka itu adalah harapan, namun bila tidak tegak maka kita berjumpa dengan Alloh sedang Dia ridla terhadap kita bila kita berjumpa dengan-Nya sedang kita berada di atas jalan orang-orang mu’min yang sebenarnya dan di atas jalan dan manhaj Ath Thaifah Al Manshurah yang sejujurnya serta di atas jalan orang-orang yang telah Alloh berikan karunia terhadap mereka dari kalangan para nabi, shiddiqin, syuhada dan shaalihin.
    Ya Alloh jadikanlah kami dalam golongan mereka dan bagian anshar mereka...
    Amin...

    Wa Ba’du
    Ini adalah ringkasan apa yang saya ingin ingatkan dalam Fatwa Al Albaniy dan Muqaddimah Al Halabiy serta komentar-komentarnya atas hal itu.
    Ketahuilah bahwa saya telah berpaling dari banyak hal yang saya lihat pengkaburan yang berulang yang telah saya bantah dalam sebagian apa yang telah lalu, sehingga saya tidak butuh untuk mengulang-ulangnya karena khawatir bosan dan memperpanjang bahasan.
    Seperti itu juga pujian Ibnu Baz dan komentar Ibnu Utsaimin, karena keduanya tidak mendatangkan hal yang baru dan keduanya tidak mendatangkan dengan dalil, maka mayoritas ucapan mereka itu tidak lebih dari sekedar pengulangan terhadap ucapan Al Albaniy, dan pembauran akan masalah orang yang memutuskan dengan apa yang telah Alloh turunkan lagi komitmen dengan dienullah ta’aalaa bila ia meninggalkan sebagian putusan karena hawa nafsu dan syahwat... dengan realita syirik thaghutiy hari ini.
    Dan begitu pula Ibnu Utsaimin mengakhiri komentarnya dengan buah Irja yang sama yang mana Al Albaniy telah memungkas dengan itu fatwanya... serta Al Halabiy telah memungkas muqaddimahnya dengan hal itu sebelumnya yaitu tahdzir dari Khuruj terhadap para thaghut itu, penggembosan dari menjihadi mereka, mencela terhadap orang yang mengkafirkan mereka atau berfikir untuk khuruj terhadap mereka, serta mencap mereka dengan cap yang bisa menjerumuskan si pencapnya...!!!
    Sikap serabutan ini telah sering kami bantah berulang-ulang dalam uraian yang lalu yang cukup bagi orang yang ingin petunjuk. Adapun orang yang telah Alloh kunci mati hatinya dengan sebab dia berpaling dari Al Haq, maka andai saja gunung-gunung saling beradu di hadapannya maka tetap saja dia tidak akan sadar...
    Kita memohon ‘afiyah dan keselamatan kepada Alloh...
    Ibnu Baz telah panjang lebar menukil dari Syaikhul Islam tentang masalah shalat (bermakmum) di belakang Ahli bid’ah dan rincian di dalamnya... sedangkan hal ini tidak ada kaitan dengan bahasan kita di sini, dan ia memiliki tempat yang terperinci dalam kitab kami (Masaajid Adl Dliraar Wa Hukmu Ash Shalaah Khalfa Auliyaa Ath Thaghut Wa Nuwwaabihi).
    Sebagiamana kami juga memiliki banyak tinjauan dan bantahan terhadap para Syaikh itu dalam banyak tempat lain... semoga Alloh memudahkan pengeluarannya.
    Ketahuilah sesungguhnya saya telah tergesa-gesa dalam menyelesaikan tulisan lembaran-lembaran ini karena saya sudah tidak sabar untuk membuka-buka kitab-kitab mereka. Berapa banyak yang telah kami telan darinya di awal masa kami mencari ilmu sampai akhirnya kami memuntahkannya kembali. Demi Alloh Yang tidak ada ilah yang berhaq diibadati kecuali Dia, sesungguhnya dada saya terasa sesak dengan sebab mengamati kitab-kitab mereka, karena di dalamnya terdapat kebatilan, pengkaburan, pemutarbalikan urusan, kejahilan dan pengada-adaan, dan saya khawatir akan penyakit pada hati saya bila saya terlalu lama membolak-balik di dalamnya.
    Semoga Alloh merahmati Ibnul Mubarak dan ulama salaf lainnya, bisa jadi perasaan saya ini adalah perasaan mereka saat mereka berkata: “Sesungguhnya kami mau menghikayatkan ucapan Yahudi dan Nasrani, namun kami tidak mampu menghikayatkan ucapan Jahmiyyah...!!!”
    Akan tetapi saya telah melawan diri saya terhadap apa yang ia benci dari hal itu untuk menulis bantahan ini dengan harapan Alloh membuka dengannya hati-hati yang tertutup, mata-mata yang buta dan telinga-telinga yang tuli.
    Seandainya Alloh tidak mentaqdirkan saya masuk penjara sehingga saya memiliki waktu luang yang tidak saya dapatkan di luar, dan itu karena saya jauh dari program tulisan-tulisan yang penting, tentulah saya tidak akan menulis hal ini dan tentu saya tidak menyibukkan diri ini di dalamnya.
                  
    “...Mungkin kamu tidak menyukai sesautu, padahal Alloh menjadikan padanya kebaikan yang banyak” (An Nisaa’: 19).
                   
    “..Boleh jadi kamu membenci sesuatu, padahal ia amat baik bagimu” (Al Baqarah: 216).
    Tidak lupa saya mengingatkan pembaca tulisan saya ini bahwa saya menulisnya dalam kondisi miskin dari referensi dalam penahanan, oleh sebab itu saya –jujur– tidak merasa bahwa saya telah memberikan kecukupan dan menuntaskan dalam menelusuri nukilan-nukilan Al Halabiy dan merujukkannya terhadap referensi-referensi aslinya karena referensi-referensi itu tidak lengkap di penjara. Oleh karenanya setelah saya mendapatkannya ada padanya pemotongan dan pemenggalan terhadap teks-teks ucapan ulama, talbis dan tadlis setelah saya rujukan nukilan-nukilan itu terhadap referensi-referensi asli yang saya dapatkan di sini atau copyan dari sebagian halaman-halamannya; maka saya mendapatkan pada diri saya rasa keberatan dari percaya terhadap segala bentuk pengutaraan dalil-dalil Al Halabiy ini dan nukilan-nukilannya dari ulama..!!!
    Hendaklah hal ini diperhatikan...!!!
    Dan semoga hal ini diperhatikan oleh orang yang specialist dan mengkhususkan diri dalam menelusuri pencurian-pencurian Al Halabiy dan kawan-kawannya, serta tadlisat mereka, semoga Alloh menolong mereka...!!!
    Adapun saya, maka saya memandang bahwa dalam apa yang saya contohkan terdapat kadar cukup bagi pencari Al Haq agar dengannya ia mengetahui hakikat mereka dan keadaan-keadaannya bila memang hatinya hidup dan tidak terkena karat kesesatan.
    Siapa orang yang hatinya mati maka dia tidak akan dapat petunjuk selamanya
    Walaupun kamu datang kepadanya dengan dalil-dalil yang benar
    Dan sebelum saya mengakhirinya dengan penutup... saya ingin mengingatkan terhadap ucapan yang dengannya Al Halabiy menutup (Tahdzirnya) dan ia memberinya judul dengan judul (Hukmun Fil Hukmi), serta dia berkata tentangnya dalam catatan kaki hal (113): “Pembahasan yang diambil dari diktat ilmiyyah Al Akh Al Fadlil Asy Syaikh Abul Hasan Al Mishriy –semoga Alloh memberikan manfaat dengannya– di hadapan guru kami Al Albaniy hafizhahullah ta’aalaa, dan intisari serta hasil bahasan ini telah ditelaah oleh Fadlilatusy Syaikh Muhammad Ibnu Shalih Al Utsaimin waffaqahullah”. Selesai catatan kaki Al Halabiy.
    Terus dia menuturkan firman Alloh ta’aalaa:
                                  
    “Apakah kamu tidak memperhatikan orang-orang yang mengaku dirinya telah beriman kepada apa yang diturunkan kepadamu dan kepada apa yang diturunkan sebelum kamu? Mereka hendak berhakim kepada thaghut, padahal mereka telah diperintahkan mengingkari tahghut itu. Dan syaitan bermaksud menyesatkan mereka (dengan) penyesatan yang sejauh-jauhnya...” (An Nisaa’: 60).
    Kemudian ia berkata: “Orang-orang yang disebutkan dalam ayat-ayat yang mulia ini pada awalnya bukanlah orang-orang kafir, [mengaku dirinya telah beriman kepada apa yang diturunkan kepadamu] padahal telah muncul dari mereka: hendak berhakim kepada thaghut” Selesai.
    Saya katakan: Seandainya orang yang berbicara itu memaksudkan bahwa mereka itu adalah orang-orang mu’min sebelum itu –tentulah kami tidak menyelisihinya– akan tetapi dia memaksudkan bahwa mereka itu bukanlah orang-orang kafir walaupun mereka itu hendak berhakim kepada thaghut, supaya ia membangun di atas hal ini –sebagaimana yang akan datang– bahwa berhakim kepada tahghut itu bukanlah kekafiran dan pelakunya tidak berhak untuk dibunuh dan diperangi...!!!
    Sedangkan ini adalah gugur, sebagaimana ia jelas, dengan zhahir firman Alloh ta’aalaa di mana Dia mensifati iman mereka dengan firman-Nya (yaz’umuuna/mengaku), maka ia adalah pendustaan terhadap mereka. Dan siapa yang merujuk ucapan ulama dan ahli tafsir maka ia mendapatkan mereka menguatkan akan hal itu.
    Dan telah kami ketengahkan kepadamu ucapan sebagian mereka dalam uraian yang telah lalu, di antaranya:
    Ucapan Syaikh Abdurrahman Ibnu Hasan Alu Asy Syaikh: “Sesungguhnya Alloh ta’aalaa mengingkari terhadap orang yang berkehendak hal itu129 dan Dia mendustakan mereka dalam pengakuan iman mereka karena dalam kandungan firman-Nya [mengaku] terdapat penafian keimanan mereka, sebab sesungguhnya [yaz’umuuna/mengaku] hanyalah dikatakan kepada orang yang mengklaim suatu klaim yang mana ia dusta di dalamnya karena ia menyalahi konsekuensinya dan melakukan apa yang menafikannya. Hal ini ditegaskan dengan firman-Nya [padahal mereka itu telah diperintahkan untuk kafir terhadapnya] karena kufur kepada thaghut itu adalah rukun tauhid sebagaimana dalam ayat Al Baqarah, kemudian bila rukun ini tidak terealisasi maka ia bukan muwahhid”130 Selesai.
    Asy Syinqithiy berkata dalam Adlwaul Bayan : “Bisa dipahami dari ayat-ayat ini [...dan Dia tidak menyertakan seorangpun dalam hukum-Nya] bahwa orang-orang yang mengikuti hukum-hukum para pembuat hukum selain apa yang telah Alloh tetapkan sesungguhnya mereka itu adalah musyrikin billah” sampai beliau berkata: “Dan di antara dalil yang paling nyata dalam hal ini adalah bahwa Alloh jalla wa a’laa menjelaskan dalam surat An Nisaa’ bahwa orang-orang yang berkehendak untuk berhakim kepada selain apa yang telah Alloh syari’atkan dianggap aneh saat mereka mengkalim bahwa mereka itu mu’minun, dan itu tidak lain adalah bahwa klaim mereka beriman dengan disertai keinginan berhakim kepada thaghut adalah kebohongan yang dahsyat yang pantas diherankan, dan itu dalam firman-Nya ta’aalaa: “Apakah kamu tidak memperhatikan orang-orang yang mengaku dirinya telah beriman kepada apa yang diturunkan kepadamu dan kepada apa yang diturunkan sebelum kamu? Mereka hendak berhakim kepada thaghut, padahal mereka telah diperintah mengingkari thaghut itu. Dan syaitan bermaksud menyesatkan mereka (dengan) penyesatan yang sejauh-jauhnya”.
    Dengan nash-nash samawiyyah yang telah kami utarakan ini nampaklah dengan sejelas-jelasnya bahwa orang-orang yang mengikuti undang-undang positif (qawanin wadl’iyyah) yang telah disyari’atkan (digulirkan) syaitan lewat lisan-lisan para walinya seraya menyelisihi terhadap apa yang Alloh syari’atkan lewat lisan-lisan para rasul-Nya ‘alaihimussalam, bahwasanya tidak ada yang meragukan kekafiran dan kemusyrikan mereka, kecuali orang yang Alloh telah menghapus mata hatinya dan Dia membutakannya dari cahaya wahyu seperti mereka” Selesai.
    Inilah sungguh langsung setelah ayat ini dan dalam konteks yang sama Alloh ta’aalaa telah bersumpah dengan Diri-Nya Yang Maha Agung serta Dia mengulang-ulang alat penafian dua kali untuk memperkuat apa yang disumpahi, Dia berfirman:
                       
    “Maka Demi Tuhanmu, mereka (pada hakikatnya) tidak beriman hingga mereka menjadikan kamu hakim dalam perkara yang mereka perselisihkan, kemudian mereka tidak merasa keberatan dalam hati mereka terhadap putusan yang kamu berikan, dan mereka menerima dengan sepenuhnya” (An Nisaa’: 65).131
    Alloh subhaanahu wa ta’aalaa bersumpah dengan sumpah yang agung ini terhadap peniadaan iman dari mereka sampai mereka menjadikan Rasululloh shalallaahu ‘alaihi wa sallam sebagai hakim dan mereka berlepas diri dari hukum thaghut.
    Namun walaupun ayat-ayat tadi yang membuat merinding kulit orang-orang yang beriman itu nyata lagi jelas, akan tetapi si penulis bahts tadi dan si pemberi semangat lagi yang terkagum dengannya, yaitu Al Halabiy, memiliki pendapat lain dan dalam hal itu mereka memiliki pandangan...!!! Di mana engkau bisa melihat dia berkata hal (114): “Tetapi tatkala mereka itu –saat meninggalkan hukum (Alloh)– mengakui bahwa hukum Alloh adalah haq sedang yang selainnya adalah batil dan mereka tidak mengingkarinya atau mendustakannya atau inkar terhadapnya...!!! Maka sikap terhadap mereka adalah: “Karena itu berpalinglah kamu dari mereka, dan berilah mereka pelajaran, dan katakanlah kepada mereka perkataan yang berbekas pada jiwa mereka...” maka hal yang wajib dilakukan terhadap orang yang seperti keadaan mereka: adalah berpaling dan nasihat dan bukanlah takfier dan hukum bunuh...!!!
    Seandainya mereka telah kafir dengan sekedar perbuatan mereka tanpa perincian antara amalan dan keyakinan... tentulah Alloh ‘azza wa jalla telah memerintahkan kita untuk membunuh mereka sebagaimana dalam shahih Al Bukhari (6524) bahwa Nabi berkata: (Siapa yang mengganti diennya maka bunuhlah dia ), namun tatkala mereka itu tidak seperti itu maka Rabb kita tidak menuntut dari kita untuk memperlakukan mereka dengan hal itu. Selesai
    Dan ucapan ini didalamnya terdapat kejahilan yang nyata dan pembauran yang jelas, dan yang aneh itu bukan dari si penulis bagaimana ia menulisnya dan bukan dari Al Halabiy bagaimana ia memasukkannya ke dalam kitabnya...
    Namun yang aneh adalah orang-orang yang dianggap faqih dan ‘alim serta imam –sebagaimana yang dilabelkan kepada mereka oleh Al Halabiy– bagaimana mereka mengakuinya dan merestuinya.
    Adapun ucapannya “...tetapi tatkala mereka itu –saat meninggalkan hukum (Alloh)– mengakui bahwa Alloh adalah haq sedang yang selain-Nya adalah batil dan mereka tidak mengingkarinya atau mendustakannya atau ingkar terhadapnya...!!!” dan begitu juga ucapannya “...Seandainya mereka telah kafir dengan sekedar perbuatan mereka tanpa perincian antara amalan dan keyakinan…) Selesai.
    Telah lalu pembahasan terhadap hal seperti ini, dan engkau telah mengetahui bahwa takfier itu tidak dibatasi pada juhud, takdzib dan i’tiqad kecuali oleh Jahmiyyah dan orang-orang yang di atas jalan mereka dari kalangan ahlul bid’ah...
    Dan dalam apa yang telah lalu dalam bantahannya dan penjelasan hakikat realita hukum para thaghut hari ini dan bahwa itu adalah kekafiran yang nyata yang mana takfier di dalamnya tidak membutuhkan pada pensyaratan takdzib atau juhud atau istihlal... terdapat kadar cukup bagi orang yang menginginkan hidayah.
    Dan adapun ucapannya: “...maka hal yang wajib dilakukan terhadap orang yang seperti keadaan mereka adalah berpaling dan memberi nasihat dan bukanlah takfier dan hukum bunuh…!!! Seandainya mereka telah kafir dengan sekedar perbuatan mereka...” hingga akhir ucapannya.
    Maka sudah ma’lum di kalangan setiap orang yang memiliki pengetahuan akan syari’at dan sirah Nabi shalallaahu ‘alaihi wa sallam sebagaimana yang telah dituturkan oleh Ibnu Hazm dalam Al Muhalla, Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah dalam Ash Sharim Al Maslul dan Al Qadli ‘Iyadl dalam Asy Syifa; bahwa tidak ada perintah untuk membunuh orang-orang yang ada dalam ayat-ayat ini dan yang sebangsanya serta sikap Nabi shalallaahu ‘alaihi wa sallam tidak membunuh mereka adalah tidak menunjukkan terhadap pemahaman yang diklaim dan disimpulkan oleh si pengklaim ini, karena perintah untuk berpaling dari orang-orang semacam mereka itu dan sikap tidak membunuh mereka hanyalah terjadi sebelum kokoh kekuatan kaum muslimin dan sebelum turun firman-Nya ta’aalaa:
    “Hai Nabi, perangilah orang-orang kafir dan orang-orang munafiq dan bersikap keraslah terhadap mereka. Tempat mereka adalah neraka jahannam dan itu adalah seburuk-buruk tempat kembali” (At Taubah: 73 dan At Tahrim: 9).
    Syaikhul Islam telah menjelaskan dalam banyak tempat dari Ash Sharimul Maslul132 bahwa Nabi shalallaahu ‘alaihi wa sallam sebelum turun ayat ini diperintahkan untuk bersabar terhadap penindasan mereka, berpaling dari mereka serta memaafkan; sampai kejayaan Islam menjadi sempurna setelah perang Tabuk dan kekuasaan Islam makin membesar, maka turunlah ayat ini dan yang semisalnya sebagai penghapus akan hal itu... sehingga tidak seorang kafir atau munafiqpun mampu menampakkan kekafirannya karena dia mengetahui setelahnya bahwa ia akan ditangkap dan dibunuh bila melakukannya. Oleh sebab itu adalah orang yang nampak darinya sesuatu dari hal itu setelah ayat ini, dia segera cepat menampakkan penyesalan dan peng-i’lan-an taubat, sehingga dia dibiarkan dan darahnya terjaga dengan hal itu. Syaikhul Islam telah menuturkan sebab-sebab lain kenapa Nabi tidak membunuhnya dalam fase itu, silahkan engkau rujuk kepadanya dan tadabburi-lah karena sesungguhnya ia sangat penting dan berfaidah dalam membungkam setiap mujadil (orang yang membela-bela) kaum kafir dan munafiq atau orang yang menuduh orang yang menampakkan kekafiran dari kaum munafiqin133, atau orang yang berdalil dengan hal itu atas ketidakkafiran orang-orang yang memperolok-olokan dien ini134 dan orang-orang yang berhakim kepada para thaghut dan kaum kafir lainnya.
    Andai sekedar perintah berpaling dari orang-orang tersebut dan meninggalkan dari membunuh dan memerangi mereka pada suatu fase dari fase-fase dakwah Nabi shalallaahu ‘alaihi wa sallam adalah layak untuk dijadikan dalil untuk suatu yang dimaksudkan oleh si penulis bahts tersebut serta girang dan terbang dengannya Al Halabiy; yaitu berupa klaim bahwa hal yang wajib adalah tidak mengkafirkan orang-orang yang berpaling dari syari’at Alloh lagi berhakim kepada thaghut... tentulah layak begitu juga untuk berdalil dengannya atas sikap tidak boleh mengkafirkan dan memerangi kaum musyrikin dan kuffar secara keseluruhan... sama saja... Karena perintah untuk berpaling dari orang-orang kafir di dalam Kitabullah adalah banyak –sebelum turunnya ayat pedang- dan yang serupa dengannya berupa ayat-ayat perintah untuk memerangi orang-orang kafir dan kaum musyrikin seluruhnya serta sikap kasar terhadap mereka...
    Seperti firman Alloh ta’aalaa:
          
    “Maka sampaikanlah olehmu secara terang-terangan segala apa-apa yang diperintahkan (kepadamu) dan berpalinglah dari orang-orang yang musyrik” (Al Hijr: 94).
    Maka apakah boleh menurut orang-orang yang berakal berdalil dengan hal ini bahwa hal yang wajib itu adalah tidak mengkafirkan kaum musyrikin secara keseluruhan dan tidak boleh membunuh serta memerangi mereka secara muthlaq...!!! Sebagaimana yang dilakukan oleh si penulis baths dalam diktat ilmiyyahnya...!!! Di hadapan Syaikhnya Al Albaniy...!!! Dan dengan sepengetahuan Syaikh mereka Ibnu Utsaimin...!!! Sehingga dengan hal itu gugurlah jihad dan istisyhad...???
    Suatu yang menjadi jawaban mereka atas hal ini maka ia adalah jawaban terhadap bahts mereka dan diktat mereka itu...
    Dan serupa dengan itu firman-Nya ta’aalaa:
      •         
    “Maka berpalinglah (hai Muhammad) dari orang yang berpaling dari peringatan Kami, dan tidak menginginkan kecuali kehidupan duniawi” (An Najm: 29).
    Dan firman-Nya ta’aalaa:
    •               
    “Ikutilah apa yang diwahyukan kepadamu dari Tuhanmu, tidak ada ilah (yang hak) kecuali Dia dan berpalinglah dari kaum musyrikin” (Al An’aam: 106).
    Dan firman-Nya ta’aalaa:
         
    “Maka berpalinglah kamu dari mereka dan tunggulah, sesungguhnya mereka (juga) menunggu”. (As Sajdah: 30)
    Dan ayat-ayat lain yang serupa.
    Seandainya mereka mengklaim dalam bahts mereka ini bahwa berpaling pada hari ini dari orang-orang kafir adalah rukhshah yang boleh diambil pada kondisi ketertindasan atau pada saat tidak memungkinkan dari membunuh dan memerangi, tentulah mereka memiliki pendahulu dalam hal itu dari kalangan ahli ilmu...
    Akan tetapi mereka menyebutkan bersama qatl (membunuh) masalah takfier yang meyakininya dan menganutnya tidak ada kaitan dengan kondisi ketertindasan, sehingga mereka datang dengan kejahilan dan kerancuan yang tidak seorangpun mendahului mereka kepadanya, dan mereka tegas-tegasan menyatakan kewajiban berpaling secara muthlaq dari takfier dan membunuh orang yang berpaling dari hukum Alloh dan malah berhakim kepada thaghut. Ini adalah pendapat yang tidak pernah dikatakan oleh seorangpun yang paham dan mengetahui ushul syari’at, bahkan tidak berdalil dengan cara berdalil mereka yang rusak ini kecuali orang yang mencari-cari hal-hal yang samar lagi berpaling dari yang muhkam yang menjelaskannya.
    Dan sudah ma’lum bahwa ini bukan jalan orang-orang yang mantap dalam ilmu dari kalangan Ahlus Sunnah Wal Jama’ah, akan tetapi ia adalah jalan orang-orang sesat yang Alloh sebutkan di awal surat Ali ‘Imran:
                  •                        •            
    “...Adapun orang-orang yang hatinya condong pada kesesatan, maka mereka mengikuti sebahagian ayat-ayat yang mutasyabihat untuk menimbulkan fitnah dan untuk mencari-cari takwilnya…” (Ali ‘Imran: 7).
    Kita memohon keselamatan dan ‘afiyah kepada Alloh...
    Tinggal kami ingatkan di akhir ini bahwa orang-orang yang Alloh sebutkan dalam ayat-ayat ini sebagaimana yang Alloh tegaskan hanyalah berkehendak untuk berhakim kepada thaghut saja... namun demikian ternyata vonis terhadap mereka adalah apa yang telah engkau ketahui.
    Maka bagaimana gerangan dengan orang yang memang ia betul-betul berhakim dalam semua urusannya, perselisihannya, perseteruannya kepada thaghut-thaghut lokal, regional dan internasional...??? Bahkan ia menyerahkan jalan hidup dan matinya serta kepemimpinannya kepada thaghut, dan dia menjadikannya pembuat hukum tertinggi sebagaimana yang ditegaskan oleh UUD mereka. Dia menjadikan qanun dan aturannya yang batil sebagai hukum yang berlaku dan yang dikedepankan dan yang benar-benar berkuasa dalam hal darah, jiwa, kemaluan, kehormatan dan harta bahkan ialah yang mengendalikan syari’at dan dien ini...???
    Sebagaimana ia realita para penguasa hukum syirik hari ini...!!!
    Perhatikan hal ini... dan jangan kamu tergolong orang yang terpedaya oleh gamelan dan penipuan Ahlut Tajahhum Wal Irja.

    Penutup
    Ada baiknya saya menutup lembaran-lembaran ini dengan isyarat-isyarat yang cepat... dengan harapan ia bisa membantu dalam menerangi jalan bagi pencari al haq serta melenyapkan rintangan dari penempuh jalan...
    Saya katakan...
    Pertama: Ketahuilah bahwa sebagian (Murji-ah Gaya Baru) telah mengingkari dengan sebab mereka dicap dengan cap ini, dan di antara mereka adalah Al Halabiy dan para Syaikhnya...135
    Ketahuilah, sesungguhnya kami sebenarnya telah bersikap lembut kepada mereka dengan cap itu, karena sebenarnya sesungguhnya orang yang mengamati pada realita-realita keadaan mereka dan yang sebagiannya telah nampak di hadapan anda dalam uraian yang lalu; berupa sikap mereka menutup-nutupi kekafiran para thaghut dan menganggap enteng kekafiran dan kemusyrikan mereka serta menyetarakan pembuatan hukum dan kekafiran yang nyata yang mereka lakukan dengan kezhaliman para khalifah di zaman-zaman penaklukan, supaya setelah itu mereka menjadikannya (kufrun duna kufrin), pada waktu di mana mereka menabuh genderang perang terhadap para muwahhidin dari kalangan mujahidin dan menuduhnya dengan cap-cap yang paling busuk, bukan karena alasan apa-apa, kecuali karena mereka mengkafirkan para thaghut itu dan karena mereka mengajak untuk bara’ah dari mereka, menjauhi mereka dan menentangnya.
    Itu di samping talbisat, tadlisat, pencampuradukkan dan sikap mereka mengikuti warisan Jahmiyyah dalam hal membatasi kekafiran semuanya pada juhud atau pendustaan hati.
    Saya katakan: Orang yang mengetahui hal ini dan menelitinya; maka ia akan mengetahui bahwa termasuk kezhaliman yang sangat jelas setelah ini semuanya sikap kita menyertakan mereka dengan Murji-ah pertama atau menyamakannya dengan mereka serta menjadikannya sama seperti mereka, terutama bila kita mengetahui bahwa kekeliruan Murji-ah pertama itu terutama Murji-ah Fuqaha adalah dalam masalah nama, dan mereka tidak membangun di atasnya sikap tafrith dalam amalan, bahkan penyelisihan mereka terhadap Ahlus Sunnah adalah dalam perihal lafazh-lafazh dan nama-nama, yaitu definisi saja, dan tidak membangun di atas hal itu peninggalan rukun-rukun (Islam) atau amalan, atau penambalan buat kaum murtaddin dan kuffar, dan mereka tidak membolehkan dengan paham Irjanya tawalliy kepada kuffar dan nushrah mereka...!!!
    Oleh sebab itu salaf tidak mengkafirkan mereka...!!!
    Syaikhul Islam berkata: “Dan adapun Murji-ah maka teks-teks beliau –yaitu Al Imam Ahmad– tidak berbeda bahwa beliau tidak mengkafirkan mereka, karena bid’ah mereka itu tergolong jenis perselisihan fuqaha dalam furu’. Dan banyak dari ucapan mereka kembali perselisihan di dalamnya pada perselisihan dalam lafazh dan asma oleh sebab itu dinamakan pembicaraan tentang masalah-masalah mereka (bab al asma), sedangkan ini tergolong perselisihan para fuqaha akan tetapi tatkala ia berkaitan dengan ashluddien maka orang yang menyelisihi di dalamnya adalah mubtadi’.”136 Selesai.
    Bila bid’ah kaum Murji-ah muta’akhkhirin itu berhenti pada penamaan al iman dan al kufr, yaitu dalam hal lafazh-lafazh dan nama-nama, maka boleh bagi kita untuk menyamakan mereka dengan Murji-ah terdahulu, kita membid’ahkan mereka dan mencap mereka sesat, karena pendapat (keyakinan yang menyimpang) mereka itu ada pada Ashluddien, serta kita tidak mengkafirkan mereka selama mereka tidak membangun di atas paham Irjanya ini sikap tawalliy kepada thaghut, nushrahnya, membai’atnya atau nushrah undang-undangnya atau ikut serta dalam membuat hukumnya atau sebab-sebab takfier yang nyata lainnya.
    Dan orang yang mengamati pada keadaan-keadaan Murji-ah terdahulu, dia akan yakin dari kebenaran ucapan Syaikhul Islam ini, karena (‘aqidah) mereka memisahkan amal dari iman hanyalah dalam definisi saja.
    Di mana orang yang menelusuri biografi-biografi mereka akan kaget saat ia melihat bahwa di antara para pembesar tokoh Murji-ah dan para du’atnya itu ada orang yang masyhur dengan ibadah, zuhud dan amal, bahkan pengingkaran yang munkar serta yang lainnya.
    – Inilah dia Muhammad Ibnu Kurram As Sijistaniy yang mana Murji-ah Kurramiyyah disandarkan kepadanya dan ia yang mengatakan iman itu adalah ucapan tanpa amalan. Ahli sejarah mensifatinya dengan ucapan mereka: Abu Abdillah Al ‘Abid137
    – Ini Salim Ibnu Salim Abu Babr Al Bakhiy, Ibnu Katsir berkata tentangnya: “Ia adalah penyeru kepada paham Irja... akan tetapi ia itu adalah tokoh dalam amar ma’ruf nahi munkar, ia adalah ahli ibadah lagi zuhud, pernah selama 40 tahun tidak pernah memakai hamparan, dan ia shaum hari-harinya kecuali 2 hari raya138. Ia datang ke Baghdad terus ia mengingkari Ar Rasyid dan ia mengecamnya, sehingga ia ditahan dan dibelenggu dengan 12 belenggu, kemudian Abu Mu’awiyyah terus memberinya syafa’at sampai akhirnya mereka menjadikannya pada 4 belenggu...”139 Selesai.
    – Abu Mu’awiyah yang memberi syafa’at itu adalah Abu Mu’awiyah Adl Dlarir Muhammad Ibnu Khazim Ibnu Buzai’, ia juga tergolong penyeru kepada Irja sedang ia itu ahli ibadah.
    – Dan juga Qais Ibnu Muslim Al ‘Adwaniy, ia adalah Murji-ah yang ahli ibadah. Sufyan berkata: Mereka mengatakan: “Qais Ibnu Muslim tidak pernah mengangkat kepalanya ke langit semenjak ini dan itu sebagai ta’zhim kepada Alloh”.
    – Dan begitu juga Abdul Majid Ibnu Abdil Aziz Ibnu Abi Rawwad, ia adalah tokoh dan penyeru Irja, sampai-sampai Abdurrazzaq berkata tatkala mendengar kabar kematiannya: “Alhamdulillah yang telah menenteramkan umat Muhamamd dari Abdul Majid”. Dan Ahmad berkata: “Ia memiliki sikap ghuluw dalam Irja, ia berkata mereka itu adalah syakkaak, ia memaksudkan ucapan ulama: Saya mu’min Insyaa Alloh”.
    Namun demikian Yahya Ibnu Ma’in berkata: “Ia itu shaduuq, tidak pernah mengangkat kepalanya ke langit, dan orang-orang mengagungkannya”.
    Dan Abdullah Ibnu Ayyub Al Makhramiy berkata: “Seandainya saya melihat Abdul Majid, tentu saya melihat orang yang agung karena ibadahnya”.
    Harun Al Hammal : Saya tidak melihat orang yang lebih khusyu’ kepada Alloh daripada Waki’, dan Abdul Majid adalah lebih khusyu’ darinya”.
    Adz Dzahabiy berkata dalam As Siyar 9/436: “Kekhusyuan Waki’ disertai imamahnya dalam As Sunnah menjadikan dia dikedepankan, berbeda dengan kekhusyu’an orang Murji’ ini –semoga Alloh memaafkannya– semoga Alloh melindungi kami dan kalian dari menyelisihi sunnah”.
    – Begitu juga Umar Ibnu Abdillah Al Hamdaniy, salah seorang tokoh Murji-ah, Al Imam Ahmad berkata tentangnya: “Dialah orang yang pertama kali melontarkan paham Irja, namun demikian ia tergolong ahli ibadah yang ucapan-ucapannya digunakan untuk mendorong tahajjud dan mengisi malam hari dengan ibadah...”
    Dan di antara ucapannya itu: “Tatkala para ahli ibadah melihat malam telah menyerang mereka dan mereka memandang orang-orang yang lalai telah tenang di tempat tidurnya, mereka berdiri menuju Alloh sambil berbahagia dan berseri-seri dengan apa yang telah diberikan Alloh kepada mereka berupa keindahan ibadah malam dan panjangnya tahajjud. Mereka menyambut malam dengan badan-badannya dan mengarungi kegelapan-kegelapannya dengan wajah-wajah mereka yang khusyu. Malampun meninggalkan mereka namun tidak lenyap kenikmatan-kenikmatan mereka dengan sebab tilawah dan badan-badan mereka tidak bosan dari panjangnya ibadah. Dan akhirnya dua kelompok manusia telah meninggalkan malam dengan keuntungan dan kerugian, dan sungguh jauh perbedaan antara dua kelompok itu, maka beramAlloh untuk diri kalian rahimakumullah pada malam ini dan kegelapannya, karena sesungguhnya orang yang tertipu adalah orang yang telah tertipu kebaikan malam dan siang, sedangkan orang yang terhalangi adalah orang yang terhalangi kebaikan keduanya. Dan keduanya hanyalah dijadikan sebagai jalan bagi kaum mu’minin untuk taat kepada Rabb mereka, dan bumerang atas yang lainnya untuk lalai dari diri mereka sendiri, maka hidupkanlah karena Alloh diri kalian dengan mengingat-Nya, karena hati itu hanya hidup dengan mengingat Alloh”. Selesai.
    Dan contoh-contoh itu sangatlah banyak, dan saat membaca kitab-kitab biografi, saya melewati banyak darinya, dan sangat mungkin sekali bagi pencari al haq untuk merujuk kitab-kitab Ar Rijal (biografi para tokoh)140 serta ia menelusuri biografi kaum Murji-ah agar ia mengetahui bahwa awal mula munculnya Irja hanyalah dalam hal lafazh, asma (nama-nama) dan ta’rifat (definisi-definisi), akan tetapi setelah itu menjadi pijakan untuk menyepelekan amal dan pintu untuk munculnya kebejatan dan penyepelean ketaatan.
    Sebagaimana yang dikatakan Syaikhul Islam141: “Oleh sebab itu masuk dalam Irja Fuqaha sejumlah orang yang mana mereka itu di kalangan para imam adalah ahli ilmu dan dien, oleh sebab itu tidak ada seorang salaf pun mengkafirkan seorang dari Murji-ah Fuqaha, bahkan mereka menjadikan hal ini bagian dari bid’ah ucapan dan perbuatan bukan bagian dari bid’ah keyakinan, karena banyak dari perselisihan itu bersifat lafazh, akan tetapi lafazh yang selaras dengan Al Kitab dan As Sunnah-lah yang benar, tidak seorang pun punya hak berkata dengan perkataan yang menyelisihi perkataan Alloh dan Rasul-Nya, terutama sesungguhnya hal itu telah menjadi pintu masuk pada bid’ah ahli kalam dari kalangan Ahli Irja dan yang lainnya serta (jalan) pada munculnya kebejatan, sehingga kesalahan yang sedikit dalam lafazh itu telah menjadi sebab bagi kesalahan yang besar dalam keyakinan dan amalan. Oleh sebab itu sangat dahsyat ucapan (ulama) tentang mencela Irja, sampai Ibrahim An Nakh’iy berkata: “Sungguh fitnah mereka ~yaitu Murji-ah~ lebih ditakutkan terhadap umat ini daripada fitnah Azariqah”142
    Az Zuhriy berkata: “Tidak dilakukan bid’ah di dalam Islam ini yang lebih berbahaya atas pemeluknya daripada Irja”
    Al Auza’iy berkata: “Yahya Ibnu Abi Katsir dan Qatadah pernah berkata: “Tidak ada suatupun dari ahwa (bid’ah-bid’ah) ini yang lebih mereka khawatirkan atas umat ini daripada Irja”143
    Syuraik Al Qadli berkata: dan ia menyebutkan Murji-ah, terus berkata: “Mereka itu kaum yang paling busuk, cukuplah bagimu kebusukan Rafidlah, akan tetapi Murji-ah berdusta atas (Nama) Alloh”144
    Sufyan Ats Tsauriy berkata: “Murji-ah meninggalkan Islam ini lebih tipis dari pakaian sabiriy145 (yang tipis)”
    Adz Dzahabi berkata saat membicarakan dampak-dampak ‘aqidah Murji-ah: “Mereka membuat setiap orang fasiq dan perampok berani melakukan dosa-dosa besar, kita berlindung kepada Alloh dari kehinaan”. Selesai. Siyar A’lamin Nubala 9/436.
    Saya katakan: Jadi tidaklah aneh bila keadaan Murji-ah telah sampai pada zaman-zaman belakangan ini kepada keadaan yang sangat menjijikkan ini; yaitu menambali (kekafiran) para thaghut, menganggap enteng riddah dengan menyebutnya (kufrun duna kufrin), dan mencap orang yang mengkafirkan kaum murtaddin sebagai Khawarij dan Takfiriyyin, dan kemudian menabuh genderang perang terhadap mereka serta terhadap dakwah dan jihad mereka...!!!
    Oleh sebab itu semuanya kami bedakan orang-orang Murji-ah akhir-akhir ini dari Murji-ah terdahulu dan kami memberi batasan sifat mereka dengan nama (Murji-atul ‘Ashri/Neo Murji-ah) sebagai ciri khusus bagi mereka, agar kami tidak menzhalimi Murji-ah terdahulu dengan menisbatkan orang-orang itu kepada mereka, atau karena khawatir kami membuat image penyamaan orang itu dengan mereka dengan penyetaraannya dengan mereka :
    (Pertama,ed.) karena mayoritas Murji-ah masa kini itu –dan saya tidak mengatakan semuanya– adalah lebih serupa dengan Murji-ah Jahmiyyah atau Ghulatul Murji-ah, di antara mereka ada yang serupa dengan Murji-ah Fuqaha, terkhusus dalam bab sikap mereka membatasi kekafiran dengan seluruh macamnya terhadap takdzib dan juhud qalbiy, atau sikap mereka membatasinya dengan hal itu.
    Oleh sebab itu Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah berkata: “Oleh sebab itu mengucapkan kekafiran tanpa dipaksa adalah kekafiran dengan sendirinya menurut jama’ah dan aimmatul fuqaha termasuk menurut Murji-ah, berbeda dengan Jahmiyyah dan orang yang mengikuti mereka”146
    Ke dua: Ketahuilah sesungguhnya salaf telah membedakan antara keumuman ahli bid’ah dengan para penyeru terhadap bid’ah itu. Dan kami juga membedakan antara Shibyan Ahlut Tajahhum Wal Irja, para muqallid mereka dan para pengikut mereka, dengan para tokoh mereka, para Syaikh mereka dan para du’atnya yang menegakkan syubhat-syubhat, yang batil untuk melegalkan kebatilan dan menganggap enteng dari urusan kekafiran yang nyata dan kemusyrikan yang jelas serta riddah yang terang, terutama di antara mereka orang-orang yang sengaja melakukan tadlis, talbis dan pemenggalan ucapan ulama untuk membela bid’ah mereka dan melariskan kesesatan mereka...!!! Maka mereka itu adalah tergolong tokoh kesesatan yang telah disabdakan Rasululloh shalallaahu ‘alaihi wa sallam tentang mereka: “Sesungguhnya Alloh tidak akan mencabut ilmu secara sekaligus dari manusia, akan tetapi Dia mencabut ilmu dengan mewafatkan para ulama, sehingga bila ia tidak meninggalkan seorang alimpun, maka manusia mengangkat para tokoh yang jahil kemudian mereka ditanya, terus mereka mengeluarkan fatwa tanpa dasar ilmu, maka mereka sesat dan menyesatkan”.147
    Ibnul Qayyim berkata dalam Ath Thuruq Al Hukmiyyah Fis Siyaasah Asy Syar’iyyah: “Adapun ahlul bida’ yang sejalan dengan ahlul Islam, akan tetapi mereka menyelisihi dalam sebagian Al Ushul –seperti Rafidlah, Qadariyyah, Jahmiyyah, Ghulatur Murji-ah dan yang lainnya– maka mereka itu bermacam-macam :
    Pertama: Orang jahil yang taqlid yang tidak memiliki bashirah, maka ini tidak dikafirkan dan tidak dianggap fasiq serta tidak ditolak kesaksiannya, bila dia tidak mampu untuk mempelajari petunjuk. Dan status hukumnya adalah hukum orang-orang yang tertindas dari kalangan laki-laki, wanita dan anak-anak yang tidak memiliki daya upaya serta tidak mengetahui jalan (hijrah), maka mereka itu mudah-mudahan Alloh memaafkannya dan Alloh itu Maha Pengampun lagi Maha Pemaaf.
    Ke dua: Orang yang memiliki kesempatan untuk bertanya, mencari hidayah dan mengetahui al haq, akan tetapi dia meninggalkan itu karena sibuk dengan dunia, kedudukan, kenikmatan, kehidupannya dan hal lainnya, maka orang ini berhak mendapatkan ancaman lagi berdosa dengan sebab meninggalkan hal yang wajib atasnya, yaitu bertaqwa kepada Alloh sesuai istitha’ah-nya, maka ini status hukumnya adalah status hukum orang-orang yang seperti dia dari kalangan yang meninggalkan sebagian kewajiban. Bila bid’ah dan hawa nafsu yang ada padanya mengungguli sunnah dan petunjuk yang ada padanya maka kesaksiannya ditolak, dan bila sunnah dan petunjuk yang ada padanya lebih dominan maka kesaksiannya diterima.
    Ke tiga: Dia bertanya, mencari dan jelas petunjuk baginya, namun dia meninggalkannya karena taqlid dan ta’ashshub atau karena benci dan memusuhi orang-orangnya, maka status minimalnya adalah fasiq, dan pengkafirannya adalah tempat ijtihad dan perincian148. Bila dia itu terang-terangan lagi mendakwahkannya; maka tertolaklah kesaksiannya, fatwa-fatwanya, dan putusan-putusannya saat mampu atas hal itu, dan kesaksiannya tidak diterima, juga fatwa dan putusannya kecuali saat dlarurat, seperti pada keadaan pendudukan dan penguasaan mereka itu, serta keberadaan para qadli dan para mufti serta para saksi dari mereka, karena dalam sikap menolak kesaksian dan putusan-putusan mereka saat itu adalah kerusakan yang besar dan tidak mungkin itu, sehingga diterimalah karena dlarurat.
    Dan Malik Rahimahulloh telah menegaskan bahwa kesaksian Ahlul bida’ seperti qadariyyah dengan rafidlah serta yang lainnya; tidak diterima meskipun mereka shalat seperti shalat kita dan mengahadap kiblat kita...
    Al Lukhamiy berkata: “Dan itu karena kefasikan mereka, ia berkata: walaupun hal itu karena takwil yang mereka keliru di dalamnya”.
    Bila ini adalah penolakan mereka akan kesaksian qadariyyah, sedangkan kekeliruan mereka itu hanyalah karena takwil Al Qur’an seperti Khawarij, maka apa gerangan dengan Jahmiyyah yang banyak dari salaf telah mengeluarkan mereka dari ke 72 firqah...???”149 Selesai (233-234).
    Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah berkata saat berbicara tentang Ahli bid’ah: “Dan di tengah mereka terdapat banyak dari kalangan ulama dan ahli ibadah di mana ilmu ditulis dari mereka, dan Al Bukhari serta Muslim meriwayatkan hadits dari jalur kalangan dari mereka, akan tetapi orang yang menyeru kepada (bid’ah) nya mereka tidak meriwayatkan (hadits) lewat jalur periwayatannya. Ini adalah pendapat Fuqaha Ahlil hadits seperti Ahmad dan yang lainnya; bahwa orang yang menyeru kepada bid’ah maka sesungguhnya ia berhak diberi sangsi untuk menolak bahayanya dari manusia, meskipun secara bathin dia itu mujtahid, sedangkan sanksi minimalnya adalah di-hajr (diboikot), sehingga dia tidak memiliki kedudukan dalam dien ini, tidak boleh ilmu diambil darinya, tidak diminta putusannya dan tidak diterima kesaksiannya serta hal-hal serupa itu. Dan madzhab Malik sangat dekat dengan ini, oleh sebab itu para penyusun kitab shahih hadits tidak meriwayatkan lewat jalur penyeru (kepada bid’ah) akan tetapi mereka dan para ulama lainnya meriwayatkan dari banyak orang yang secara bathin menganut pendapat Qadariyyah, Murji-ah, Khawarij dan Syi’ah”150 Selesai.
    Ibnul Qayyim berkata dalam Ath Thuruq Al Hukmiyyah: “Dan alasan para imam –seperti Al Imam Ahmad Ibnu Hanbal dan yang semisalnya– melarang dari menerima riwayat orang yang mendakwahkan lagi terang-terangan dengan bid’ahnya, kesaksiannya dan shalat di belakangnya; adalah sebagai bentuk hajr terhadapnya dan pembuat jera agar lenyap bahaya bid’ahnya dari kaum muslimin, maka dalam penerimaan kesaksiannya dan riwayatnya, shalat di belakangnya, meminta putusannya serta pemberlakuan vonis-vonisnya ada mengandung keridlaan akan bid’ahnya, pengakuan baginya atas bid’ahnya serta menghantarkan untuk menerima hal itu darinya”. Selesai (232)
    Ibnu Jarir Ath Thabariy berkata dalam Tahdzibul Autsar (2/181): “Abdullah Ibnu ‘Umar Ar Razy telah mengabarkan kepada saya, ia berkata: Saya mendengar Ibrahim Ibnu Musa –(yaitu Al Farraa)– Ar Razy berkata: Ibnu ‘Uyamah ditanya tentang Irja? Maka beliau berkata: “Irja ada dua macam: Suatu kaum yang menangguhkan urusan Ali dan Utsman, dan mereka itu telah berlalu, dan adapun Murji-ah hari ini, maka mereka itu mengatakan: “Iman itu ucapan tanpa amalan” maka janganlah kalian duduk dengan mereka, jangan makan-makan dengan mereka, jangan minum bersama mereka, jangan shalat bersama mereka dan jangan menshalatkan mereka”. Selesai.
    Al Kausaj bertanya kepada Al Imam Ahmad tentang orang Murji-ah bila dia itu sebagai penyeru? Maka beliau menjawab: ”Ya demi Alloh, dia disingkirkan dan dijauhi”.151
    Oleh sebab itu kami tidak merasa keberatan dari men-tahdzir dari para du’at atau para tokoh yang melariskan bid’ah Tajahhum dan Irja, dan (dari) menjelaskan keadaan mereka di hadapan manusia agar mereka tidak terpedaya dengan mereka, terutama sesungguhnya banyak dari mereka berpakaian dan berbusana baju salafiy, terus dia menisbatkan dirinya –secara dusta– kepada cara (thariqah/manhaj) salaf supaya melariskan paham Irja-nya di tengah manusia, karena dagangan mereka yang jelek tidak bisa laris kecuali bila dihiasi dan disandarkan kepada salaful ummah dan para imam yang tsiqat.
    Dan ini seperti apa yang dinukil oleh Syaikhul Islam dari sebagian ulama dari ucapan mereka: “Asy’ariyyah hanyalah laris di tengah manusia dengan sebab mereka menisbatkan diri mereka kepada Hanabilah” Selesai.152
    Dan begitu juga Ahlut Tajahhum Wal Irja di zaman kita ini, maka sesungguhnya mereka melariskan bid’ah mereka dengan menyandarkannya kepada salaf dan para imam, di mana engkau bisa menemukan seorang dari mereka menulis sebuah kitab yang dia namai Al ‘Udzru bil jahli ‘Aqidah As Salaf begitulah tanpa rincian... dan yang lain mengklaim ijma salaf dan para imam atas sikap tidak takfier, kecuali dengan juhud, i’tiqad dan istihlal secara muthlaq dalam semua pintu-pintu kekafiran, sehingga masuk di dalam hal itu pembuatan hukum/Undang-undang di samping Alloh, dan kekafiran yang nyata serta kemusyrikan yang jelas. Dan yang ke tiga mengklaim ijma Ahlus Sunnah Wal Jama’ah atas sikap tidak khuruj terhadap para penguasa –begitu secara muthlaq– dalam rangka menjaga pertumpahan darah dan menghindari kekacauan, tanpa rincian atau perbedaan antara para penguasa muslim dengan kafir, dan tanpa membedakan antara kezhaliman dan aniaya dengan kemurtadan dan kekafiran yang nyata...
    Dan dengan hal itu mereka telah aniaya atas nama manhaj Ahlus Sunnah Wal Jama’ah dan manhaj salaful ummah serta para imam yang terpercaya dengan bentukannya yang amat besar. Dan mereka berupaya mencorengnya dengan pencorengan yang busuk –baik mereka sadari ataupun tidak– dan dalam apa yang kami ketengahkan kepada anda berupa bantahan kami kepada Al Halabiy ada contoh-contoh dari hal ini, terutama dalam bab pemenggalan Al Halabiy terhadap perkataan ulama untuk menggiringnya kepada madzhabnya yang rusak, terutama dalam klaim bahwa kekafiran itu tidak terjadi selama-lamanya kecuali dengan juhud qalbiy (pengingkaran hati), sedangkan engkau telah mengetahui bahwa ini adalah tergolong ucapan-ucapan Jahmiyyah, dan sama sekali bukan termasuk ucapan Ahlus Sunnah wal Jama’ah atau Salaful Ummah.
    Begitu juga dalam memaksakan makna kedalam ucapan ulama sesuatu yang tidak dikandungnya, serta memalingkan ucapan itu kepada maksud dia, dan menempatkan ucapan-ucapan mereka yang mereka katakan tentang para penguasa yang zhalim dan memposisikannya kepada tokoh-tokoh (para pemimpin) kafir.
    Dan mengutip ucapan para imam tentang Khawarij –yang mentakfier dengan sekedar maksiat dan memberontak kepada ahlul Islam– dan menempatkannya kepada para mujahidin muwahhidin yang memberontak kepada para thaghut dan menentang para penguasa kafir.
    Serta talbis-talbis dia lainnya yang bercabang-cabang yang sebagiannya telah kami bongkar.
    Maka hal yang wajib adalah tahdzir dari para penyeru terhadap bid’ah-bid’ah ini, mengingatkan akan kesesatan-kesesatan mereka dan membongkar talbis-talbis mereka. Dan tidak ragu bahwa ini tergolong macam tashfiyah yang paling agung, yang mana mereka mengklaim perhatian terhadapnya dan dakwah kepadanya...!!!
    Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah berkata: “Dikatakan kepada Al Imam Ahmad Ibnu Hanbal, orang shaum, shalat dan i’tikaf, apakah ia lebih engkau cintai atau dia itu mengomentari Ahlul bida’”, maka beliau berkata: “Bila ia shaum, shalat dan i’tikaf maka itu hanya buat dirinya sendiri, dan bila dia mengomentari ahlil bida’ maka itu untuk kaum muslimin, ini lebih utama”.
    Beliau menjelaskan bahwa manfaat ini umum bagi kaum muslimin dalam dien mereka, yang tergolong jenis jihad fi sabilillah, karena mensucikan jalan Alloh, dien-Nya, minhaj-Nya, ajaran-Nya serta menghadang sikap aniaya mereka itu dan permusuhannya di atas hal itu adalah wajib kifayah dengan kesepakatan kaum muslimin. Dan seandainya tidak ada orang yang Alloh teguhkan untuk menghadang bahaya mereka itu tentulah dien ini rusak, sedangkan kerusakannya lebih besar dari kerusakan akibat penguasaan musuh dari kalangan ahlul harbiy” Selesai. Majmu Al Fatawa 28/232.
    Tidak layak mengkaburkan terhadap umat dan mengecoh para pemudanya dengan memuji para tokoh kesesatan itu dan menjadikan mereka sebagai para imam yang dijadikan panutan atau menjadikan mereka sebagai referensi serta mempromosikan pendapat-pendapat mereka sebagaimana yang dilakukan oleh sebagian orang-orang, baik atas dasar niat yang bagus dengan cara menukil apa yang secara zhahirnya sejalan dengan kebenaran dari ucapan-ucapan kalangan yang dinilai cacat di antara mereka, dari kalangan yang telah membai’at para thaghut, mendukungnya dan tawalliy kepadanya. Dan dengan serta merta orang-orang sesat itu cepat mentakwil maksud mereka dari ucapan-ucapan itu, dan dari sana mereka kemudian menuduh orang-orang baik itu dengan (tuduhan) telah membawa teks-teks ucapan mereka kepada suatu yang tidak mereka maksudkan, padahal dalam firman Alloh dan sabda Rasul-Nya shalallaahu ‘alaihi wa sallam terdapat kadar cukup dan obat bagi orang yang menginginkan al haq dan obat.
    Begitu juga dalam perkataan para tokoh Ahlus Sunnah Ar Rabbaniyyin ada kadar cukup bagi orang yang menginginkan petunjuk, dan semoga Alloh merahmati orang yang berkata: “Siapa yang ingin mencontoh, maka hendaklah dia mencontoh dengan orang yang sudah mati, karena orang yang hidup itu tidak aman fitnah atasnya”
    Ke tiga: Ketahuilah bahwa Irja adalah bid’ah yang menyebar sebagai reaksi balik atas sikap orang yang khuruj terhadap para pemimpin (muslim) dan segala hal yang terjadi akibat hal itu berupa kerusuhan, bencana dan pertumpahan darah.
    Jadi ia adalah ‘aqidah yang tidak muncul dari dalil syar’iy, akan tetapi ia hanyalah penyimpangan-penyimpangan, pengikutan akan hal yang samar dan berpegang dengannya karena ia sejalan dengan hawa nafsu dan syahwatnya, serta karena selaras dengan keselamatan dan ridla para penguasa, sebab ia adalah dien yang disenangi para raja sebagaimana yang telah lalu dari An Nadlr Ibnu Syumail, maka wajarlah ia menjadi reaksi balik bagi manhaj yang membuat mereka benci dan marah, yaitu Khuruj, menentang dan memberontak...
    Maka perhatikanlah dan amatilah...!!!
    Cinta keselamatan mematahkan keinginan orangnya
    Dari cita yang tinggi dan mengiming-iming orang dengan kemalasan.
    Adz Dzahabiy menuturkan dari Qatadah ucapannya: “Irja ini hanyalah terjadi setelah kekalahan Ibnul Asyats”153
    Hendaklah pencari ilmu berhati-hati dari sikap mengikuti hal-hal yang samar yang sejalan dengan hawa nafsu dan selera jiwa, kemudian ta’ashshub terhadapnya dan menjadikannya sebagai madzhab karena merasa terganggu dengan orang-orang yang menyelisihi dan penggembosannya..., maka ini adalah jalan orang-orang yang sesat yang telah Alloh sebutkan dalam Kitab-Nya: “Adapun orang-orang yang di dalam hatinya ada kesesatan, maka mereka mengikuti apa-apa yang samar darinya dalam rangka mencari fitnah dan mencari-cari takwilnya”154
    Dan di sisi (lain) merebaknya Irja sebagai reaksi balik atau apa yang muncul dan terjadi karena upaya-upaya memberontak terhadap para penguasa zhalim berupa penindasan, penganiayaan dan banyak intimidasi, maka saya telah melihat sekelompok dari manusia telah ghuluww dalam takfier dan mereka serabutan dalam memvonis manusia serta mereka membawa kedengkian terhadap seluruh manusia, bahkan di antara mereka ada yang meninggalkan kitab-kitab banyak para ulama dan dia berpaling dari membacanya, sehingga ia memegang madzhab ghuluww dalam takfier tanpa dlawabith atau ushul.
    Semua itu adalah sebagai reaksi balik terhadap sikap tasahul (pengenteng-entengan) kaum Murji-ah, sikap ngawur ulama suu’ serta tawalliy mereka terhadap thaghut.
    Dan telah lalu isyarat kepada ucapan Syaikhul Islam tentang khilafah dan kerajaan serta perpecahan manusia di dalamnya kepada dua sikap yang bertentangan; Khawarij dan Mu’tazilah di satu sisi, sedang Murji-ah berada di sisi lain. Dan kedua kelompok ini adalah tercela. Khawarij dan Mu’tazilah mencela dan menghujat khilafah dan mereka menyelisihi jama’atul muslimin karena sekedar maksiat dan penyimpangan yang tidak sampai kepada kekafiran yang nyata. Dan di sisi lain Murji-ah membolehkan penyimpangan para raja dan orang-orang yang zhalim, bahkan para thaghut sebagaimana yang telah engkau lihat, serta mereka menutupi mereka dan kebatilan mereka.
    Ini semuanya adalah penyimpangan dari jalan yang benar... baik jatuh kepada ifrath ataupun tafrith.
    Di antara sifat terpenting yang wajib dipegang oleh pencari kebenaran yang sangat ingin untuk menjadi bagian dari Ath Thaifah Al Manshurah yang menegakkan dienullah serta ia ingin menelusuri jejak Manhaj Ar Rasikhin fil ‘ilmi; adalah komitmen dengan apa yang dipegang Rasululloh shalallaahu ‘alaihi wa sallam dan tidak terganggu dengan orang-orang yang menyelisihi atau yang menggembosi.
    Sungguh Rasululloh shalallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda tentang sifat Ath Thaifah Al Manshurah : “...senantiasa sekelompok dari umatku nampak di atas perintah Alloh, mereka tidak terganggu dengan orang yang menyelisihi mereka dan dengan orang yang menggembosi mereka sampai datang ketentuan Alloh sedang mereka seperti itu”.155
    Maka hati-hatilah dari merasa terganggu dengan orang-orang yang menyelisihi, atau berpaling dari al haq atau melepaskannya karena sedikit orang yang mau menempuh jalan ini atau karena banyak orang yang binasa.
    Ke empat : Bila pencari kebenaran telah mengetahui realita hari ini dan cap syar’iy baginya, serta dia tidak membaurkan antara para penguasa (muslim) yang zhalim dan penyimpangnya dengan para penguasa murtad dan kekafiran mereka yang nyata pada zaman ini, dan dia selalu ingat bahwa ikatan iman yang paling kokoh adalah cinta karena Alloh dan benci karena Alloh, serta loyalitas karena Alloh dan memusuhi karena Alloh, maka dia tidak akan terganggu dengan sikap gaduh Ahlut Tajahhum Wal Irja dalam apa yang mereka sandangkan kepada kaum muwahhidin yang berlepas diri dari para thaghut kekafiran bahwa mereka itu Khawarij.
    Bila cap ini membuat pandangan negatif terhadap orang yang khuruj kepada Ahlul Islam dan para pemimpin kaum muslimin; maka sesungguhnya cap itu tidak membuat buruk orang yang khuruj terhadap kaum murtaddin dan para penguasa yang musyrik.
    Orang yang memiliki sedikit akal dan pengetahuan akan jalan Ahlus Sunnah Wal Jama’ah dan ucapan-ucapan mereka tentang Khawarij dan para penguasa yang zhalim dari satu sisi dan tentang kaum murtaddin serta para pemimpin kekafiran dari sisi lain, maka dia paham maksud kami.
    Andaikata klaim Ahlut Tajahhum Wal Irja benar bahwa kaum muwahhidin yang menentang para thaghut itu Khawarij, maka sungguh jumhur Ahlus Sunnah Wal Jama’ah berpendapat bolehnya berperang bersama para pemimpin yang zhalim dalam membela dien ini dan dalam memerangi kuffar dan kaum musyrikin.
    Dan hal ini telah mereka lakukan dalam aqaid mereka, di mana mereka berkata: “Dan kami memandang shalat, haji dan jihad bersama para imam kami, baik mereka itu abrar (orang-orang shalih) ataupun fujjar (durjana)”156
    Perhatikan ucapan mereka itu “...baik mereka itu abrar ataupun fujjar...” Bukan kuffar...!!!!
    Andaikata benar bahwa para muwahhidin itu memiliki sedikit dari aqidah Khawarij dan kebejatan mereka –saya katakan andai tuduhan ini benar– maka tidak boleh berdiri merintangi mereka dalam takfier orang-orang murtad, atau menghalangi jihad dan pemberontakan mereka terhadap orang-orang kafir yang nyata jelas kekafirannya, sebagaimana yang dilakukan banyak dari kalangan yang menyimpang dan sesat...!!!
    Dan semoga Alloh merahmati ulama Malikiyyah dari kalangan Ahlus Sunnah di kawasan Al Maghrib (Barat), alangkah bagusnya pemahaman mereka, saat mereka memberontak memerangi kaum murtaddin dari Banu ‘Ubaid Al Qadah yang menguasai Mesir dan Maghrib (Maroko dan sekitarnya) dan menampakkan kekafiran yang nyata. Para ulama itu tidak ragu-ragu dalam memerangi mereka di bawah panji Khawarij Haqiqiy, saat Abu Yazid Al Ibadliy memberontak kepada Ubaidiyyin, dan tatkala sebagian orang mencela, mengkritik dan mengecam perbuatan mereka, maka mereka berkata: “Kami bersama orang yang maksiat kepada Alloh memerangi orang yang kafir kepada Alloh”, dan mereka berkata: Khawarij adalah ahlu kiblat sedang anak-anak musuh Alloh bukanlah ahli kiblat.”157
    Perhatikanlah pemahaman Aimmatul Islam, kepandaian ulama As Sunnah, keluasan Fiqh mereka serta pengetahuan mereka akan realita.
    Bandingkanlah antara mereka dengan kaum Khawalif (orang-orang Neo Murji-ah) itu, supaya engkau mengetahui sedikit sebab-sebab keterpurukan umat di zaman ini, kemerosotan keadaannya dan penguasaan musuh-musuh Alloh atasnya...!!!
    Kaum Khawalif itu justeru menyibukkan diri dengan upaya menjauhkan (manusia) dari jalan kaum muwahhidin dan jalan kaum mujahidin dengan dalih bahwa mereka itu Khawarij...
    Memangnya mereka itu khuruj terhadap siapa...???!!!!
    Apa engkau melihat mereka khuruj terhadap Ahlul Islam...???!!!
    Atau terhadap umaraul mu’minin
    Atau justeru mereka itu khuruj terhadap para tokoh kekafiran dan murtaddin...???!!
    Alangkah serupanya keadaan kaum Khawalif itu dengan keadaan orang-orang yang Alloh ta’aalaa firmankan: “Dan jika mereka mau berangkat tentulah mereka menyiapkan persiapan untuk keberangkatan itu, tetapi Alloh tidak menyukai keberangkatan mereka, maka Alloh melemahkan keinginan mereka, dan dikatakan kepada mereka: “TinggAlloh kamu bersama orang-orang yang tinggal itu” (At-Taubah: 46).
    Maka saya katakan sekali lagi...
    Andaikata benar klaim mereka bahwa kaum muwahhidin yang menentang para thaghut itu adalah Khawarij, dan andaikata kaum Khawalif itu memiliki sedikit pemahaman, ilmu dan pengetahuan untuk membedakan, tentulah mereka tidak akan ragu dalam membela dien ini di bawah panji mereka, atau minimalnya mereka meninggalkan sikap penggembosan terhadap para muwahhidin, sikap penebaran fitnah dan tuduhan sesat.
    Saya katakan: Ini andaikata benar tuduhan mereka bahwa para muwahhidin itu memiliki sesuatu dari ‘aqidah Khawarij...!!!
    Maka bagaimana sedangkan mereka itu berlepas diri dari itu semua, dan justeru mereka bisa membedakan antara ‘Aqidah Ahlus Sunnah yang suci lagi bersih dengan ‘aqidah-‘aqidah lainnya yang sesat lagi bid’ah, baik itu Khawarij ataupun ‘aqidah Ahlut Tajahhum Wal Irja...!!!
    Alangkah baiknya bila mereka itu lebih cenderung kepada dunia, mereka memahami ucapan Nabi shalallaahu ‘alaihi wa sallam: “Siapa yang beriman kepada Alloh dan hari akhir, maka hendaklah ia berkata baik atau diam”. (HR Al Imam Muslim dari Abu Hurairah radliallaahu’anhu)
    Ya... hendaklah mereka membela al haq walau hanya dengan doa...
    Atau hendaklah mereka diam dan menghentikan dari menuduh sesat, talbis dan takhdzil (penggembosan)...
    Dan semoga Alloh merahmati orang yang berkata:
    Diam lebih utama dari ucapan orang yang basa-basi
    Hatinya najis tapi indah di mulut
    Dia tahu kebenaran kemudian beralih kepada suatu yang
    Menyenangkan dan mengagumkan setiap thaghut yang durjana
    Demi Alloh, mereka tidak mengatakan kebenaran dan petunjuk
    Tidak sama sekali, mereka tidak membongkar kebejatan-kebejatan
    Mana mungkin bisa menunjukkan kepada kebenaran orang yang cinta
    Berhubungan dengan orang-orang yang bejat dan pengumbar syahwat...
    Hati-hatilah dari sikap menghadang kebenaran dan orang-orangnya, dalam rangka membela hawa nafsu atau hizbiyyah atau ‘ashabiyyah atau syahwat, maka sesungguhnya hal itu semuanya kendaraan kehinaan...!!!
    Alangkah indahnya apa yang diutarakan oleh Al Hafizh Ibnu Katsir dalam Al Bidayah Wan Nihayah 10/276 dari Ibnu ‘Asakir dari jalan An Nadlr Ibnu Syumail:
    Ia berkata: “Saya masuk kepada Al Ma’mun...
    Maka ia berkata: “Apa kabar wahai Nadlr?”
    Maka saya berkata: “Baik-baik wahai Amirul Mu’minin”.
    Ia berkata: “Apa itu Irja?”
    Maka saya berkata: “(Ia) dien yang selaras dengan (keinginan) para raja, mereka mendapatkan dengannya bagian dari dunia mereka, dan mereka mengurangi dengannya dari dien mereka?”
    Ia berkata: “Engkau benar”. Selesai.

    Selesai dengan memuji Alloh dan taufiq-Nya
    Dan segala puji hanya bagi Alloh yang dengan nikmat-Nya
    Segala amal shalih menjadi sempurna

    Mimbar At Tauhid Wal Jihad
    www.almaqdese.com

    Penterjemah berkata :
    Selesai diterjemahkan hari Sabtu siang, akhir Dzul Qa’dah 1426 Hijriyyah.

    Catetan Bila antum ingin mengetahui fatwa Al-Lajnah Ad-Da’imah terhadap Kitab At Tahdzir Min Fitnatittakfir silahkan baca buku “ Membongkar Kedok Salafiyun Sempalan, Penyusun: Tim Studi Kelompok Sunniyyah, Penerbit: Pustaka MIM, Halaman. 27-32, silahkan antum beli dan baca buku tersebut, dan berminat beli buku tersebut hub. Saja Tlp.(0251) 8486089 Alamat PT. Marwah Indo Media (MIM) : Jl. Purnama, Cimanglid - Tamansari, Bogor - Indonesia PO.Box 01 Ciomas - Bogor serta Baca Pula Buku Beda Salaf dengan “ Salafi “ Harusnya Sama Kenapa Beda?. Dilengkapi Fatwa-fatwa Kibar Ulama, Karya: Syaikh Al-Allamah Mut’ab bin Suryan Al-‘Ashimi Hafidzhahulloh, Halaman: 126-129, Terbitan: Media Islamika, Bila berminat membeli buku ini Hub saja Penerbit Media Islamika Tlp. 081393474271/(0271) 720426.

    BalasHapus